Chereads / Cinta seorang gadis psycopath(21+) / Chapter 4 - SAMARAN JIN

Chapter 4 - SAMARAN JIN

Seperti biasa, setiap kali tugas kantornya terselesaikan, Alea membuka data pribadinya, sekedar menuliskan ide yang kebetulan muncul agar tidak hilang. Jika tidak, kadang mengedit naskah, membenarkan atau merevisi tulisannya.

Dengan kacamata putih yang membingkai wajahnya, ia nampak santai di depan komputer, meneliti setiap kalimat, sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja.

Telfon berdering, dengan cepat di sambarnya, setelah tahu dari HRD yang menelfon dan memintanya ke ruangan pak Max saat itu juga. Dengan segera ia bergegas menuju ruangan young big boss setelah mensave datanya agar tidak hilang.

Pintu tidak ditutup, si bos sudah menantinya, terlihat dari caranya duduk bersandar di kursi putar menghadap ke arah pintu, serta senyuman merekah melihat Alea di ambang pintu, "Masuk, Alea. Ayo duduk di situ!" serunya sambil menunjuk kursi di depan mejanya.

Tanpa basa basi Alea menuruti perintah bosnya, duduk di sana tanpa eksperesi, kepalanya menunduk. Meskipun sebenarnya dia juga bingung dan bertanya-tanya, untuk apa dirinya tiba-tiba dipanggil dan langsung ke ruangan big bos. Perasaan tak ada salah apa2.

"Kamu tahu, kenapa aku memanggilmu?" tanya pria itu tegas.

"Tidak, Pak," jawab Alea lirih.

"Mulai besok kamu tidak lagi di bagian administrasi, Ghea telah resign ikut pindah suaminya ke Australi. Jadi, kamu menggantikan posisinya," ucap pak Max.

Alea mulai mengankat wajah yang sedari tadi tertunduk, menatap pak Max dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut. "Tapi, pak?"

"Aku tidak menerima kata tapi, Alea," jawabnya, lalu merubah posisi duduknya menjadi tegap tak lagi bersandar.

"Apakah saya layak menggantikan posisi mbak Ghea, kan ada mbak Reyna yang .... " Lagi-lagi kalimat Alea terputus oleh kata-kata pak Max yang langsung saja menyela.

"Alea, kamu tahu undang-undang perkantoran?

1. Bos tidak akan pernah salah

2. Jika bos salah, balik ke pasal satu dan

3. Silahkan cari bos baru, ok?"

"Iya, pak," jawab Alea dengan sedikit tergagap dan tidak percaya diri. Tapi, dia bangga, sih karena bisa mendapatkan posisi yang banyak diincar oleh para staf cewek. Dia yang tak berharap sekali malah mendapatkannya secara cuma-cuma.

"Ya sudah, sekarang kamu persiapkan semuanya, serahkan semua dokumen tentang administrasi kepada Reyna. Dan besok pagi kamu bisa langsung masuk ke ruangan ini," ucap pak Max.

"Iya, Pak. Terimakasih atas kepercayaannya, permisi," Alea pun kembali ke ruangannya, bukannya senang, tapi dia malah bingung.

Menjadi asisten CEO akan membuatnya banyak menyita waktu, sementara hobi menulisnya? Sangat sayang jika harus ditinggalkan, sementara ini adalah proses penerbitan novel keduanya. Tapi, mengingat deatline kurang sebulan lagi, sungguh tidak memungkinkan. Kecuali, ia bisa sedikit mengorbankan waktu tidur malamnya. Apa sih, yang tak bisa diraih di dunia ini selama mau keras berusaha? Itulah kata-kata mutiara gadis bertubuh tinggi langsing rambut panjang lurus dan berkulit putih.

"Tarik napas Alea, tenang! Kau bisa diskusikan ini dengan Wulan," ucapnya seorang diri. "bagus." Gadis itu mulai membuka matanya yang sedari tadi terpejam saat berfikir. setelah berkali-kali mengambil napas dan mengeluarkan perlahan.

Alea melirik jam pada layar sentuhnya. Sudah menunjukan pukul 21.00WIB. Ketenangannya mulai terusik menyadari sudah mendekati tengah malam. Di tambah suasana sepi kantor yang mencekam. Membuatnya semakin gusar saat teringat cerita rekan kerjanya yang sering melihat penampakan penghuni kantor ini.

Namun, itu tidak berjalan lama. Sebab, beberapa saat kemudian ia teringat kalau hantu itu tidak ada. Hanya halusinasi manusia saja yang akhirnya diwujudkan oleh para jin sesuai dengan visual yang mereka bayangkan.

Sebuah ingatan di masa lalu bagaikan role film di benak Alea yang hanya dia sendiri yang bisa melihatnya.

"Ibu, di sini gelap. Alea takut, Bu." Seorang gadis yang sedari tadi diam di sudut ruangan mulai merengek sambil memegangi wanita yang dipanggilnya ibu.

"Sabar sayang, Ibu mencari lilin agar kamar kita terang. Memangnya, apa yang kau takut, kan?"

"Takut hantu," ucapnya polos.

"Memang kau pernah melihat?" tanya wanita itu sambil menatapnya di tengah remang-remang cahaya dari luar rumah, karena kebetulan ini bulan purnama.

"Tidak, Bu." Gadis itu menggelengkan kepalanya dan memegang erat baju dan menenggelamkan wajah di pelukan ibunya.

"Lalu, kenapa kau takut?"

"Teman-temanku, Bu. Mereka sering mengatakan hantu, hantu itu menyeramkan dan berada di tempat-tempat gelap dan sepi," rengeknya.

"Tidak ada Sayang, buktinya kau tak pernah melihatnya sendiri, bukan? Itu takhayul, mungkin saja mereka sengaja berkata bohong agar yang lain takut!" seru sang ibu, lirih. "nah sudah terang." Yulita  tersenyum pada Alea, buah hatinya setelah berhasil menemukan sebatang lilin dan menyalakannya.

Satu klise ingatannya lagi saat ia masih kecil kembali terlintas dalam benaknya.

"Ustdzah, di sana ada hantu pocong, lompat-lompat melotot serem sekali, Ustadzah!" seru seorang temannya di sekolah madrasah.

"Memangnya kamu melihatnya sendiri, Luqy?" Tanya wanita usia sekitar tiga puluh tahunan dengan pakaian serba tertutup khas wanita muslimah itu dengan nada lembut.

"Iya, Ustadzah." napasnya terengah-engah, ketakutan terlihat jelas pada wajahnya yang dipenuhi keringat.

"Untuk semuanya, ya. Terutama Luqy. Hantu itu tidak ada. Seperti pocong, kuntilanak, wewe gombel, dan lain-lain itu adalah jin yang menyerupai untuk menakut-nakuti kita. Jadi jin itu mewujudkan visualisme atau bayangan manusia mengenai hantu. Jadi jangan lagi percaya dan takut dengan hantu! Jangan beri kesempatan bangsa jin untuk menakut-nakuti kita," jelas ustadzah di depan kelas kepada para santrinya.

=============

"Hantu itu tidak ada Alea," gumamnya seorang diri sambil tersenyum. Melanjutkan tugasnya.

Wuush! Angin kencang nenerpa masuk menerobos jendela ruangannya. Sontak, pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruang. Ruangan yang sudah sepi hanya ada dirinya saja yang tengah lembur. Sementara yang lain sudah pergi sejak pukul empat tigapuluh tadi.

Alea melihat ke arah jendela yang kebetulan terbuka. Lalu, ia menutupnya. Namun, sebelum ia menutup jendela tersebut, ia menengok dulu keluar. Lalu ke bawah. Tempat ia berdiri berada di gedung lantai duapuluh tujuh. Wajar jika udaranya sangat dingin. Bukankah semakin tinggi pohon semakin besar badai dan anginnya? Hanya saja tidak ada pohon yang tingginya menyamai gedung lantai duapuluh tujuh.

"Huh, ini sangat mengganggu sekali," gumamnya seorang diri. Lalu, ia pun mengunci jendela rapat-rapat dan kembali meneruskan pekerjaannya. Lelah, sih. Tapi, apa boleh buat. Malam ini juga harus selesai karena besok dia harus berganti tugas dan ruangan. Jika sebelumnya dengan para staf lain, ini akan dengan pak bos. Duh, canggung gak ya?