"Aku akan menyatukan kau dengan ayahku, agar kalian tak merasakan rindu menetaplah terus dalam tubuhnya agar tiada hati yang terluka." Alea semakin maju mendekati Intan dan memegang keras wajah bawahnya sampai Intan kesakitan
"Mak, maksutmu apa, Alea?" Intan gugup tak berkutik di bawah cengkraman Alea.
"Maksudku apa? Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Kau benar-benar binatang!" Alea mencengkeram kedua pipi mulus Intan kian keras, hingga kukunya menembus kulitnya, dan membuat goresan di sana.
Intan kesakitan memekik memegangi luka pipinya yang terluka karena cakaran Alea. Ia tidak menyangka, sosok Alea yang pendiam, baik dan lemah lembut akan seperti ini jika marah.
"Awh! Sakit," ucap gadis itu sambil menagis. Darah mulai merembes keluar dari bekas cakaran yang memanjang si kedua pipi Intan. 'aku tidak boleh fokus dengan rasa sakit pada wajahku. Aku harus kabur. Aku harus lari!' seru Intan dalam hati. Kemudian, berusaha menjauh dari Alea yang sudah seperti orang kerasukan iblis.
Tak membiarkan mangsanya kabur, Alea mengejarnya sampai lantai atas, mendobrak pintu kamar Intan.
Alea tertawa penuh kemenangan berhasil melukai korbannya. Namun, itu tidaklah membuatnya puas, dia masih ingin melakukan lebih, terutama pada dua bola mata Intan yang sudah lama menbuat ia iri. Bulat, lebar, bening dengan bulu mata apanjang nan lentik alami, serta penuh pesona. Hati laki-laki mana, yang tidak terpikat, saat bertatapan mata dengan gadis di depannya ini.
"Kenapa Intan? Kau takut? Hahaha." Alea terus mendekati mangsanya dengan pisau kesayangan di tangannya yang tampak bersih, tajam dan mengkilap.
"Pergi, Alea! Pergilah!" Intan terpojok di samping rajangnya. Tanganya meraba nakas, mendapatkan lampu tidur diambilnya dan dilemparkan pada Alea, hingga mengenai dahi gadis itu, sehingga meninggalkan luka di sana.
Alea sejenak terdiam. Antara kaget dan sakit pada dahinya. Beberapa saat ia menegangi dahi itu. Sedikit basah oleh darah. Kemudian menatap tajam ke arah Intan yang duduk meringkuk ketakutan di pojokan kamar dengan sorot mata yang jauh lebih menyeramkan. "Sialan! Kau berani sama aku? Kau menantangku, Intan?" hardiknya, emosinya memuncak saat menyadari dahinya berdarah.
"Pergi Alea! Pergi!" teriak Intan dengan kedua mata tertutup rapat karena dia benar-benar takut. Tak pernah ia merasakan takut yang luar biasa seperti ini sebelumnya.
Alea melangkah cepat setengah berlari melukai tangan Intan berkali-kali dengan pisaunya, " Rasakan! Ini hukuman atas kelancanganmu."
Intan terus menangis kesakitan. Entah berapa sayatan ditangannya sampai ia lemas, seolah tangannya mati rasa dan tak bertenaga.
"Aku benci suara tangismu, kau bisa diam atau tidak?" bentak Alea.
Intan tidak diam, ia justru menjerit mengharap pertolongan. Hal itu semakin membuat Alea naik darah, tanpa pikir panjang diarakannya pisau di mulut intan melintang hingga mulutnya robek sampai ujung tulang pipi.
"Hahaha, kau sekarang lihatlah! Kau sudah jelek, Intan. Mukamu menyeramkan. Persis sama Kuchisake Onna, hantu dari Jepang yang memiliki mulut robek. Sekarang, jangankan papaku. Pria mana pun jijik melihatmu," ucap Alea sambil tertawa puas.
Sementara Intan hanya bisa menangis, sambil memegangi wajahnya yang jelek dengan tangan dan hampir seluruh tubuh penuh darah.
"Hahaha, kau tahu, bagaimana legenda tentang Kuchisake Onna? Dia itu, adalah wanita cantik yang sudah memiliki suami, lalu ketahuan selingkuh oleh suaminya sendiri yang ahli samurai. Tapi, ada juga yang bilang dia adalah korban oprasi plastik. Ah, aku tidak begitu yakin dengan cerita yang kedua. Alea kembali mengarahkan ujung pisau ke wajah Intan. Dia ingin menusuk bola mata gadis itu. Tapi urung. Bukan karena dia tak tega. Tapi, sayang, jika gadis itu langsung dihabisi saat itu juga. Tapi, rasa gemas tak bisa membuat dirinya berhenti. Jadi, dia colok beberapa kali dua mata itu menggunakan jari telunjuknya sambil tertawa terbahak.
Intan menjerit, menangis merasakan sakit yang luar biasa. Entah, mimpi apa dia semalam, sampai-sampai, hal buruk ini terjadi padanya. Tapi, ia berharap, ini hanyalah mimpi dan segera terjaga. Tapi, memang ini faktanya.
"Kenapa, kau menangis? Sudahlah, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Dokter mana pun takkan sanggup mengatasi cacat mu ini," ucap Alea sambil mengarahkan pisaunya lurus dengan mata Intan. awalnya Gadis itu memang ingin melukai salah satu mata Intan. Tapi, ia urungkan. Bukan karena kasihan atau tidak tega. Dia masih belum puas membuat wanita di depannya ini merasakan sakit seperti yang dia dan ibunya rasakan.
Intan berbicara dalam isakannya. Tapi, ia berkata apa Alea tidak tahu. Mungkin, karena mulutnya yang robek, dan lagi, pasti dia merasa kesakitan yang luar biasa. Jadi, bicarnya saja tidak jelas.
"Aku gak tahu, ya kamu ngomong apa. Ya sudah, kau ikut aku!" Dengan kasar Alea menarik rambut intan yang penuh darah ke toilet kamar. Sementara Alea membersikan darah-darah itu hingga tidak meninggalkan sisa. Sepreinya juga ia bakar di halaman belakang. Tapi, sebelum meninggalkan gadis malang itu di dalam toilet, Alea sudah mengambil ponselnya lebih dulu.