Chapter 18 - JEVIN

Tubuh Rafi terasa kaku. Ia susah menggerakkan setiap anggota tubuhnya. Semua persendian dan ototnya seperti besi berkarat, yang susah digerakkan. Namun, menurut saja ketika anak gadis satu-satunya yang dia miliki bersalaman dan mencium tangannya. Beberapa langkah Alea meninggalkan dirinya yang masih beku dan mematung di tempatnya, seketika ia berteriak, mengutuk putrinya sendiri sambil menunjuk dengan mata melotot.

"Kau, binatang!"

Alea menghentikan langkahnya, dekan kedua tangan bersendekap, ia menyeringai puas, melihat sang ayah histeris, seraya berkata, "Ibu bisa kau permainkan Ayah, tapi aku tidak."

Alea mengibaskan debu pada rok sepannya, dia berjalan ringan santai tanpa beban. Bibirnya tanpa pudar menebar senyuman, dia sangat bahagia. Bisa melakukan hasrat yang lama terpendan selama ini. Jangan tanyakan rasa bersalahnya. Dia bahkan, menyesal, karena Intan keburu lemas duluan. Jika saja dia bisa sedikit lebih kuat, ingin sekali dia menyayat kulit paha perut dan wajahnya hidup-hidup. Tapi, dia sebagai manusia terlalu lemah untuk menahan sakit tak mampu. Hanya kuat di atas ranjang saat dengan ayahnya saja. Mungkin juga pria lain. Alea tidak peduli.

"Alea!" seorang wanita dengan pawakan sedang tengah berlari ke arahnya, sesekali tangannya melambai-lambi.

Alea berhenti munugu orang yang memanggil namnaya, "Ada apa, Mbak?"

"Kau dari mana saja?" tanya wanita itu setengah menylidik.

"Aku habis menemui ayahku, apakah ada sesuatu?"

"Oh, pantas saja kucari kau di kantin dan taman tidak ada. Pak Max izin pulang lebih awal karena ada keperluan keluarga, ini dari beliau kau disuruh mengerjakannya," ucap wanita itu sambil menyerahkan setumpuk berkas.

"Oh, terimakasih Mbak Reyna," jawan Alea ramah. Ia tersenyum lembut dan santun

"Jika perlu aku bisa membantumu, Lea," tukasnya langsung berlalu.

Alea mengamati gadis itu, berjalan menjauhinya. Lalu mendesah kesal saat matanya tertuju pada tumpukan kertas yang berada dalam genggamannya. Bagaimana tidak. Alamat nanti malam dia akan begadang lagi demi sebuah naskah yang masih ngadat. Karena, ini bisa dikerjakan tanpa lembut juga sudah bagus banget. Namun tidak bisa. Meskipun hanya setengah sampai satu jam, dia akan mengulur waktu pulang.

=======

Alea berdiri di halte menanti bus yang akan membawanya pulang ke rumahnya, namun sebuah mobil ferary merah berparkir tepat dihadannya, dari jendela terlihat sosok tampan sedikit berewok, berkacamata hitam menoleh ke arahnya memberi isyarat agar Alea masuk.

Tanpa basa-basi, Alea membuka pintu mobil duduk di samping kemudi. Diabaikannya, meskipun banyak sekali pasang mata yang memandang ke arahnya. "Loh sudah balik ke Indonesia, Kak?" sapa gadis itu. Karena, kemarin dia bilang tiga hari lagi balik. Harusnya besok. Tapi, kenapa sekarang?

"Iya, sudah dua hari ini, tapi Intan dia menghilang entah kemana," jawab Jevin, sedih.

"Apakah selama kau di Kuala Lumpur tidak berkomunikasi?" tanya gadis itu juga mengekspresikan wajah yang bingung. Tapi, dalam hati ia bersukur sekali, segera membersihkan semua bekas kejahatannya dengan rapi. Bahkan, benda-benda yang rusak juga sudah ia pungut, dia bakar dan abunya dia masukkan ke kantong kresek, lalu membuang ke tempat sampah.

"Dia menghilang sejak tiga hari lalu, entah kemana," Jevin tertunduk sedih.

Alea menyentuh pundak Jevin, "Sabar, ya kak. Semoga Intan segera ditemukan." Bahkan, kali ini Alea nampak jelas sekali dia sedih dan ikut bersimpati pada pria di sebelahnya. Sungguh tak nampak, kalau dialah pelaku yang membuat Intan menghilang. Tapi, siapa yang akan berfikir demikian, sejak dulu sampai akhir kematian gadis itu, tidak ada yang memberi bukti, kalau ia membenci Intan.

"Makasih, Alea," jawab Jevin sambil menyentuh tangan Alea yang berada di pundaknya.

Alea menatap Jevin begitu rapuh, namun keibaan tak lagi ada di hati itu, apalagi penyesalan. Benar-benar habis tak tersisa. Hati dan lisan sangat bertolak belakang. Jika lisan dia ikut sedih, hatinya malah tertawa puas, dan menantang Jevin, 'Hahaha. Coba kau cari adik kesayanganmu itu. Apakah kau bisa menemukannya dengan utuh? Padahal, baru nanti malam aku berencana membakar tulangannya.'

Dengan cepat Alea melepaskan genggaman tangan Jevin tatkala dering ponsel dari dalam tasnya menyadarkan dirinya. Buru-buru dia menjawab panggilan itu, tak lama kemudian mematikan lalu memandang ke arah Jevin dengan ekspresi yang sama. Panik, bingung, sedih, dan juga takut.

"Siapa?" tanya pria itu.

"Ibuku, bisa mengantarkanku pulang sekarang, Kak?"

"Oh, iya, apakah ibumu baik-baik saja, Lea?"

"Ya, dan aku pastikan dia tidak apa-apa,"

Jevin berkerut kening menerima jabawab Alea yang benar-benar tidak ia mengerti, tapi dia malas bertanya, entah karena dorongan apa. Hanya melajukan mobilnya lebih cepat saja agar segera sampai. Toh, Jevin itu tidak baru kenal dengan Alea. Bisa dikatakan, mereka itu tumbuh bersama. Dia tahu seperti apa dia. Walau kata-katanya sedikit aneh dan sering sekali ambigu. Tapi, dia akui, kalau Alea adalah sosok yang cerdas