Sampai di rumah, Alea mendapati ibunya duduk di atas karpet bersandar pada meja meringkuh sambil menyeka air matanya, begitu melihat putrinya sudaj tiba, wanita itu seketika berhambur memeluk Alea. "Ayahmu, Lea," ucapnya sambil terisak.
'Apakah dia sudah gila?' tanya gadis itu dalam hati. Ia puas dan senang jika memang itu yang benar terjadi. "Ayah kenapa, Bu?" tanya Alea seorang diri.
"Ayahmu kenapa dia, Lea? Dia teriak-teriak sendiri seperti orang ketakutan dan tidak bisa bicara. Ibu tidak tahu, Nak," ucap Yulita sambil memeluk erat putrinya dan menangis terisak.
'Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Bu. Katakanlah! Tapi, aku tidak bisa menyembuhkan ayah,' sesal Alea. Tak mampu melihat ibunya menangis. "Memang, awalnya kenapa dia?"
"Ibu juga tidak tahu nak, kata teman kantornya tadi dia ditemukan pingsan, tapi begitu sadar dia jadi seperti itu," jelas Yulita, sedih.
Alea menoleh ke arah Jevin yang mematung diambang pintu, memberi isyarat untuk menenangkan ibunya, sementata Alea melangkah menuju kamar dimana sang ayah berada.
Ia membuka pintu kamar, mendapati Rafi sang ayah duduk dengan tatapan kosong, wajahnya pucat menyiratkan shock dan depresi berat. Perlahan-lahan Alea melangkah menghampiri ayahnya yang melamun, setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya.
"Hay Ayah! Kenapa kau berlagak linglung begini? Tapi ini lebih baik dari pada kau main wanita, karena isi dari kepala wanita itu sudah kau makan, bagaimana rasanya Enak?" tawa Alea nampak mengerikan.
Rafi sedikit mundur, ketakutan dan trauma, dan mulai berteriak, "Pembunuh, pergi kau, pergi pembunuh jangan dekati aku! Aku masih mau hidup."
"Tenang Ayah, aku ini putrimu, aku tidak akan melukaimu asal kau bisa diam, atau kau akan bernasib sama seperti Intan?" ancamnya sambil mengeluarkan sebilah pisau dari pinggangnya yang selalu ia bawa ke manapun.
Rafi mengangguk ketakutan, kedua telapak tangannya ditelungkupkan di atas kepalanya, sambil berseru "Ampun, ampuni aku, jangan lukai aku."
"Asal kau tetap diam dan jangan buka rahasia, karena jika tidak, aku tidak akan segan-segan merobek mulutmu memisakkannya dengan wajahmu lalu kuhidangkan di meja makan!" cetus Alea, puas, lalu menyimpan lagi pisau itu kembali, di pinggangnya. Lalu keluar kamar.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah, Ibu?"
"Ayahmu tadi mengamuk, Lea. Baru dia bisa diam setelah diberi obat penenang. Tak kusangka, dia bisa segera terjaga dengan cepat dari tidurnya.
"Ibu tidak perlu panik. Jangan terkaku dipikirkan dan dan dibawa sedih, ya Bu? Alea takut nanti ibu malah jatuh sakit. Jika ibu sakit, siapa yang akan mengurus ayah saat aku bekerja nanti? Ibu tenang saja kita akan berusaha Bagaimana agar ayah bisa sembuh. Atau, setidaknya dia bisa sedikit tenang saja dulu," ucap Alea, menenangkan ibunya.
"Iya tante, kata Alea benar, saya bisa mengantar om sekarang juga, jika harus ke psekeater," ucap Jevin, menawarkan diri.
"Baiklah, tante akan siap-siap dulu, Jev," serunya langsung berlalu.
Sementara Alea nampak kebingungan mendengar sang ayah akan dibawa ke psikeater. Alea menoleh ke arah Jevin, "Aku persiapkan ayah dulu, Kak! Tunggulah di sini. Maaf, tidak sempat menyediakan kau minum. Di dalam lemaei es banyak air mineral dan softdrink."
"Iya. Kau tidak perlu repot, Alea. Ya sudah, aku tunggu kau di sini, ya?" Pria itu pun duduk bersandar pada single sofa
Kembali Alea masuk kamar Rafi, di sana Rafi nampak ketakutan melihat Alea kembali menemuinya. Ia berusaha berlari mencari tempat persembunyian, di kolong, bawah nakas serta masuk ke dalam lemari pakaian.
"Tenang Ayah!" bentak Alea kesal.
"Ayah jangan bersikap seperti itu, atau kuhabisi nyawamu saat ini juga! Besikaplah baik padaku di depan orang lain, dan jangan pernah bongkar semua ini!" cetus Alea melotot penuh emosi.
Alea menoleh ke arah pintu saat mendengar dua langkah kaki beriringan menuju kamar, "Bersikaplah manis di hadapan mereka jika kau masih ingin hidup, ayo jangan pasang wajah takut padaku, bergantilah pakaian Ayah, kita akan berobat!" lembut Alea, lalu berdiri mendekati ibunya dan Jevin.
"Sepertinya Ayahmu lebih mendengarmu, Lea. Bisakah kau cuti untuk beberapa hari ke depan? Ibu minta tolong padamu, temanilah ayahmu!" pinta Yulita.
"Iya, Ibu, aku akan ambil cuti beberapa hari sampai ayah kembali pulih, atau setidaknya, dia bisa lebih mendingan kondisinya," tukasnya.
'Aku akan cuti, untuk memperburuk kondisi ayah, Ibu. Karena bahaya jika dia sampai kembali Waras,' batin Alea. Ia memalingkan wajah dan menyeringai.
Alea tetap tenang selama perjalanan menuju rumah sakit jiwa untuk mengobati ayahnya. Meskipun ia tahu, bagaimana cara mereka menaganin pasiennya agar segera pulih. Padahal, justru itu yang membuat ia menjadi tenang. Selama ada uang, apa sih yang tak bisa dibereskan? Apalagi ayahnya. Kalau bisa, selamanya begitu sampai ajal menjeput akan jauh lebih baik.