Hari selanjutnya.
Karena Alea mengambil cuti selama dua hari tidak masuk kerja, Alea memanfaatkan waktunya untuk segera menyelesaikan naskahnya agar segera terbit. Karena, melihat para pembaca dari media sosial, sangat berantusias ingin segera memesan bukunya. Bahkan, ada beberapa pembaca setianya yang sudah japri, memesan lebih dulu sebelum PO dibuka.
Karena sudah hampir jadi, dan tinggal menyempurnakan saja, Alea menghubungi Wulan, meminta agar dia datang ke rumahnya saja jika tidak keberatan. Sebab, dia tidak mungkin meninggalkan ayahnya sendirian.
Padahal, langsung kirim via email saja sudah bisa. Tapi, dasarnya saja Wulan si editor manja itu selalu mencari alasan, lebih suka bertemu dengannya dari pada komunikasi lewat media sosial.
Jika Alea menolak diajak kopdar, dia selalu berkata dengan wajah melas, "Lea, apakah kau tidak tahu aku ini di sini untuk liburan. Tapi, karena bingung mau ke mana aku sambil bekerja. Apakah kau ingin aku gila dengan baca naskah-naskah dari para penulis? Cuma kau satu-satunya yang dekat."
Alea hanya tersenyum miring mengingat perkataan Wulan yang itu.
"Wow, Alea, ini keren banget," seru Wulan, setelah membaca lanjutan novel yang kemarin.
"Kamu uda baca semua halamannya sampai habis?" tanya Alea yang tengah rebahan di atas kasur sambil bermain ponsel.
"Iya, eh ini bukan sekuel Rarania di Broken Home, kan?" tanya Wulan, sedikit melantur. Mungkin saja tidak, dia hanya menghubungkan saja. Sebab, biasanya psikopat itu, berasal dari orang baik yang terus-terusan ditindas, dan lahir dari keluarga broken.
"Bukan, nama tokoh aja lain, emang kenapa?" Alea meletakkan benda pipih di tangannya. Kemudian duduk memandang ke arah Wulan.
"Tidak, ada kemiripan aja, sama-sama terlahir dari keluarga broken, kalau Rarania dia jadi pribadi yang diam dan cenderung menyepi, Sedangkan Revanda, dia tertekan sampai menjadi psycopath. Ih sereem," Wulan bergidik.
"Ya namanya cerita. Harus berfariasi lah, ini mungkin jika aku tidak sibuk, tidak sampai minggu depan sudah tamat. Bagaimana? Kau suka?"
"O, tentu saja suka sekali. Ok, kamu kirim aja semua ini ke emailku, ya. Nanti aq edit sebagian mumpung lagi longgar," jawab gadis itu. Kemudian mengeliatkan tubunya di atas kursi kerja Alea.
"Ok, baiklah," singkat Alea.
Wulan tiba-tiba bangkit dia berlari ke arah toilet kamar Alea, tanpa sepatah kata apapun. Mata Alea mengikuti kemana Wulan berlari sampai tak terlihat dibalik pintu toilet.
"Hey, kamu ngapain, Wulan?"
"Tiba-tiba perutku mules, Lea," sahutnya dari dalam.
Alea tersenyum geli, lalu pergi menuju dapur membuah wedang jahe, dan makanan ringan. Ia berfikir kalau Wulan mungkin masuk angin. Karena, diluar hawanya memang sangat dingin. Udaranya juga tidak nyaman ke tubuh. Terlebih, Wulan datang ke mari dengan hanya mengendarai motor.
Kemabali dari dapur, Wulan sang editor sudah duduk manis di depan laptonya lagi.
"Minum dulu!" serunya sambil menaruh nampan di sebelah Wulan berisi dua gelas wedang jahe panas, yang masih mengepulkan asap dan makanan ringan.
"Thank you!" karena terlalu fokus dengan tulisan di hadapannya, Wulan terjatuh saat tangannya berusaha meraih biscuit yang letaknya hampir tidak terjangkau oleh tangannya.
Dengan cepat Alea meraih tubuh Wulan, tapi tangan gadis itu tanpa sengaja mengenai pinggang Alea hingga sebuah benda terjatuh dari sana, yang diduga, Alea sisipkan pada rok sepannya.
Wulan melihat benda itu, dan tercengang, lalu meraihnya dan terbukalah sebuah pisau yang sangat tajam, "Apa ini Alea?" tanyanya sambil menunjukan di depan wajah Alea.
Alea diam tak berkutik, dengan ekpresi tetap tenang, ia memandangi Pisau itu, lalu meraihnya dan kembali meletakan pada pinggangnya, "Sudah jangan parno begitu, nanti kau tidak bisa tidur, ayo makanlah ini jangan lupa, wedangnya diminum!"
Wulan menuruti permintaan Alea, lalu memakan makanan yang telah disediakan, ia berusaha mengusir pikiran negatif yang hinggap di kepalanya.
Lagi pula, siapa yang tidak parno, setelah membaca kisah tentang Revanda yang ke mana pun tak pernah luput dari pisau lipat yang sangat tajam di pinggangnya, ia mendapati benda serupa, seperti yang tergambar pada novel itu ada pada Alea. Lagian, penulis mana bisa mendeskripsikan suatu benda dengan sangat detil jika tidak pernah melihat benda itu sendiri.
Puas dengan pikirannya yang terus menebak-nebak, akhirnya Wulan memohon diri, karena sudah malam.
Kembali Wulan dikejutkan oleh ayah Alea, yang nampak mengalami gangguan jiwa, begitu saja tertunduk takut saat melihat Alea, dan menurut saja pada istrinya saat mengajaknya ke dalam, padahal sebelumnya ia memberontak, berteriak dan ingin kabur.
Pikiran Wulan semakain kacau, dengan kejadian demi kejadian yang ia lihat di rumah Alea, segera ia menghidupkan laptopnya, membuka email dari Alea, membaca ulang isi cerita psycopath yang bahkan sudah dua kali ia baca di sana.
Wulan terperanjat, membaca setiap paragraf yang tertulis di sana, ingatanya langsung pada pisau dari pinggang Alea dan Rafi yang nampak depresi.
"Di sini Revanda selalu membawa pisau, selalu ia gunakan untuk melukai siapapun yang ia anggap menyakiti hatinya, dan Alea tadi... Bahkan om Rafi serta ayah Revanda dalam cerita .... Oh tidak, ini tidak mungkin," gumamnya seorang diri.
"Alea sosok yang baik, sudah tiga tahun aku mengenalnya, dia memang pendiam, jiwa sosialnya juga cukup baik. mudah bergaul walau susah didekati. karena tidak pernah mau curhat, tapi tidak sejahat itu, kok," kembali Wulan menghibur diri.
"Tapi Revanda dia juga sosok yang dingin ramah di luar tapi jiwanya... Astaga jangan-jangan .... " Wulan menyentuh tengkuknya, ia segera naik ke atas ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Ayah Revanda gila setelah memakan daging selingkuhannya, tapi mana mungkin om Rafi memgalami itu. Apakah dia jugatukang selingkuh? lalu, apakah benar, Alea melakukan hal yang sama? membunuh dan memasak daging wanita itu dan memberikan pada ayahnya?"
"Sudahlah Wulan, dengan kau beranggapan itu kisah nyata Alea, kau juga meyakini Alea telah membunuh dan menghidakan daging seorang wanita pada om Rafi," ucap Wulan seorang diri, lalu mematikan lampu kamar berusaha tidur.