Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Prince Darma

🇮🇩AbelAdeline
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9.9k
Views
Synopsis
Disebuah dunia yang disebut dunia persilatan, dunia yang mirip seperti bumi pada jaman kerajaan, ditengah perebutan kekuasaan dan perebuatan untuk menjadi yang paling tertinggi di puncak persilatan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bagian 1. Kematian

"Dengar anakku"

Jantung Darma berdetak kencang ketika berjalan mendekati ayahnya perlahan, "Ayahanda Prabu" ucapnya pelan. Darma mungkin seorang pangeran tapi ia tetap harus merendahkan suaranya, tak berani menyamakan volume, jangan mengatakan apapun untuk berteriak. Ia memiliki banyak pertanyaan malam ini, situasinya cukup membingungkan, ayahnya tidak pernah dengan sengaja memanggilnya untuk berbicara berdua malam-malam, apa lagi di dalam hutan belakang istana.

Ayahnya Prabu Wiryo menatapnya dengan wajah sedih, menghela nafas lalu menggelengkan kepala. "Maafkan ayahmu ini. Kau masih muda . . . terlalu muda. . ."

Darma hanya duduk terdiam, ia baru saja berumur 8 tahun beberapa minggu yang lalu namun dalam pandangannya ia sudah jauh lebih dewasa. Seorang pangeran telah di didik dengan berbagai aturan dan pengetahuan semenjak usia 4 tahun tingkat kedewasaannya tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan anak-anak yang lain.

"Ayahanda, apa yang terjadi?" Darma memberanikan diri untuk bertanya.

Prabu Wiryo berjalan sedikit, mengusap wajahnya lalu menghela nafas sebelum akhirnya mulai bicara. "Kau tahu Darma, kerajaan Tengger sudah berumur lebih dari ratusan tahun dan sudah dipimpin lebih dari 8 raja termasuk ayahmu ini."

Darma mengangguk, dalam hatinya ia selalu mengingat hal ini, 'ia akan menjadi raja selanjutnya, raja Tengger ke 9!'

Wajah Prabu Wiryo semakin terlihat resah, "Sepertinya Darma . . ." Prabu Wiryo diam sejenak sebelum melanjutkan, "Ayahandamu ini akan menjadi raja yang terakhir."

Jantung Darma berdetak kencang, ia mengenal ayahnya bukan sebagai sosok yang suka bercada apa lagi mengenai masalah yang serius. Darma ingin membuka mulut dan bertanya tapi ia urungkan, saat ini lebih baik mendengarkan apa sebenarnya yang terjadi.

Prabu Wiryo menggenggam bahu putranya dengan kencang, "Kau akan menjadi harapan kami selanjutnya, tidak ada waktu lagi untuk menceritakan yang terjadi, ini adalah salahku, dosaku, tapi seluruh kerajaan kami yang menanggung akibatnya. Dengarlah, sekarang juga pergilah dengan paman Sanca, ia sudah tau apa yang harus dilakukan, kau dapat mendengar semuanya kemudian."

"Tapi ayahanda . . . ." Darma berubah panik, meskipun ia cukup dewasa secara pemikiran, ia tetap seorang anak kecil.

"Tidak ada tapi" Wajah Prabu Wiryo berubah keras, ia mengambil sebuah tongkat, memukulnya tiga kali ketanah. Sesosok ular besar muncul dari kekosongan lalu berubah menjadi seorang petapa tua.

"Sanca . . ." Prabu Wiryo melirik Darma sejenak, perpisahan sangat sulit, ia tahu itu, itu sebabnya sang ratu tidak berada disini, lebih cepat lebih baik. "Sanca, kau tahu apa yang harus dilakukan."

"Daulat Gusti, hamba akan melaksanakan tugas dengan nyawa hamba taruhannya."

Sang Prabu mengangguk, ia sudah mengenal Sanca sejak kecil, Sanca sang siluman ular telah melayani kejaraan semenjak tiga generasi sebelumnya. ia ditangkap oleh raja Wiraatmaja dan bersumpah akan menjadi budak kerajaan hingga akhir hayatnya. Sumpah siluman tidak seperti manusia, sumpah itu terikat ke nadi hingga jantungnya, jika ia melanggarnya maka hukuman langit akan turun, menyiksanya hingga ia mangharapkan kematian. Siksaan ini tidak selalu sama dan rentangnya berbeda, tingkatannya seimbang dengan seberapa besar penghianatannya akan sumpah tersebut dan tentu saja semuanya berujung kematian. "Pergilah" ucap sang prabu.

"Baiklah tuan Darma, silahkan ikuti saya."

Sang pangeran menggelengkan kepala, bagaimana bisa ia menerima begitu saja "Ayahanda . . .", hatinya dipenuhi keraguan, ia masih memiliki banyak pertanyaan. Di detik yang sama tiba-tiba suara menggelegar berbuyi di langit, api terlihat dari kejauhan menyambar dengan cepat memenuhi kerajaan. Sang Prabu menghela nafas "akhirnya mereka datang, Sanca cepat pergilah! aku harus kembali, jika mereka sadar aku tidak ada disana, mereka mungkin akan mengejar kalian."

Sang prabu menatap istana dari kejauhan, Darma hanya terdiam, menatap punggung ayahnya dengan siluet api menyala-nyala di depannya, sedetik kemudian sang raja telah menghilang.

"Ayahandaaaaa!" Darma berteriak sekencang-kencangnya dan berlari berusaha mengejar, namun Sanca muncul di depannya dan menghalangi, "Minggir paman Saca! ayahanda pasti dalam bahaya, ibunda juga dalam bahaya, aku harus kesana!"

Darma berusaha memberontak namun hanya dengan satu tangan sanca dengan mudah menghentikannya, "Tidak ada yang bisa kau lakukan meski kau pergi kesana, ayahmu sangat kuat, kita serahkan padanya, kau hanya perlu bersembunyi hingga keadaan kembali aman."

Sang pangeran terus memberontak hingga terdiam lemas, ia tahu betapa sakti ayahnya, di seantero negeri tidak ada satupun yang mampu menandingi kesaktian ayahandanya, namun entah kenapa ia sangat cemas sekarang, seolah sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Sanca mengangkat darma di bahunya lalu membawanya pergi jauh dengan sangat cepat, terkulai lemas Darma hanya bisa menatap kerajaannya semakin dari kejauhan, semakin jauh hanya api yang terlihat, lalu hanya hutan lebat keseluruhan. Sanca dengan cepat melompati pohon, lembah dan akhirnya hingga di sebuah gua di daerah pegunugan. "Mereka seharusnya tidak dapat menemukan kita disini, istirahatlah pangeran."

Tidak ada suara ataupun pergerakan, sang pangeran berwajah pucat hanya terkulai lemas tidak berdaya.

Didalam kerajaan

Sang Prabu muncul di tengah istana. Para menteri dan panglima pasukan telah siap berbaris, "Yang Mulia Prabu" ucap mereka serentak.

"Malam ini mungkin kita akan mati" sang prabu mengusap kursinya lalu menatap langi-langit, "Jika ada diantara kalian yang ingin hidup, pergilah, jika ada yang ingin mati bersamaku, aku ingin meminta maaf untuk semuanya."

Para menteri dan panglima menatap rajanya, mereka semua telah siap untuk mati bersamanya, tidak ada seorangpun yang ragu untuk lantas pergi dan melarikan diri sebagai pengecut." seorang panglima perang berteriak, gayung bersambut semua yang ada diruangan mengatakan yang sama untuk membakar semangat.

"Baik" Sang prabu mengangguk, "kalau begitu kita berperang!"

Di luar istana panah api terus menerus membakar bagian-bagian kerajaan, "Air, cepat air" semua abdi kerajaan sibuk untuk memadamkan api di berbagai titik.

Dari kejauhan ratusan pemanah terus menembak dan ratusan pasukan mayat hidup diam tak bergeming menanti perintah. Pemimpinnya di barisan paling belakang adalah yang paling kejam, panglima perang paling mengerikan yang pernah ada, panglima dari kerajaan Bukit Iblis. Panglima Luk.

"Hai Wiryo!" suara panglima Luk menggelegar di langit, meski jaraknya puluhan kilo meter namun suara itu dapat terngar jelas kedalam istana. "Berani-beraninya curut kecil sepertimu menyinggung tuan kami, sekarang malaikat maut datang menjemputmu!"

Di belakang tembok istana sang prabu dan pasukannya telah bersiap, "Apa semua rakyat biasa sudah di ungsikan?"

"Sudah Gusti, semuanya telah di pindahkan sejak tiga hari yang lalu, tidak ada rakyat biasa satupun di kerajaan ini." seorang panglima yang botak menjawab.

"Kerja yang baik."

"Malaikat maut?" Suara Prabu Wiryo juga menggelegar di langit, "Hanya yang maha kuasa yang dapat memerintahkan malaikat maut menjemput makhluk yang mana, datang lah! kami tidak akan menyerah secepat itu!"

"Sialan, kau Wiryo!, Pasukan mayat hidup, maju semuanya!"

Hanya berselang waktu yang cukup untuk mengikat sepatu pasukan mayat hidup dengan liar menyerbu istana dari berbagai arah, konsentrasinya sebagian besar di tujukan untuk menerobos gerbang istana. hujan panah api terbang dari dalam istana menembaki mereka namun tubuh tanpa jiwa itu tidak memperdulikannya dan terus menyerang meski tubuh mereka telah terbakar hingga bagian tubuh mereka hangus dan hancur.

satu jam kemudian akhirnya gerbang utama berhasi di terobos, beberapa pasukan mayat hidup berhasil memanjat dan menerjang pemanah, para panglima kerajaan Tengger mulai bertarung, puluhan hingga ratusan mayat hidup kehilangan kepalanya satu persatu. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, panglima Luk dan 5 panglima bukit Iblis lainnya bermunculan. "Mati kau Luk!" panglima yang berkepala botak menyerang langsung ke arah Luk, tombak panjangnya berputar kencang sebelum menusuk ke jantung sang panglima Bukit Iblis, namun sebelum tombang itu menembus dua jari Luk dapat menghentikan lajunya dengan sangat cepat "Mustahil!"

"Cih orang tua botak." hanya butuh beberapa detik Luk mencabut pedangnya, secepat angin berhembus ia berubah menjadi bayangan hitam dan muncul di belakang panglima botak, panglima botak seketika jatuh dengan kepala tertebas, begitu saja nyawanya meregang.

"Kurang ajar kau Luk!!!!!" Prabu Wiryo mengayun kan kerisnya, seketika puluhan mayat hidup hancur menjadi debu, memandang panglimanya meninggal, ia dipenuhi kemarahan namun ia tetap berusaha setenang mungkin, kemarahan hanya akan membuat pergerakannya kacau dan mungkin berakhir dengan kematian. Dengan kecepatan menakjubkan sambil menghunuskan keris ia bergerak menuju Luk.

Para 5 panglima Bukit Iblis lainnya dan 5 panglima kerajaan Tengger bertarung sengit, mereka ada pada tingkatan yang sama dalam hal kekuatan namun panglima Bukit Iblis memiliki keuntungan, tubuh mereka dapat memulihkan diri dengan cepat begitu keris panglima Tengger menebasnya, sedangkan para panglima Tengger tidak memiliki keuntungan itu, tubuh mereka mulai dipenuhi luka di berbagai bagian.

" Luk!!!" prabu Wiryo dengan gesit bertarung dengan panglima Luk, keris dan pedang beradu dengan kecepatan tinggi, mereka cukup seimbang, melompat kesana kemari hampir sulit ditangkap oleh mata.

"Kau bertarung cukup baik sesuai dengan reputasimu Wiryo."

"Terkutuk kau!"

"Kau yang dikutuk!, meski kau kuat, kau masih jauh lebih rendah dari tuanku, beraninya menyinggung beliau."

Tubuh kelima kerajaan tengger semakin dipenuhi luka, mereka kelelahan dan semakin kesulitan untuk bertarung, Klaang! salah satu panglima terjatuh roboh lalu pedang terhunus di dadanya. "Arya!!!" suara panglima di dekatnya memanggil, namun panglima itu juga seketika roboh dan tertusuk pedang lawannya.

"Kau seharusnya lebih menghawatirkan dirimu sendiri."

Satu persatu panglima kerajaan Tengger roboh, Prabu Wiryo hanya bisa mengerenyitkan dahi dari kejauhan, ia tidak boleh kehilangan ketenangannya. 'para panglima' desir didalam hatinya muncul kesakitan yang mendalam.

"Ayo kita bantu panglima Luk!" ucap salah satu panglima Bukit Iblis yang berewok dan gemuk.

Prabu Wiryo masih bertarung sengit dengan Luk, tidak ada satupun yang saling dirugikan, namun setelah lima panglima Bukit Iblis lainnya bergabung ia mulai semakin kesulitan untuk mengatasi serangan ke enamnya, Luk tiba-tiba melempar pedangnya menerobos pertahanan Wiryo yang terfokus ke lima lainnya, lalu mendaratkan pukulan telapak tangan telak di dada Wiryo [Pukulan Telapak Iblis].

Darah segar seketika keluar dari mulut sang prabu, ia terhuyung kebelakang, pandangannya seketika buyar, ia melihat api dimana-mana, seluruh pasukannya telah hancur, kerajaannya terbakar habis, ia lantas terjatuh.

Luk mendekat dan menjambak rambut sang prabu, "Prabu Wiryo, ck ck . . . kesombonganmu sudah berakhir."

"Panglima" sesosok pria berbaju hitam muncul entah dari mana, "Aku sudah memeriksa semua kerajaan, sepertinya para warga sudah di ungsikan sejak lama, tidak ada tanda-tanda dari keluarga kerajaan lainnya juga, mereka pergi bergerombol mungkin kita masih bisa mengejarnya."

Luk tersenyum sinis, "Cih, cecunguk ini sepertinya sudah siap mati, jangan kawatir, aku akan mengejar mereka meski ke ujung dunia."

Membuka matanya dengan berat sang prabu terseyum bangga. "Bunuh saja aku Luk, jangan harap kau dapat menemukannya."

"Setan Alas!!!" Sekejap saja Luk mengambil pedang panglima yang lain, tubuh sang prabu terjatuh tanpa kepala, Luk masih memegangnya, ia mengangkatnya ke langit lalu berteriak keras "Hidup Bukit Iblis!!!!"