Sudah beberapa menit sejak Darma dan Sanca memasuki bukit siluman, "bukit ini cukup luas mungkin akan perlu satu jam sebelum kita melewatinya."
"Paman, aku takut . . . "
"Jangan khawatir, para siluman itu tidak berani mendekat, mereka ada di tingkatan yang jauh di bawah ku."
Di sebelah kiri dan kanan, tidak terlihat apapun namun Darma dapat merasakan samar-samar ada yang menatap kearahnya. Ia pernah mendengar tentang bukit siluman sebelumnya, tempat ini tentu saja seperti namanya dipenuhi berbagai macam siluman, jika ada manusia yang masuk kedalamnya biasanya tidak akan pernah kembali. Dibilang biasanya karena tidak termasuk orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, siluman biasanya akan menghindari orang-orang seperti ini, mereka tidak mau ditangkap dan dijadikan budak seumur hidup. Hal ini juga yang menjadi sebab para siluman tidak menunjukan diri di pemukiman warga, hanya siluman yang sombong dan merasa kuat atau bahkan gila biasanya yang berburu manusia dan menyerang warga di pemukiman, siluman-siluman seperti itu biasanya berakhir diburu oleh para pendekar, menjadi budak atau di basmi hingga jiwanya hancur dan tidak bisa memulihkan diri.
"Sudah Semakin sore, semoga kita bisa keluar dari sini sebelum malam."
"Benar paman, aku merasa semakin kedinginan, berpikir untuk melewati tempat ini disiang hari bisa begitu menegangkan, aku tidak bisa membayangkan kalau melewatinya setelah matahari terbenam apalagi bermalam disini, ih . . . rasanya mengerikan."
Tersenyum kecil Sanca mengabaikan kata-kata Darma. Meski ia adalah pangeran, ia masih tetaplah anak kecil. Seberkas ingatan muncul dipikirannya, hari itu Darma baru saja dilahirkan, bayi mungil itu berkulit putih dengan tangan yang lembut dan lucu. Bayi itu semakin besar dan berlarian di halaman istana menyusahkan semua pengasuhnya, tertawa lebar lalu tidur kelelahan. Siluman tidak pernah dibiarkan mendekati pangeran, ia hanya bisa menatapnya dikejauhan namun rasa sayang muncul dihatinya bukan hanya karena ikatan janji yang ia buat namun dari hatinya yang paling dalam ia sangat menyangi anak ini, ada rasa ketertarikan yang aneh yang belum pernah dirasakannya, ia merasa anak ini suatu saat akan menjadi sosok yang besar yang mungkin merubah hidup semua orang.
Boom!!! Tiba-tiba sebuah pohon tumbang dan menghalangi jalan, Sanca melompat menghindar lalu berhenti dan bersiaga. Ia dapat merasakan bahwa ada musuh yang cukup kuat mendekat, "Siapa itu? tunjukan dirimu!"
Dua buah sosok muncul, seorang pria kekar dan pemuda kurus di belakangnya, "Tidak perlu kau suruhpun aku akan menunjukan diri" ucap pria kekar.
"Siluman harimau dan kera rupanya, jangan mengjalangi jalanku, menyingkirlah!"
"Ha ha ha, kau boleh pergi setelah meninggalkan anak kecil itu."
"Kau boleh bermimpi!" Dengan cepat Sanca menggambar lingkaran dengan jarinya mengelilingi Darma. "Apapun yang terjadi jangan keluar dari lingkaran ini tuan."
"Paman Sanca . . ." Darma hanya bisa terdiam menatap, tubuhnya bergidik sedikit takut menatap si pria kekar, pria itu pasti siluman yang cukup kuat hingga berani manantang paman Sancanya.
"Siluman ular tidak tau di untung, sekarang Mati ditanganku!!"
Macan melompat, cakar panjang muncul dari jari kukunya dan mengibas dengan cepat, cakar itu sangat tajam bahkan mampu membelah besi semudah pisau membelah tomat. Perlu waktu beberapa detik saja untuknya hingga sampai dan merobek tubuh sanca, namun cakar itu kenyataannya hanya merobek angin.
Sanca mengilang sejenak lalu muncul dibelakang Macan, tangannya berubah menjadi cambuk panjang dikibaskan ke tubuh Macan yang masih kebingungan, seketika Macan terlempar cukup jauh menumbangkan beberapa pohon yang tertabrak tubuhnya. Raungan harimau terdengar, ia menjadi sangat marah. Cakar tajam itu mencari pegangan lalu bangkit dengan sigap "Tak kusangka ular kecil sepertimu dapat melakukan teleportasi."
"Tidak buruk bukan."
Siluman kera hanya melihat dari jauh, ia lebih suka menatap mangsanya, membayangkan betapa lezat anak kecil itu, sudah terlalu lama, lama sekali ia merasakan daging manusia. Ia sangat tidak sabar hingga ingin sekali menyambarnya, namun kera itu tahu kalau lingkaran pelindung yang mengelilinginya bukan sembarangan. Meskipun begitu sang kera tahu kalau lingkaran pelindung memiliki kelemahan, sedikit saja objek di dalam perlindungan mengeluarkan bagian kecil seperti jari atau kaki, ia dapat menariknya dan merusak pelindung itu. Namun anak itu terlihat tenang seolah tau ia tidak boleh panik, alih-alih keluar dari lingkaran ia malah duduk bersila dan memejamkan mata. "Sialan, anak yang pintar."
Banyak mata lain menyaksikan pertarungan ini, mereka semua berharap memiliki kesempatan sedikit saja mencicipi daging manusia yang terkenal amat lezat meski mereka tau sang Macan tidak mungkin bersedia berbagi, namun mereka masih tertarik tentang siapa yang akan menang dari pertarungan ini. Pertarungan berlanjut semakin sengit, jelas terlihat siluman ular sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan, namun siluman harimau bukanlah lawan yang mudah, tubuhnya sangat kuat hingga masih sulit untuk mengalahkannya, apalagi untuk membunuhnya.
Pertarungan berlangsung alot hingga larut malam, kedua pihak terlihat sama-sama dirugikan dan mulai kelelahan. "Kau masih belum menyerah juga ular!"
"Kau harus melewati mayatku dulu, tidak akan kubiarkan jari kotormu menyentuh tuan muda."
"Cih, menjijikan, siluman yang melayani manusia, aku lebih memilih mati daripada melayani makhluk hina itu."
"Kau bilang makhluk hina tapi kau sendiri ingin menyantapnya, lalu makhluk apa yang memakan makhluk yang hina? makhluk super hina?"
"Setan kau!"
Sang harimau meraung hingga membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan, ia berusaha lebih keras untuk menyerang siluman ular namun kecepatan siluman ular sangat mencengangkan, jika tidak mampu menghindar ia akan menghilang dalam kekosongan lalu muncul entah dimana dan mulai menyerang lagi, terus begitu, pertarungan ini sulit menentukan hasil kecuali ada salah satu pihak yang menyerah.
Darma berusaha untuk tetap tenang, tubuhnya mulai pegal dan lapar, lingkaran pelindung ini terlalu kecil, ia takut pergerakan sekecil apapun akan merusaknya. "Apa yang harus ku lakukan?" pikirnya dalam hati. Sang pangeran sebenarnya tidak lemah, ia sudah belajar ilmu kanuragan semenjak sangat kecil, ia terbiasa berlatih dengan para pasukan bahkan dengan paman Sanca, dengan tubuh kecilnya ia mampu mengalahkan preman-preman di pasar bahkan siluman level rendah bukanlah tandingannya. Namun ditempat berkumpul puluhan bahkan mungkin ratusan siluman begini ia tidak boleh gegabah, ia harus berpikir cerdas dan mencari jalan keluar.
Sambil berpikir sang pangeran memulai usahanya untuk berlatih, ini lebih baik daripada membiarkan pikirannya kosong. ia mengingat ingat ajaran ayahnya tentang 'Ilmu Kanuragan Alam'. Para pendekar umumnya berlatih ilmu ini untuk meningkatkan keuatan fisik, semakin tinggi tingkatan kekuatannya maka semakin kuat pula tubuhnya, kabarnya yang sangat kuat bahkan tubuhnya tidak dapat dilukai dengan benda apapun hingga mampu memindahkan gunung.
Tingkat pertama adalah 'Mula' meski tingkatan awal, namun ini adalah tingkat yang sangat sulit, karena bagaimanapun dasar adalah pondasi, semakin kuat pondasinya maka tingkat selanjutnya akan semakin kokoh pula. Nyatanya tidak banyak pendekar yang dapat mencapai tingkatan ini, menyerah dan akhirnya memutuskan untuk berlatih pada teknik bertarungnya.
Mengawali apapun selalu yang paling sulit, setelah susuatu berjalan biasanya akan lebih mudah hingga mencapai kemacetan selanjutnya. Darma sudah memulai jalur ini sejak usianya lima tahun, ayahnya mengatakan bahwa lebih cepat ia memulainya maka akan lebih baik, normalnya pendekar lain memulainya di usia sepuluh tahun lalu mencapai tingkat ini tujuh tahun atau sepuluh tahun setelahnya dan tentu saja ada yang gagal dan selamanya mendapatkan tubuh fisik yang biasa saja.
Siluman biasanya terlahir dengan tubuh di tingkat 'Mula' itu sebabnya mereka begitu kuat dan sulit dikalahkan, mereka hanya bisa dilukai dengan senjata khusus yang setara, lebih kuat atau misalnya tubuh seorang pendekar dengan tingkatan yang sama. Contoh yang sederhana adalah Macan dan Sanca, mereka berdua memiliki tubuh 'Mula' tingkat akhir, artinya dalam hal fisik mereka berimbang dan oleh sebab mereka dapat melukai satu sama lain. Jika ada siluman dengan 'Mula' tingkat awal yang menyerang mereka, sama saja seperti bayi memukul pria dewasa, hanya sedikit gatal dan mudah diabaikan. Karena tinggi tingkatannya Sanca atau Macan dapan membunuh siluman dibawahnya dengan satu atau dua serangan hanya dengan mengandalkan fisik saja.
Sementara Darma, ia bahkan belum mencapai tingkatan 'Mula' ia masih bisa dikatakan setengah 'Mula'. Jika satu lawan satu dengan siluman biasa ia masih bisa unggul dengan teknik bertarungnya, dan tentu saja ia harus memengang senjata khusus. Namun jika siluman itu cukup hebat dan berhasil menyentuhnya ia masih dapat mati dengan sangat mudah.
Duar!!! kali ini Sanca yang berhasil di lemparkan, Darma mengerutkan kening, "Paman . . ."
Sanca bergegas berdiri dan menghilang sebelum serangan Macan menyentuhnya, cakar itu kembali menggores udara kosong. Nafas macan mulai terdengar tidak stabil, ia mulai kelelahan, begitu pula Sanca, pertarungan ini sudah menguras kekuatan fisik mereka cukup banyak. Sanca juga sebenarnya tidak bisa terus menerus berteleportasi, kemampuan ini memang mengandalkan kekuatan alam, namun kekuatan tubuh fisiknya juga terkuras lebih banyak banyak dibandingkan dengan melompat biasa, ia memperkirakan mungkin hanya bisa berteleportasi dua kali lagi.
Siluman kera masih menonton, senyuman terlukis di wajahnya, ia tahu kedua siluman ini sudah kelelahan, setelah mereka berdua tumbang maka kesempatan selanjutnya adalah miliknya. Ia akan melakukan apapun untuk menghancurkan pelindung itu, segera setelah tidak akan ada yang mengganggunya tentunya.
Sang Fajar akhirnya menampakan diri lagi, pertarungan masih terus berlanjut, satu demi satu pohon tumbang di sejauh ratusan meter di sekitar area pertarungan, kedua petarung sudah amat kelelahan, luka mengaga disekujur tubuh mereka beregenerasi dengan sangat lambat, darah hijau dan merah berceceran dimana-mana. "Ini akan menjadi serangan pamungkasku." Ucap Macan.
"Baiklah, kita akhiri ini."
Sanca mungkin masih terlihat tenang, namun nyatanya ia sangat panik, ia tidak boleh kalah dalam pertarungan ini atau sang pangeran juga akan mati. Lingkaran pelindung itu dibuat olehnya, oleh sebab itu begitu ia mati, maka lingakarannya akan melemah lalu akhirnya menghilang, bagaimanapun ia harus menang dan membawa kabur pangeran.
Macan dan Sanca saling berhadapan, cakar penuh darah telah disiapkan untuk serangan terakhirnya.
"Terimalah seranganku ular!!!"
[Jurus Cakar Besi]
Cakar macan bergerak dengan cepat, sedikit asap tipis muncul dari ujung cakarnya lantas merubah warna cakarnya menjadi hitam legam.
"Matilah Macan!!!"
[Jurus Angin beracun]
Cambuk Sanca berputar kencang seperti tornado, namun tornado ini tidak hanya angin kencang, namun juga sangat amat beracun.
Boom!! kedua jurus beradu menimbulkan riak besar ditengah lingakaran yang dibentuk oleh pohon-pohon tumbang, asap tebal mengepul ditengahnya.
"Siapa yang menang? atau dua-duanya mati?" Siluman kera dan yang lainnya amat penasaran.