Kabut asap mulai menipis, jantung sang pangeran berdegup kencang. Rasa khawatir, gugup, takut bercampur aduk menjadi satu. "Paman...." Panggilnya dengan keras.
Sebuah sosok mulai menampakan diri, sosok besar bercakar penuh luka tampak lunglai, "Itu Macan, bagus sekali, dia menang!" Teriak siluman kera kegirangan. Pandangan matanya beralih ke sosok anak kecil dalam lingkaran "waktunya makan."
Sosok lain muncul dari balik asap, seekor ular besar dan panjang tergulung penuh luka. Pertarungan panjang ini telah menguras habis kekuatannya hingga ia tidak mampu berubah ke sosok manusianya. Kini ia hanya ular biasa, ia berusaha bergerak maju menuju tuannya namun luka-lukanya membuatnya sangat lambat.
"Ular jelek ini tidak mau menyerah." Macan terseok-seok mencoba berjalan dan menginjak ekor Sanca.
"Paman . . ."
"Aku jadi sedikit kasian padamu ular, bagaimanapun kau pasti melindungi anak ini karena janji yang dipaksakan, Uekkkkk." Tiba tiba Macan memuntahkan seteguk darah, "eh . . . Racun? Ular sialan, baru aku mengasihanimu ternyata kau berani meracuniku?" Penuh kemarahan Macan mengangkat kakinya tinggi sekali bersiap untuk membunuh sang ular.
"Tunggu, lepaskan pamanku!!!" Darma panik dan keluar dari lingkaran perlindungan. "Lakukan yang kau mau padaku, tolong lepaskan pamanku, jangan ambil nyawanya!" Air mata menetes dari pelupuk mata Darma.
Siluman kera yang sudah menanti sejak lama, tidak sabar dan bersiap melompat menyambar mangsa, namun ia urungkan ketika tatapan Macan tajam kearahnya.
"Berani kau sentuh mangsaku!" Suara raungan Macan menggelegar seantero bukit, memastikan tidak ada siluman lain yang akan mencoba menyentuh mangsanya.
"Ta . . tapi, kita sudah sepakat kalau aku dapat menyicipi sebagian dari anak ini."
"Aku tidak pernah mengatakan sepakat."
Kera mendengus marah, ia kini sadar kalau tidak memiliki kesempatan sedikitpun. Meski Macan terluka parah dan kesulitan bergerak, namun ia tahu ini bukan waktunya cari masalah, mungkin ia dapat mengambil keuntungan dari situasi sekarang akan tetapi jika dikemudian hari jika siluman harimau itu telah pulih dari luka-lukanya maka mungkin hari itu juga akan menjadi akhir hidupnya.
"Baiklah, aku kagum akan keberanianmu anak kecil, sepertinya hubungan kalian bukan hanya sekedar terikat janji, aku akan melepaskan ular ini kalau begitu, racunnya juga tidak terlalu hebat lagipula, setelah memakanmu dalam beberapa bulan aku pasti sudah bisa membersihkannya dari seluruh tubuhku." Macan meninggalkan tubuh ular dibelakang dan perlahan berjalan menuju Darma, ia dapat merasakan anak kecil itu sangat ketakutan, ia ingin membuatnya lebih tertekan, tidak ada yang lebih nikmat dari buruan yang ketakutan sebulum menjemput ajal.
Darma menutup matanya, ia benar-benar sudah mengambil keputusan ketika keluar dari lingkaran, ia ingin menjadi pemberani di akhir hayatnya namun samar-samar ketakutan menghampiri dan menyebarkan riak di hatinya. 'Aku akan mati', 'aku akan mati . . .'
Yang para siluman dan dan sang pangeran itu tidak tahu sebenarnya sebuah sosok lain telah mengamati mereka dari kejauhan dengan tenang, sosok itu terus menimbang apakah ia akan ikut campur atau membiarkan takdir berjalan dengan sendirinya. "Eh" terkaget sosok itu saat melihat si anak kecil keluar dari lingkaran perlindungan dan berusaha menyelamatkan nyawa siluman ular. "Dia sebenarnya rela mengorbankan dirinya demi siluman?"
Sosok misterius itu terus menonton, ia menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya, "Mungkin sebenarnya anak ini terikat sebuah takdir denganku" ucapnya. Macan mengaum dengan keras, beberapa lama kemudia ia berjalan perlahan menuju sang anak, aura di tubuhnya sangat gelap dipenuhi niat membunuh yang pekat, "Sepertinya aku tidak punya waktu untuk berpikir lagi."
Sembuah cahaya melesat dengan kecepatan tinggi, sebelum Macan dan semua siluman sadar cahaya itu melewati tubuh ular dan sang anak secara bersamaan. Sang anak dan ular telah menghilang.
"Apa yang terjadi?" Macan kebingungan, ia melirik kera namun sang kera segera menggeleng.
"Bukan aku, sumpah demi dewa Hanoman."
Raungan marah menggelegar terdengar dari kejauhan disusul suara keras pepohonan yang tumbang, Macan dengan liar menyerang kesana kemari tanpa tujuan sementara sebuah cahaya melesat dengan kecepatan menakjubkan terus menjauh. Hanya perlu beberapa detik saja cahaya itu sampai disebuah lembah, di lembah itu ada sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu, lebih mirip pondokan, namun cukup kuat dan layak untuk tempat tinggal. Cahaya itu menghilang lalu tiga sosok muncul dari dalamnya, seorang pria paruh baya, seorang anak kecil dan seekor ular.
"Uh, sepertinya aku berlari terlalu cepat, anak ini sampai pingsan, dan ular ini sebenarnya . . . "
Pria paruh baya itu masuk kedalam rumahnya lalu menidurkan sang anak, rasa penasaran muncul di dalam dirinya, ia lalu menempelkan kedua jarinya di dahi sang anak. [Ingatan Jiwa] Teknik ini ditujukan untuk memeriksa ingatan seseorang. Pria paruh baya itu ingin mengetahui apa yang terjadi dengan sang anak, adalah keanehan baginya hubungan ikatan siluman dan manusia dapat begitu dekat.
Ingatannya anak itu satu-persatu muncul didalam pandangannya, seorang anak lahir begitu murni, "Anak laki-laki, ini benar-benar anak laki-laki" ucap salah seorang pria diruangan itu. "Aku akan menamainya Darma!" Tahun demi tahun anak itu mulai tumbuh dewasa, dari kejauhan sang siluman ular terus menerus mengawasinya tanpa kenal lelah bahkan ketika sang anak terlelap.
Setelah umur lima tahun, anak itu memulai pelatihannya untuk menjadi seorang 'Mula'. Anak itu sangat berbakat menuai pujian dari siapapun yang membantu mengajarinya termasuk ayahnya. Semakin besar sang anak berlatih berburu, menangkap penjahat kecil sang siluman ular selalu berada di dekatnya. Waktu terus berjalan dengan cepat hingga sampai di hari ketika ayahnya meminta Darma ke hutan belakang istana, waktu itu ia sebenarnya sudah menduga ada sesuatu yang aneh, kerajaan lebih sepi dari biasanya dan ia tidak dapat menemukan Ratu dan adiknya dimanapun,ia sudah bertanya pada banyak petugas istana namun tidak dapat menemukan jawaban apapun hingga akirnya malam itu. Darma berakhir melarikan diri dengan paman Sanca dan akhirnya sampai di Bukit Siluman dan 'paman Sanca . . . Paman sanca tidak boleh mati . . . aku tidak tahu nasib ibu dan adikku, namun paman Sanca sekarang adalah satu-satunya keluargaku . . . aku tidak mau menyerahkan hidupnya . . . biarkan aku mati, tapi paman harus hidup.'
Pria paruh baya itu menarik jarinya, "Jadi begitu rupanya . . ." ia melirik ular besar disebelahnya, "Ikatan batin sudah terjalin erat, namun pada dasarnya hati anak ini yang amat lembut, sungguh amat jarang menemukan hati selembut ini di tengah keluarga yang amat mapan, dan bakatnya . . . "
Tidak melanjutkan kata-katanya ia lantas mengambil sang ular keluar dan menutup pintu.
Hari demi hari berlalu, setelah tiga hari akhirnya Darma membuka mata "Paman!" ucapnya begitu sadar, ia melirik kiri-kanan tempat ini begitu asing baginya. Yang terakhir diingatnya adalah ketika sedang berhadapan dengan siluman harimau, ketakutan seketika menjalar di sekujur tubuhnya, tatapan itu, tatapan mengerikan itu, aura membunuh itu masih dapat ia rasakan dengan jelas. "Benar, apa yang terjadi? apa aku di tangkap?"
Tanpa pikir panjang Damar bergegas ke pintu dan menariknya, "Sebenarnya tidak dikunci?" ia menyadari artinya ia tidak sedang dikurung. Ia lalu mengingat lagi sebuah cahanya muncul sebelum siluman itu meraihnya, 'apa aku sebenarnya diselamatkan?'
Mengumpulkan keberanian sang pangeran membuka pintu dan berjalan keluar, tempat itu sebuah lembah yang diapit sebuah tebing, warna hijau terlihat dimana-mana, namun sejenis bunga berwarna merah tumbuh ditepian lembah mengelilingi sebuah rumah di tengah-tengahnya. Seorang pria duduk bersila diatas alas karpet tidak jauh dari tempatnya keluar, pria itu mengenakan pakaian serba putuh dengan sabuk kain dan ikat kepala berwarna coklat. Tidak berani bertindak tidak sopan Darma memutuskan menunda rasa penasarannya sejenak, ia duduk di tepian rumah menunggu hingga pria itu selesai sambil menikmati angin dan wangi tanaman.
Tidak lama kemudian sang pria membuka matanya, ia tidak kaget dengan anak yang duduk di tepian rumahnya. Dengan kemampuannya ia dapat merasakan apapun yang terjadi seluas diameter 1km, ia dapat mengetahui pergerakan seekor semut diujung lembah yang sedang bersusah payah mengangkat makanan, tidak perlu disebutkan lagi tentang seorang anak yang terbangun di dalam rumahnya. Sebenarnya ia ingin memberikan tes akhir pada sang anak, ia ingin tahu apa anak ini memang benar-benar layak.
"Kau sudah bangun?' Tanya sang pria.
Sang anak yang baru tersadar dari lamunan bergegas berdiri dan berpose memberi salam, "Salam pendekar." Darma merasa siapapun orang di depannya jika ia yang menyelamatkannya pastilah seorang pendekar yang memiliki ilmu yang amat tinggi.
Pria itu mengangguk, "Namaku Yohan, orang mengenalku sebagai Pendekar Badai Kilat. Oh kau pasti ingin tau tentang ular itu, jangan kawatir, ia mungkin tidak bisa kembali ke wujud manusia untuk sementara waktu, namun siluman itu baik-baik saja."
Menghela nafas lega sang pangeran semakin merasa pendekar di depannya memang bukan pendekar biasa, "Saya ingin sekali menanyakan hal itu dengan segera, namun saya tidak berani tidak sopan, saya ucapkan terimakasih banyak dari hati yang paling dalam, saya benar-benar bersyukur pendekar datang dan menyelamatkan kami."
"Bukan masalah, hidup dan mati bukan aku yang menentukan tapi yang di atas, aku hanya kebetulan ada di sekitar sana dan merasa harus ikut membantu. Nah, adik kecil apa yang akan kau lalukan sekarang?"
Darma terdiam berpikir sejenak "Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu, tanyakan saja."
"Apa tempat ini masih di sekitar Bukit Siluman?"
"Benar, lembah ini hampir bisa dibilang ada di tengah-tengah bukit, tapi jangan khawatir, tidak ada satu silumanpun yang akan berani mendekati daerah ini, aku sudah memasang pelindung yang amat kuat."
"Tuan pendekar. . ." Darma sedikit merasa ragu sebelum melanjutkan, "Sebenarnya saya dalam perjalanan menuju kerajaan Sungai Permata, sebenarnya saya sedikit malu untuk meminta setelah apa yang sudah tuan lakukan, jika tidak merepotkan, sudikah tuan pendekar mengantar kami hingga keluar dari bukit ini lalu setelah itu saya dan paman saya akan melanjutkannya secara pribadi."
Yohan tertawa keras, ia berhenti dan tersenyum kecil sebelum akhinya menjawab, "Kau benar-benar anak yang langka, maksudmu kau mau membawa ular itu sendiri hingga kerajaan Sungai permata apa kau tahu berapa jarak dari bukit ini kesana? dengan kemampuanmu meski berlari mungkin akan memakan waktu lima hari penuh."
"Tapi . . ." Darma hendak bicara namun segera di potong oleh Yohan.
"Itu sangat mustahil, kau tahu beberapa hari yang lalu pasukan mayat hidup mulai memasuk bukit ini, mereka hampil mengelilingi seluruh wilayah sekitar bukit dan seluruh jalur perjalanan menuju kerajaan Sungai Permata, mereka sepertinya mencari sesuatu. Entah apa yang akan mereka lakukan kepada anak sepertimu yang melakukan perjalanan sendirian."
Mendadak tubuh Darma terasa lemas, rasa tenang sejenak yang akhirnya ia dapatkan seketika buyar, jadi sebenarnya pasukan itu masih mencarinya, ia teringat dengan ibunya, adiknya . . .'apa mereka selamat?'
"Lalu tuan, apa mungkin anda mau mengantarkan kami hingga kerajaan Sungai Permata?"
Dengan cepat pendekar itu menggeleng, "Ada alasan mengapa aku tinggal di bukit ini, aku tidak bisa pergi."
Tertunduk lemas, sang pangeran merasa kehilangan semangat, "Tuan, apa ada yang bisa saya lakukan?"
Pendekar Badai Kilat tersenyum, ia sudah munggu-nunggu pertanyaan ini "Ada" ucapnya.
"Eh" dengan perasaan linglung setelah kehilangan harapannya ia merasa menemukan cahaya baru. "Benarkah? apa yang bisa saya lakukan?"
"Cukup mudah, kau hanya perlu menjadi lebih kuat dan mampu pergi sendiri."
"Lebih kuat, maksud anda?"
"Tinggalah disini untuk sementara waktu dan aku akan memastikan kau akan menjadi salah satu pendekar paling sakti yang pernah ada." melihat muridnya yang terdiam kebingungan Yohan hanya menghembuskan nafas kecil. "Berlututlah nak!, kini aku telah menjadi gurumu."