Malam terasa begitu panjang didalam peperangan, waktu mengalir begitu lambat dan terasa begitu berat, para prajurit biasa mulai berlarian ketakutan setelah rajanya terbunuh, mereka yang kuat mental hanya bersiap menjemput maut. Burung hantu dari kejauhan menatap takjub kobaran api yang semakin membesar menjalar dan membakar apapun di dekatnya, semakin besar lalu hening, tak ada suara lainnya yang terdengar, para pasukan bukit iblis telah menghilang.
Hingga fajar datang api masih berkobar, mulai menipis, namun masih dapat terlihat di sisa-sisa reruntuhan. Seekor ular besar merayap di sudut 'istana' seperti mencari sesuatu, terus merayap dan berhenti di sebelah tubuh sang prabu. Di sudut mata sang ular setetes air mengalir pelan, ia mengedip lalu menghilang ke kekosongan.
Di dalam gua Darma meringkuk ketakutan, air mata mengering di pelupuk matanya, di mulut gua sesosok pria tua muncul. Ia bergegas berdiri dan mendekati pria tua tersebut, "bagaimana paman? apa yang terjadi? apa aku sudah bisa kembali?"
Sang pria tua menghebuskan nafas dengan keras, menggelengkan kepala namun tetap diam tanpa kata.
"Paman?"
"Bersiaplah, kita akan melakukan perjalanan panjang setelah ini, kau ingat bibi mu?"
"Aku ingat, ia adalah istri raja Yuda, Raja dari negeri Sungai Permata."
Sanca mengangguk, "Kita akan menuju kesana dan meminta perlindungan."
"Apa maksud paman? mengapa kita tidak kembali ke rumah?"
Sejenak Sanca tediam sebelum menjawab, sangat pahit, namun itu adalah kenyataan yang harus anak ini ketahui cepat atau lambat. "Tidak ada lagi rumah, kuatkan hatimu, ayahandamu sudah wafat."
"Apa? apa maksud paman? siapa yang wafat?" darma mulai menangis lagi.
"Kerajaan Tengger sudah hilang nak, kau yang tersisa di garis keturunan, kau adalah harapan terakhir."
Menangis terseguk-seguk sang pangeran terjatuh lemas, baru kali ini ia menangis layaknya anak kecil, biasanya ia akan menahannya apapun yang terjadi. namun kali ini . . . kali ini ia baru kehilangan hal besar. Tiba-tiba saja ia sedikit kembali ke akal sehatnya karena mengingat sesuatu yang penting "Lalu ibunda? apa yang terjadi dengannya, adikku Myra? apa mereka selamat?"
Sanca menggeleng, "hamba tidak tau, sang prabu memerintahkan mereka untuk kabur lebih dulu dengan rakyat jelata, hamba hanya diperintahkan untuk melindungi tuan Darma, jika para pasukan Bukit Iblis itu tidak berhasil mengejar, mereka seharusnya baik-baik saja."
"Bukit Iblis? apa maksud paman? apa pasukan Bukit Iblis yang melakukan hal ini?" Darma sedikit bergidik ketika nama itu disebutkan, sebagai seorang pangeran ia mendapakan wawasan tentang beberapa kekuatan besar, Bukit Iblis adalah salah satunya, mereka bagitu menakutkan hingga membuat orang takut dengan menyebut namanya, mereka memiliki ilmu kanuragan yang aneh, pasukan mayat hidup dan ilmu-ilmu iblis lainnya.
"Benar, itu mereka."
"Tapi mengapa?"
Sanca menggeleng, "Belum saatnya tuan, hamba hanya boleh memberitahu tuan tentang hal ini jika kekuatan tuan telah melebihi almarhum Prabu Wiryo."
"Apa? Melebihi?" Darma terdiam, ia tahu betapa kuat ayahnya, ia mungkin cukup berbakat dalam ilmu kanuragan secara ia telah berlatih dari usia kurang dari empat tahun, namun untuk menyamai tingkat ayahnya ia merasa sangat-sangat jauh, jangan mengatakan untuk melebihi, dari dulu ia selalu merasa itu hal yang mustahil. "Bagaimana kalau aku tidak bisa?"
"Maka tuan bisa melupakan soal apapun yang terjadi dibelakang dan hidup dalam damai." Menggeleng lagi pria tua itu lantas berbalik, "Jangan terlalu lama bersedih, kita harus bergegas pergi, hamba akan menunggu diluar."
Beberapa lama kemudian Darma keluar dari gua, wajahnya masih terlihat sangat buruk, sejenak ia merasa sangat putus asa, namun kata-kata ayahnya selalu terngiang-ngiang, ia adalah pangeran bagaimanapun juga, ia harapan untuk kerajaannya untuk bangkit dari kehancuran. Sebenarnya untuk anak usianya pemikiran sang pangeran sudah cukup matang, ia dari kecil sudah terkenal dengan kecerdasan dan pengamatannya yang baik, ia mampu menilai dan berpikir dengan sangat tenang. Jika hal buruk ini tidak terjadi mungkin ia akan hidup tenang dan menjadi raja yang cerdas dan bijaksana.
"Aku sudah siap untuk pergi paman."
Sanca mengangguk, "Naiklah kepunggungku, akan lebih cepat jika hamba yang membawa tuan, mungkin saja kita akan sampai lebih dulu dari kelompok Ratu."
Tanpa berpikir panjang Darma naik ke punggung sang pria tua, mereka lalu melesat dengan kecepatan tinggi menembus pepohonan lebat di depannya.
Normalnya perjalanan dari kerajaan Tengger ke Sungai Permata akan membutuhkan waktu seminggu dengan berjalan kaki atau beberapa hari dengan kuda, namun dengan kecepatan sanca hanya perlu waktu sekitar setengah hari saja. Saat ini mereka sudah berlari selama tiga jam, namun Darma sudah kelelahan dan merasa lapar.
"Paman, aku lelah, bisakah kita berhenti untuk makan dan minum dulu?"
Sang pria tua menghentikan langkahnya dan menurunkan sang pangeran, "hamba mencium bau makanan, seharusnya ada desa kecil di sebelah sana, jika hamba menggendong tuan mungkin akan jadi keanehan, kita berjalan sedikit apa tuan keberatan?"
Darma menggeleng, "Tidak masalah, aku bukan anak manja paman, jangan lupakan itu!"
Tersenyum kecil Sanca menuntun Darma menuju sebuah desa, hanya berjalan sebentar mereka sampai disebuah lembah dengan sungai kecil, ada sebuah warung yang cukup ramai di ujung desa, mereka bergegas ke sana.
Seorang gadis muda mendekati mereka beberapa lama setelah memilih meja, "Ada yang bisa di bantu mas, de?" ucap gadis itu.
"Aku ingin ayam goreng, dan air kelapa" Sebut Darma.
Sang gadis melirik kearah Sanca, "Beri aku minum saja, dan ayam tanpa nasi." Gadis itu mengangguk lalu pergi menuju dapur.
Tidak menunggu begitu lama, hidangan telah tiba. Telah kelaparan semenjak tadi Darma makan dengan amat lahap, pria tua di sebelahnya menatap iba sebelum akhirnya menyentuh pesanannya. Bersamaan dengan itu sekeompok pria yang tampak seperti pendekar memasuki tokok, mereka tampak sedang mengobrol serius dari luar. "Benar-benar mengerikan" ucap salah seorang.
"Ya, bulu romaku masih bergidik hingga sekarang, apa yang sebenarnya mereka cari?"
"Apa yang kalian bicarakan?" Seorang pendekar dari meja lain bergabung.
"Mayat Hidup, mereka hampir dimana-mana"
"Mayat hidup? maksudmu mayat hidup dari bukit iblis?"
"Benar, mengerikan sekali bukan?"
"Tapi tempat ini cukup jauh dari bukit iblis, apa kau tidak salah lihat?"
"Tidak, kami tidak akan salah, mereka sepertinya mencari sesuatu."
"Mengerikan . . . . tapi bukankah ini wilayah asosiasi pendekar? mereka seharusnya tidak berbuat macam-macam kan?"
"Kuharap begitu."
Darma dan Sanca saling berpandangan. "Cepat selesaikan makananmu, kita harus segera pergi!" bisik Sanca. Darma mangangguk lalu bergegas menyelesaikan makannya.
Para pendekar ini masih mengobrol panjang ketika kakek tua dan anak kecil itu pergi, mereka menuju hutan lalu seperti sebelumnya Darma digendong berlari. "Kita sepertinya terlambat tuan, kita harus bergegas pergi."
Darma mengencangkan pegangannya saat Sanca berlari dengan kecepatan maksimum, setelah agak melambat tiba-tiba ia memikirkan sesuatu. "Paman, aku punya pertanyaan."
"Apa itu tuan?"
"Kenapa aku tidak bergabung dengan kelompok ibunda? kenapa aku dipisahkan?"
Sanca terdiam sejenak sebelum mulai menjawab "Kelompok besar terlalu mudah untuk di lacak, lagi pula lebih baik tidak menyimpan semuanya di satu kapal, bila satu tenggelam yang lain masih bisa terselamatkan."
"Tapi . . ."
Pembicaraan mereka terputus begitu saja, Darma memutuskan menyimpan keraguannya di hati, ini bukan waktu yang tepat untuk bedebat lagi pula. Sanca terus berlari dengan kecepatan penuhnya tanpa lelah, siluman sepertinya memang memiliki fisik yang tangguh, mereka mampu menyerap kekuatan alam dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan milik sendiri, hingga sebenarnya meskipun tidak makan selama setahun, mereka masih mampu bertahan. Energi alam juga memberi mereka usia yang panjang, siluman ular biasanya mampu hidup hingga ribuan tahun, yang mati dibawah ratusan biasanya yang mati terbunuh.
Tiba-tiba saja, sanca menghentikan larinya, wajahnya berubah pucat.
"Ada apa paman?"
"Aku mencium bau pasukan mayat hidup, sepertinya kita tidak bisa berlari lagi."
"Bukannya lebih cepat lari untuk menghindari mereka?"
Sanca menggelengkan kepala, "Saat aku lari, aku menggunakan kekuatan alam, pengguna kekuatan seperti para siluman atau pasukan Bukit Iblis akan bisa merasakannya, aku takut mereka mencoba mencari tahu dan menemukan kita.
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Kita akan memutar arah ke Bukit Siluman, ada banyak siluman disana jadi seharusnya mereka tidak akan curiga."
"Tapi bukannya tempat itu berbahaya?"
"Tidak ada pilihan, jika kita terus berlari begini cepat atau lambat akan di tangkap mereka, mungkin kita punya kesempatan lebih baik jika berputar arah."
Segera Sanca berlari sekencangnya memutar ke arah Bukit Siluman, bukit itu tidak begitu jauh, hanya perlu seperempat jam mereka telah tiba di mulut bukit. Suasana segera berubah begitu masuk kedalamnya, Sanca tentu saja tidak merasakan apa-apa, dia siluman bagaimanapun juga. Namun berbeda dengannya darma merasakan hawa yang amat dingin sekejap begitu mencapi mulut hutan, ia berpegangan semakin erat ke pakaian 'pamannya'. Dari kedalaman hutan jutaan mata menatap mereka berlari, sesekali beberapa siluman yang haus darah mencoba mendekat tertarik namun mengurungkan diri setelah menilai betapa kuatannya siluman ular yang membawa anak itu.
Seorang siluman kera yang mencari makan berhenti sejenak ketika melihat seorang anak manusia dan siluman ular berlari, ia dapat merasakan betapa saktinya siluman ular itu, bagaimanapun ia bukan tandingannya. Namun kera yang licik memiliki cara lain, ia mengenal siluman yang jauh lebih kuat. siluman kera melompati pohon dengan cepat lalu memasuki sebuah gua, "Macan, Macan, dimana kau?"
Seorang penjaga gua muncul dalam bentuk manusia, "Hei kera, kenapa kau mencari tuan kami?"
Sang kera menggaruk kepala, lalu berubah menjadi pria muda yang gagah, "Kucing centil, cepat panggil tuanmu, ini penting!"
"Penting? apa maksudmu?"
Seorang pria berbadan gagah bak binaragawan muncul dari dalam gua, ia meraung "Ada apa kera? kau ingin aku makan?"
Sang pemuda bergidik pelan, "Aku punya berita penting, tapi jika kuberitahu aku ingin minta bagian."
"Belum kau sampaikan, sudah ingin minta bagian, dasar kera rakus" siluman kucing menatap siluman kera dengan kesal.
"Cepat katakan!" Macan sang siluman harimau juga merasa terganggu.
"Ada seorang anak kecil masuk kedalam hutan, tapi ia dilindungi oleh siluman ular yang cukup kuat, oh tentu saja tidak ada bandingannya dengan sang siluman harimau yang sakti."
"Anak kecil?" Air liur menetes dari mulut Macan.
"Aku hanya minta kaki atau tangannya sudah cukup." Tegas siluman kera.