TUJUH BELAS
"Aku Mahesa Birawa memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!"
Suara yang hampir menggeledek itu dengan serta merta menghentikan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si pemuda asing masih berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi membuat dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian bagus. Pada pinggangnya terselip keris.
Dalam hatinya pemuda itu menggumam: "Hem... jadi inilah dia manusianya yang bernama Mahesa Birawa itu...". Selagi dia menggumam begitu laki-laki itu melangkah mendatanginya.
"Orang asing!," kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang. "Meski kau punya sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk memamerkannya!"
Si pemuda keluarkan suara bersiul. "Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa saat ini...?" tanyanya.
"Kau siapa?!," membentak Mahesa Birawa.
"Namaku tertulis di kening anak buahmu itu!" Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke mayat Suto Rande.
"Hem... bagus kalau begitu!" Mahesa Birawa puntir kumisnya. "Kau yang membunuh Kalasrenggi, bukan?"
"Tidak! Aku hanya menggantungnya dan Tuhan kemudian mengambil rohnya....".
Habis berkata begitu pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh.
"Kau tahu Mahesa, manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di dunia! Masih kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu... di atas bumi ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!"
"Di sini bukan tempat pidato, budak hina!," bentak Mahesa Birawa.
"Oh, begitu…? Kalau demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku memang sudah lama mencari kau!"
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam membesi. "Kalau aku bicara dengan kau maka biar aku terangkan padamu bahwa kedatanganmu ke sini hanyalah untuk mengantar nyawa!"
Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka. Setiup angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212!
Pendekar 212 lompat tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan menghantam sebuah pohon kayu.
"Buum!"
"Kraak!"
Pohon itu bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak menyangka kalau pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
"Mahesa Birawa," katanya, "Soal pertempuran soal mudah. Mudah dimulai, mudah diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara dengan kau! Empat ma...."
"Budak hina! Siapa sudi bicara dengan kau!" potong Mahesa Birawa membentak.
Sekali lagi tangan kanannya dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan sepertiga dari tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari tenaga dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas karena Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
"Mahesa Birawa, apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara empat mata?!"tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya.
Kalau saja dia tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga dibalasnya serangan-serangan Mahesa Birawa tadi!
Untuk tidak terlalu kehilangan muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan maka berkatalah Mahesa Birawa: "Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu akan aku bikin merat juga dari kau punya badan!"
Pendekar 212 tertawa.
"Dengar Mahesa Birawa…" kata pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan kesabarannya. "Aku membawa pesan dari Eyang Sinto Gendeng…"
Maka terkejutlah Mahesa Birawa mendengar nama itu.
"Kau ini siapa kalau begitu?!" tanyanya.
"Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang diri, Mahesa Birawa. Datanglah seorang diri...."
"Kau bisa bicara di sini!"
Pendekar 212 menggeleng. "Di bukit Jatimaleh..." desisnya.
"Aku bilang di sini!," bentak Mahesa Birawa. "Takutkah kau datang ke bukit itu malam-malam gelap begini? Atau mungkin takut pada dinginnya udara? Atau mungkin takut pada roh-roh manusia yang selama ini membayangimu....?!"
Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit yang ada di situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi tujuh tombak.
Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang pohon, membuat satu kali putaran pada saat mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis senjata rahasia.
Mahesa Birawa berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali menyerang dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan, menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke tanah!
Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengar suara seruannya mengiangi anak telinga. "Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang diri.... !"