DELAPAN BELAS
Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit menyatakan hendak ikut serta tapi Mahesa berkata: "Biar aku sendiri yang membereskan urusan ini! Kalian semua di sini bersiap siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!"
Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada bintang. Udara yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang sampai ke sungsum.
Dalam kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan.
Yang satu membentak lantang: "Cepat terangkan siapa kau adanya budak hina!"
"Ah... jangan bicara memaki terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina dari kau!," jawab Pendekar 212.
Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera pula terhenti ketika didengarnya pemuda di hadapannya berkata: "Pesan Eyang Sinto Gendeng ialah agar kau segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam waktu secepat-cepatnya!"
"Kembali ke puncak Gunung Gede.... ?!"
"Yeah... Untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun gunung tujuh belas tahun yang silam!"
"Jangan bicara ngaco belo! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!"
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tertawa datar. "Aku hanya pesuruh buruk saja, Mahesa...." jawabnya.
"Dusta!," bentak Mahesa Birawa menggeledek. "Kalau kau tak mau bicara yang sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!"
Wiro Sableng bersiul. "Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya menyampaikan perintah Eyang Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung Gede! Kau dengar Mahesa.... He... he... he...."
Jari-jari tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
"Aku ingin tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau tidak…?"
"Aku tanya dulu! Apa hubunganmu dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin kesabaranku habis!"
"Kurasa akulah yang mustinya kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!" tukas Wiro Sableng. "Katakan saja terus terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto Gendeng! Itu lebih baik dan lebih jelas....!"
Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya: "Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu dengan aku, suruh dia datang ke sini!"
Suara menggeram jelas terdengar di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam membesi. Tanah yang dipijaknya melesak sampai tiga senti!
"Bicaramu terlalu besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih dari takaran! Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah memeliharamu, mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau mengandalkan apakah, Mahesa Birawa..... ?! "
"Bocah gila! Terpaksa mulutmu kurobek detik ini juga!" bentak Mahesa Birawa.
Secepat kilat, belum lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak mencengkeram ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan nyaring menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan tangan kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras mendorong tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi dorongan angin itu tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini keringat dingin memercik di kening laki-laki itu!
"Urusan kekerasan urusan mudah, Mahesa!," kata Wiro Sableng. "Tapi bicaraku masih belum habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di Jatiwalu. Ingat.... ?"
"Pemuda sedeng! Darimana...."
"Ah... kau masih ingat! Bagus... bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada masa tujuh belas tahun itu kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung Jatiwalu?! Apakah kau juga masih ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak kehormatan seorang perempuan bernama Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena malu perempuan itu bunuh diri?! Apa kau juga masih ingat dan sanggup menghitung berapa banyak jiwa penduduk yang kau renggut, kau bunuh?!"
Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat.
Dan pendekar 212 buka mulut lagi: "Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu aku sudah bertekad untuk menggerus kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke puncak Gunung Gede maka tak ada lagi halangan bagiku untuk membalaskan dendam kesumat seribu karat, untuk membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang akan memisahkan roh busukmu dengan tubuh bejatmu!" Habis berkata begini maka tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu roma.
Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu berlalu dan tahu-tahu kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan dengan anak laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti tak percaya dia akan kenyataan ini!
"Orang muda...!," kata Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran tenaga dalam agar tidak kentara getaran hatinya. "Kuharap kau cepat-cepat saja bangun dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa...!"
Pendekar 212 tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah: "Jangankan kau... Eyang Sinto Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau teruskan niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede hanyalah untuk mencari mampus sendiri!"
"Kita akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita yang akan dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang hari! Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari tepat sampai di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan matahari yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu, menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu karat!"
Mahesa Birawa keluarkan suara mendengus. "Aku bukan manusia yang bisa menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda... daripada kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan Pajajaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi seorang pejabat berpangkat tinggi.... !"
Wiro Sableng bersiul. "Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu! Besok siang di tempat ini. Mahesa. Darahmu atau darahku, nyawamu atau nyawaku!"
Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya. "Tak perlu tunggu sampai besok! Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai ini!"
Mahesa Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang angin yang sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang tanpa tunggu lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih sanggup menyapu kedua kakinya!
Dengan kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan kanan ke bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera!
Mahesa Birawa berseru tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting diserempet angin pukulan lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup berdiri di tempat setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak sampai lima senti ke dalam tanah!
Dalam keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara tertawa pendekar 212. "Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan sebagai manusia bernama Mahesa Birawa, tapi sebagai Suranyali!"
Wiro Sableng berkelebat.
"Budak hina! Jangan lari!" teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun pendekar 212 sudah lenyap dari pemandangannya ditelan kegelapan malam.