DUA PULUH SATU
Mahesa Birawa yang ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah hampir berhasil mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan menjadi terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya di jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan tombak tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan jalan darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang tergelimpang mati!
Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang kepala pasukan yang dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia disambut oleh satu pemandangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku Alit sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka.
Jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa hebat oleh satu gelombang angin ganas dari samping! Ketika dia berpaling maka sepasang matanya membentur pemuda yang tak asing lagi baginya.
Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan benda itu adalah kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang Prabu Kamandaka!
Kemarahan Mahesa Birawa tiada terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada berduri yang mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka!
Namun setiup angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia berpaling ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
"Aku lawanmu, Mahesa Birawa!," teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
"Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!"
"Budak hina! Kuburmu adalah di antara tumpukan mayat di tempat ini juga!," bentak Mahesa Birawa.
Sementara itu Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya adalah tokoh pemberontak kaki tangan Werku Alit yang berbahaya segera berteriak berikan perintah: "Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!"
Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
"Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia karena dia adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak untuk membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku! Serahkan dia padaku Prabu Kamandaka!"
Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar ucapan Wiro Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya: "Orang muda gagah, kau siapakah?!"
Wiro Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan pada kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah Sang Prabu!
Tak disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan kepadanya sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah betul-betul berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan mengabulkan permintaan Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur kembali.
Sementara itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh pasukan Pajajaran sehingga lari kucar kacir. Dan di antara gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang banjir darah, di udara yang masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua musuh besar, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa!
Pendekar 212 baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di muka dada ketika dengan membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris menusuk ke kepala dan gada rantai berduri menyapu ke perut!
"Ciaat!"
Wiro Sableng tak kalah hebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar dahsyat menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara ratusan tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali membuat kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka!
Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu dengan tenang!
Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping. Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali kembali menukik dan babatkan gada berdurinya!
Yang diserang sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di atas kepala. Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring!
Kapak Naga Geni memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul pada gada berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut sekali! Dan dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat ke arah selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara! Keringat dingin mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat pertempuran yang hebat itu.
Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat tekanan-tekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini terpaksa buang penggada berdurinya karena senjata itu dibabat puntung oleh kapak lawan!
Dengan penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi yang ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan senjata sembarangan dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan kanan dan tongkat besi bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan sinar dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan pula yang bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-bayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan kanannya terlepas mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke luar dari kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya.
Ketika dia melangkah ke muka maka kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan bergetar.
"Pemuda hina dina! Kau lihat lengan kananku ini?!" tanya Suranyali sambil acungkan tangan kanannya. "Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima bagian yang sama pula!"
Wiro Sableng tahu kalau tujuh belas tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan.
Namun hal ini sama sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan kelihatanlah tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya bersinar memerah menyilaukan!
Terkejutlah Suranyali melihat hal ini. Hatinya tergetar. "Pukulan sinar matahari…," desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam. "Silahkan mulai dahulu, Suranyali...," katanya menantang! Diam-diam Suranyali alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan.
Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh genangan darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan tangan kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar dan memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar di mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun pukulan Kelabang Hijau Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan sinar matahari Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat pastilah akan menjadi korban pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali merasakan badannya menjadi panas. Celaka! Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana seekor elang dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro Sableng. Wiro memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan gagakan besi. Tapi …
"trang!"
Sekali kapak itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat menjejakkan kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212 menderu lagi kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini melolong seperti srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
"Itu dari ayahku, Suranyali!" katanya. "Dan ini dari ibuku!" Kapak Naga Geni berkiblat lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu kirinya terpapas mental. Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang tanpa lengan itu!
"Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng, Suranyali!" kata Wiro Sableng pula dengan masih tertawa mengekeh seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali mental tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
"Yang terakhir ini dariku sendiri, Suranyali!," katanya.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau keluh kematian dari mulutnya.
Tubuhnya masih tersandar sesaat lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan tergelimpang di atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada lama menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah tubuh musuh bebuyutannya itu sampai belasan tombak!
Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan berada di antara hamparan ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan bersiul!
"Saudara muda!," Prabu Kamandaka memburu. "Tunggu dulu.... !"
Pendekar 212 berpaling.
"Ah.... aku sampai lupa minta diri padamu Prabu Kamandaka...."
"Saudara, kau tak boleh pergi dulu..."
"Kenapa?"
"Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa besar dan...."
"Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa tidak berarti mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal...."
Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda itu. "Kuharap kau sudi datang ke istana terlebih dahulu, saudara," katanya.
"Terima kasih Sang Prabu, terima kasih....," sahut pendekar 212.
"Kalau begitu beri tahu saja namamu...."
Wiro Sableng tersenyum. "Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212.
Mungkin suatu ketika angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini.... Dan satu hal.... jangan lupa sampaikan salamku buat adikmu.... Rara Murni...."
"Akan kusampaikan" kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian menyaksikan kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala dan tarik nafas panjang. "Pemuda hebat.... pemuda gagah....," katanya. "Pajajaran berhutang besar kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun....".
T A M A T