EMPAT BELAS
Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekali-sekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang jalanan.
Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang sebentar-sebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.
Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat.
Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
"Saudara, aku minta mentimunmu satu...." kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
"Rara Murni..." seru Wiro Sableng tiba-tiba. "Apakah kau suka makan mentimun?"
Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
"Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan mendapatkannya tak usah susah payah..."
"Terima kasih... aku tidak haus, Saudara...." Terdengar jawaban gadis itu.
"Hem...." Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu.
Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera datang.
Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya:
"Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?"
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan!
Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan menggeledek.
"Ciaaat!"
Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar. "Kentut betul!" makinya dan meludahi muka mayat petani ini. "Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri!
Puah...!" Diludahinya lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat.
Rara Murni tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur.
"Saudara, tolong aku!" teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
"Petani sialan!" gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
"Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!" teriak laki-laki yang mencekal Rara Murni. "Sreet!" Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
"Hemmm... jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh?
Seekor serigala yang berbulu domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!"
"Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!"
Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihai yang tengah menyamar!
Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
"Plaaak!"
Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya.
Wiro Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni. "Hari ini nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara," kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: "Tapi ada juga untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan. Rara Murni naik kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda itu!
Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia berpaling ke samping. Lalu berkata: "Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya...."
"Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?" tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212 tertawa. "Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab," ujar Wiro Sableng pula. "Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi...."
Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro Sableng berkata lagi: "Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi...."
Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata: "Saudara... tunggu dulu."
Pendekar 212 putar tubuhnya kembali. "Ada apakah Rara...?"
"Aku belum bilang terima kasih pada kau..."
"Ah...." Wiro Sableng goyangkan tangannya, "Tak usah... tak usah. Itu hanya kebetulan saja...."
"Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke istana."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara...." jawab Wiro Sableng.
"Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?"
Wiro Sableng tertawa. "Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan saja...."
"Jadi, apakah kau tidak punya nama?" tanya Rara Mumi pula.
Wiro Sableng tertawa lagi. "Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini...." Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.
Rara Murni memperhatikan angka itu. "Dua satu dua...:" desisnya. Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang. "Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos...." kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja.
Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka sia-sia belaka.
Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar?
Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total diadakan! Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan keterangan!