TIGA BELAS
Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya.
Dia menunggu sampai nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun terasa sakit.
Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya.
Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur sesosok tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil tua tadi!
"Letih?" tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
"Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara..."
"Aku tahu..."
"Lalu, mengapa lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut? Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?"
"Saudara, kau ini siapa sebenarnya?"
"Aku? Aku ya aku..." jawab Wiro pula.
"Kalau kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!"
"Ah... tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni.
Aku hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!"
Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata: "Walau bagaimanapun aku musti kembali ke Kotaraja selekas mungkin..."
"Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku..."
"Ikut ke mana?"
"Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa ekor kuda. Kau bisa naik kuda?"
Gadis itu menggeleng.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Kalau begitu..." katanya, "Kau terpaksa naik kuda bersama-samaku!"
Maka merahlah paras Rara Mumi. "Jangan bicara seenak perutmu, saudara!" bentak gadis ini.
"Heh... aku toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?"
"Aku lebih baik jalan kaki!" sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa. "Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan ini..."
Ucapan Pendekar 212 itu memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal itu nanti?
Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali: "Makin cepat kau sampai ke Kotaraja semakin baik..."
Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Wiro Sableng menggerutu dalam hatinya. "Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!" Dia geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti.
Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya yang buka mulut.
"Rara," kata Wiro ketika mereka sampai di jalan umum itu. "Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang."
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.
"Rara Murni..." kata Wiro Sableng. "Agaknya kau tidak senang terhadapku...? Tak mau bicara denganku?"
Rara Murni diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa adanya.
Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia. "Kita berangkat lagi, Rara...?"
"Saudara...." kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri. "Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau menuju ke mana?"
"Ah... ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali." kata pendekar 212 dengan senyum-senyum. "Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju... aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu... !"
Rara Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu. Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.
"Nasib kita baik juga rupanya Rara," kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
"Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?" Kedua orang di atas gerobak tak menjawab pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di sampingnya.
"Kalau kami tak salah lihat," kata laki-laki yang mengemudikan gerobak, "Agaknya kami berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran..."
Rara Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
"Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada di tempat ini...?" tanya laki-laki yang memegang kemudi gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik pada kawannya.
Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni: "Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran..."
"Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai ke Kotaraja." Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya bersama Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.