"Ibu, jangan tinggalkan aku," suara ratapan menyayat hati terdengar jelas. Membuat orang-orang yang ada di sekitar ikut sedih.
"Sudah, Sayang. Biarkan Ibu mu tenang, jangan menangis lagi."
"Kenapa Ibu pergi, Ayah? Kimberly bahkan belum puas memeluk tubuh ibu."
"Ini sudah takdir, semua yang bernyawa akan pergi pada akhirnya. Kita hanya tinggal menunggu giliran."
"Kimberly belum bisa mengikhlaskannya."
Sang ayah terdiam, bagaimana bisa anak-anaknya baik-baik saja setelah kehilangan ibu mereka. Dia saja sudah sangat terpuruk, kehilangan untuk selamanya memang sangat amat menyakitkan."
"Maaf karena ayah tidak bisa melindungi ibu mu."
Hanya kata-kata itu yang bisa Kimberly Adriana Smith dengar sebelum matanya menggelap dan terdengar suara panik memanggil namanya.
Tidak tahu sudah berapa jam ia tertidur. Kimberly hanya bisa melihat bahwa dia sedang tertidur di ranjangnya dengan jendela yang sudah tertutup rapat, pertanda kalau hari sudah sangat malam.
Mencari ingatan, ia tiba-tiba teringat bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ibu. Semuanya sudah berakhir, dirinya tidak lagi bisa bertemu dengan satu-satunya wanita yang begitu mencintainya. Kimberly menjadi rindu, jika biasanya ia akan mendengar omelan ibunya yang marah akibat dirinya yang suka di kamar, maka sekarang rumah terasa hampa dan kosong.
"Sudah bangun, Sayang?" tanya sang ayah ketika masuk ke dalam kamar putrinya.
"Hm, dimana kakak Ken?"
"Dia memutuskan pergi ke luar Negeri untuk mengurus perusahaan cabang di sana, mungkin sekaligus mengobati hatinya yang patah akibat kepergian ibu kalian."
"Apa Ayah tidak sedih?" Kimberly penasaran dengan perasaan ayahnya.
"Tentu, bahkan sangat sedih. Tapi ayah ingat kalau ayah masih punya kalian terutama putri kecil ayah. Akan bodoh kalau ayah terus menerus larut lalu mengabaikan diri mu."
"Kimberly rindu ibu, Ayah."
"Begitu juga dengan ayah, Sayang."
ยฐยฐยฐยฐยฐยฐยฐยฐยฐ
"Sudah selesai, hanya tinggal menunggu giliran."
"Tidak sia-sia kau merencanakan semuanya, Nak. Akhirnya, anak tidak berguna itu mati juga."
"Tentu, Ayah. Setelah ini, jalan ku menjadi nyonya Smith akan semakin mudah! Aku benar-benar sudah tidak sabar lagi."
"Ibu juga, Sayang. Berbesan dengan keluarga kaya seperti mereka, seperti sebuah mimpi indah untuk ibu. Pasti akan banyak yang iri pada ibu."
Keluarga itu tertawaan bahagia, tidak ada kesedihan setelah kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Bahkan salah satunya sudah menjadi pembunuh, ternyata darah tidak bisa menjamin kau tetap baik-baik saja.
"Lalu, apa langkah mu selanjutnya?"
"Merayu Edward tentunya, Ayah. Aku sangat yakin kalau dia pasti akan kesepian dan usaha ku akan berjalan lancar."
"Jangan lupa melenyapkan putrinya, Nak. Ibu ingin cucu ibu yang menjadi Nona kaya keluarga Smith."
"Pasti, Bu. Dia akan pergi bersama ibunya."
Benar-benar tidak punya hati, mereka beranggapan kalau nyawa manusia itu tidak penting. Hanya ada kekayaan dan kekuasaan, selebihnya, tidak ada yang penting. Bahkan mungkin di masa depan mereka akan saling menikam satu sama lain. Kita tidak pernah tahu bagaimana hati manusia. Rambut sama hitamnya, tapi hati siapa yang tahu.
"Aku jadi tidak sabar, Bu." Anak perempuan berusia 20 tahun, masih sangat muda. Namun sudah punya pemikiran yang mengerikan, merebut milik orang lain.
Benar kata orang-orang, buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Bagaimana ibunya maka begitulah anaknya. Ibu adalah guru dan sekolah pertama seorang anak, jika ibunya saja sudah cacat lalu bagaimana bisa anaknya tetap baik-baik saja.