Chereads / Love Story in Paris / Chapter 2 - Bab 1

Chapter 2 - Bab 1

Author @Rara_el_hasan

Bab 1

Love Story in Paris

Boulevard, Saint Martin - Prancis

Sialan Doroti, ingatkan aku untuk menggendutkan rekeningku mulai bulan depan. Haruskah aku yang membereskan perbuatannya? Ini hampir selalu terjadi di akhir pekan. Ah, mestinya aku sudah bisa mengistirahatkan tulang punggung dan mata yang lelah begadang semalaman. Terjebak di perpustakaan menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Tapi ini? Aku menelan saliva susah payah. Ya, aku paham, Doroti sudah lewat masa remaja. Namun tak perlu juga meninggalkan jejak seperti ini, mengacak seisi apartemen dan menyisahkan benda karet itu di mana-mana. Pakaian dalamnya juga.

"Arrg! Doroti!" kesalku, melempar tas canvas yang melingkari bahu ke atas sofa di depan LCD TV.

Jika saja dia tidak menguras isi tabunganku untuk menjajal hampir semua makanan di kota ini, baik restoran mahal atau pun food street, kurasa aku sudah pindah dan hidup sendiri.

Bisakah kau, Ana? itu hati kecilku. Dia meledek. Seorang Anabeth Carlyel bisakah independen? Aku layaknya parasit yang tak bisa hidup tanpa Doroti. Di kota yang dulunya bernama Lutece ini, aku pasti tersesat jika tak berada di tangan yang tepat. Prinsip anehku. Rasa canggungku terhadap hubungan itu, dan tingkah polosku -- itu kata Doroti-- menjadi bahan ejekan jika sampai ke telinga, setidaknya teman satu kampus.

Dan bersyukurlah aku bersama Doroti, sahabat terbaik yang menganggap biasa prinsip Virgin until mariage-ku.

"Se réveiller!" pintaku setengah keras.

Gadis yang sedari tadi kubicarakan dalam hati itu, meringkuk di atas ranjang. Terkurung selimut tebal putih. Hanya ubun-ubun pirangnya yang menyembul dari dalam sana. Dan sialnya, dia acuh saja. Meski aku tahu dia sedikit terjaga.

"Ruangan ini beraroma aneh. Aku harus mengganti sirkulasi udaranya," kataku. Jendela satu-satunya ada di atas kepala ranjang.

Aku sudah menggulung rambut panjangku ke atas. Menahannya dengan karet tebal yang selalu melingakari pergelangan tangan. Jika rambutku sedang basah, atau ingin kugerai, karet rambut ini menjadi pengganti gelang tangan.

"Aku akan mengirim pakaianku ke binatu. Kau?" tanyaku. Ah, aku sudah seperti orang gila saja. Bicara sendiri.

"Haruskah aku yang mengumpulkan ini?" Keranjang pakaian yang tadi sudah kuambil dari samping kamar mandi, kuletakkan di lantai. Sorot mataku menjelajahi satu persatu atribut milik Doroti yang berserakan.

"Doroti!" Kini aku sudah berkacak pinggang. Ciri khusus saat aku benar-benar kesal.

Gadis itu menggeragap bangun. Selimut yang ikut melorot pun, ditahannya ketika hampir melewati area dada. Kelopak matanya masih terkatup. Dia mendengkus berulang kali. Bergumam sesuatu, yang aku sendiri pun tak bisa mendengarnya.

"Biarkan aku membereskan apartemen. Mandi dan kumohon buat sarapan. Kau berhutang maaf pada cacing di perutku."

Kuberitahu lebih dulu. Aku tak bisa memasak. Urusan perut, aku serahkan sepenuhnya pada koki rumah ini. Chef Doroti.

Doroti mengangguk sekali. Kemudian menggosok puncak kepalanya tiga kali, baru setelahnya turun dari ranjang dengan selimut membungkus tubuh polosnya dan berjalan santai masuk kamar mandi. Dalam kondisi apa pun gadis itu tetap cantik.

"Aku berterima kasih padamu. Kau tidak menggunakan ranjangku semalam," terangku. Kami sekamar dengan ranjang terpisah.

"Dan, minggu depan, aku akan ada di rumah. Bisa kau lakukan itu di rumah kekasihmu saja?" Tak ada jawaban.

Aku mendesah, sembari mengumpulkan pakaian Doroti, memasukannya ke dalam keranjang pakaianku. Beres. Tersisa karet-karet yang ragu untuk aku pungut.

Empat terbuka. Dan dua terbungkus - letaknya pun terpencar. Ya Tuhan, berapa kali dia melakukannya semalam. Terbayang di otak dan bulu romaku langsung meremang.

"Doroti?" teriakku. Suara shower menelan suaraku. "Setelah mandi, pungut dulu karet-karet ini."

Suara shower melemah. "Apa?! Aku tidak mendengarmu, Ana?" Dia berteriak.

"Pungut karet-karetmu," ulangku.

"Kondom, maksudmu?"

Aku membelalak.

"Just karet. Sebut benda itu karet."

Doroti tertawa nyaring. "Apa salahnya jika kusebut kondom? Memang itu namanya."

"Khusus denganku, sebut itu karet." Aku tak mau dibantah.

"Ya, baiklah Anabeth Carlyel. Tinggalkan karet itu."

"Bien sur."

Aku tak mengidap erothopobia. Entahlah, hanya ganjil saja membahasnya. Mungkin karena ketidak siapanku. Atau sisa traumatik yang coba kusembuhkan. Intinya, untuk saat ini aku tak ingin bersentuhan dengan hal itu.

Masih banyak yang harus kupikirkan. Pekerjaan paruh waktuku, kuliahku dan yang pasti kesiapanku untuk mewawancarai Damien Josh Wilton, chef yang tengah naik daun. Besok sore.

"Oh, My God. Aku lupa membaca daftar pertanyaannya," panikku. Kakiku tergopoh ke arah meja tinggi berlaci tiga di samping ranjang. Ada notebook-ku di laci kedua. Dan aku harus secepatnya mengecek surel dari Jems.

Aku tak ingin berakhir kikuk dan bertingkah konyol. Kudengar Mr. Wilton sosok adonis yang hobi mendekte . Meski ini di radio, menghadapi auranya yang bertolak belakang denganku, aku tetap perlu berjaga-jaga.

***

Setidaknya kemeja turqoise dan gore yang kukenakan terlihat lebih resmi dibandingkan pakaianku saat siaran biasanya. T-shirt dan jeans. Stilletto gelap lima senti membungkus kakiku. Menggeser sementara sneakers putih yang rajin kupakai. Doroti mengkudetaku. Mendadak dia bertingkah seolah menjadi Christian Dior. Kapan lagi kesempatannya menjadikanku kelinci percobaan? Membayangkan lagaknya tadi, aku jadi tersenyum sendiri.

Rasanya aku sudah akan bertemu kepala negara. Lihat nanti bagaimana komentar yang lain? "Ana kau berbeda" ataukah, "Kau sengaja berdandan cantik demi Mr. Wilton." tentu saja tidak. Hindarkan pemikiran nomor dua itu dari batok kepala mereka.

Tak banyak informasi yang kutahu terkait Mr. Wilton ini. Selain usianya yang berkepala tiga dan penyuka gym, beberapa artikel yang sempat kubaca semalam, me-list sebagian prestasi yang berhasil dia kantongi. Salah satunya penghargaan Michelin Start yang dia dapatkan tahun ini.

Gugup? tentu saja. Kuakui itu. Padahal bukan kali pertama aku berhadapan dengan orang- orang penting. Tapi untuk Damien Josh Wilton, sedikit pengecualian. Rasanya jantungku bisa meledak kapan saja. Dan setiap kali membayangkan wajahnya, pipiku seketika memerah. Hentikan Ana! kau sudah menggunakan Damien sebagai obyek khayalanmu tanpa izin.

Ya, kurasa aku perlu merendam sejenak wajahku dalam bak air, setelah ini. Padahal aku hanya melihat wajahnya dari puluhan foto di internet, dan membayangkan seorang pria? Bukanlah kebiasaan Anabeth Carlyel. Sayangnya keberadaan Damien Wilton tak bisa terbantah. Dia sunggu kharismatik.

Ketika bus yang membawaku berhenti di depan halte de Radio France, aku turun. Setengah berlari menuju lobi gedung. Menyapa beberapa orang yang kukenal; gadis berambut pirang sebahu dengan blazer biru laut, dan seorang pria, penyiar dari radio berbeda --si gadis pirang di balik meja resepsionis dan si pria di depannya. Mereka berdua tampak akrab. Jika tebakanku tak meleset, mereka bernegosiasi untuk berkencan. One night stand.

Kutinggalkan mereka. Kali ini perhatianku teralihkan pada lift satu-satunya, yang pintunya sedang terbuka lebar. Anehnya, lift itu berubah jadi fasilitas pribadi -- dinaiki seorang pria. Padahal, ada lebih dari lima orang menunggu resah di depan lift. Aku yang sempat melirik jam di pergelangan tangan, langsung berlari, menerobos blokade, dan masuk sesaat sebelum pintu lift tertutup.

"Merci mon dieu." Tanpa alasan aku   senang saja bisa masuk lift ini. Meski seorang pria berpakaian serba hitam yang berdiri paling depan tadi, sempat meneriakiku. Ah, peduli apa. Ini bukan lift pribadi yang dapat digunakan orang tertentu. Lift ini satu-satunya fasilitas di gedung ini yang bisa membawaku ke lantai tiga dengan cepat. Dan, terbuka untuk umum.

"Lantai berapa?" tanyaku. Aku tak sempat melihat wajahnya dengan jelas.

"Tiga."

Luar biasa. Suaranya bulat, merdu dan mampu melumpuhkan. Di titik ini aku jadi penasaran, bahkan tertarik. Di titik ini pula, hasrat lain dalam diriku merongrong bangkit. Membuatku bergerak tak nyaman. Aku sesak.

"Tu--tujuan kita sama," ujarku terbatah. Kantorku di lantai tiga, atau lebih tepatnya lantai terakhir bagunan berbentuk lingkaran ini.

Setelah menekan panel ke lantai tiga, aku memberanikan diri menoleh. Ya Tuhan, sejak kapan patung Hermes Praxiteles hidup bahkan bernapas.

Aku mengenalinya. Pria yang bersandar pada dinding lift, berkemeja putih dengan lengan yang digulung sampai siku, bersedekap itu Damien Josh Wilton.

Damien menunduk. Rapi sekali tampilannya. Gaya rambut slick back perunggu memberinya kesan dewasa yang matang. Jantungku berdebar. Oh, Ana ... bernapaslah.

***

______________ ________ ____________

Catatan Kaki

1. Lutece : Nama kota paris, sebelum berubah nama menjadi paris seperti sekarang.

2.  Se Reveille : bangun

3. Merci mon dieu : terimakasih Tuhan saya

4.Bien sur: tentu saja.

5.erothopobia : ketakukan dengan segala sesuatu berbau seks.

________ ________ _________ ________