Cuplikan cerita sebelumnya
Anabeth Carylel?"
Aku mendongak cepat. Suara bariton memanggil sekaligus memaksaku menikmati sosoknya yang terlapau asing.
"Hai, Ana?" sapanya lagi. Ketika aku hanya menatapnya tanpa berkedip.
---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ----- ---- ---- ---- ----
Author @Raraelhasan
Bab 4
Mr. Wilton
Mata safir itu menyambutku. Gugusan tulang yang menaungi mulutnya terpamerkan lebar. Sosok asing ini, sungguh memiliki ketampanan yang tak biasa. Antara ras Eropa dan Amerika.
Terbit pertanyaan di otakku. Bagaimana dia bisa tahu namaku?
"Kau mengenalku?"
Dia mengangguk yakin. Seakan gadis yang ditemuinya ini, layaknya bungalow kosong yang asri nan lugu dan siap dijarah dengan mudah.
"Aku teman Doroti. Bisa aku duduk bersamamu."
Oh, sialan wanita bernama Doroti itu. Dia mencoba mengumpankan diriku pada pria ini. Dan bodohnya, aku sudah seperti ikan -- meski enggan, tetap mengikuti umpan itu karena naluri.
"Ya," jawabku singkat.
Aku menciptakan jarak dengan tas Doroti. Dia menempatkan
sorot mata, menelanjangiku tanpa ampun. Dan, perlakuannya itu menciptakan rasa tak nyaman.
"Kau satu almamater dengan Doroti?"
"Ya."
"Kata Doroti kau tidak mudah didekati."
Aku tersentak. Sebanyak apa Doroti mengumbar kisah hidupku padanya.
"Kau tahu di mana Doroti?" Mataku bergerilya ke sekitar.
"Dia memintaku menemanimu."
Aku nyengir. Menggosok tengkukku karena atmosfir yang makin tak nyaman.
"Oh, ya, kau?" Ah ya Tuhan, aku tak tahu siapa namanya.
"Aku Stue."
Aku berdecak. Bangun dari duduk. Menarik ujung kemejaku, dan menepuk pantatku ringan. Membersihkan sisa tanah dari sana.
"Oh, ya, Stue. Karena kau teman Doroti, aku bisa meminta bantuanmu?"
"Ya, tentu." Dia amat semangat.
"Baguslah. Kau bisa menjaga barang milik Doroti dan kekasihnya? Aku akan sangat berterima kasih akan itu. Ada hal penting yang harus aku lakukan."
"Tapi, An-"
Tanpa menunggu persetujuannya, aku berlari pergi, melambai padanya. Aku melihat ekspresi wajahnya yang enggan dan kecewa, tapi aku tak peduli itu.
Aku tak mau mengikuti taktik Doroti. Tidak untuk kali ini. Sebelumnya sudah tertipu, dan aku tak ingin tertipu lagi olehnya. Ya, mungkin saja niat Doroti hanya ingin menyembuhkan ketakutanku pada makhluk bernama pria. Sayangnya aku tak suka itu.
Lalu, dengan Damien Wilton? Dewi di hatiku mencibir. Apakah untuk dia aku boleh memberi pengecualian. Cukup menyimpannya dalam angan. Lagi pula dia tak mungkin terjamah olehku.
Malam di pinggiran Eiffel makin memuncak. Kakiku membawa tubuhku menyusuri jalanan yang di kanan kirinya dipadati restoran atau cafe-cafe berdesain menarik. Cukup ramai meski bukan akhir pekan. Lagi-lagi, pasangan muda-mudi dimabuk cinta yang kutemui. Mata, gesture tubuh dan rona wajah mereka berkilau di bawah lampu-lampu jalan yang menyorot kekuningan. Aroma parfum beragam nan menyengat, sedikit mengganggu hidungku saat tubuh-tubuh pemiliknya melintas. Ya, meski parfum bisa meningkatkan libido, tapi bagiku itu malah membuat perut mual.
Aku menyumbat hidungku. Sedikit mempercepat laju kaki. Meneliti
sekitar, mencari tempat sebagai persinggahan. Lalu, biji mataku tertambat pada sebuah restoran tak terlalu besar dengan desain hyge dan cozy di seberang jalan. Uniknya, menu restoran itu hanya satu dan berganti setiap hari --tertulis seperti itu pada papan menunya. Aku menyeberang jalan. Mengamatinya dari jarak dekat. Crépuscule restoran. Dengan menu hari ini Confit de Canard.
Kutelitik sedikit tampilannya. Kaca muka transparan. Rumbai daun-daun menjadi tirai di sepanjang atap bangunan. Warnanya terdominasi plitur cokelat tua --selaras dengan dek kayu lebih agak pucat. Penerangannya berupa lampu industrial kekuningan yang hangat.
"Bonne nuit, mademoiselle. Apakah Anda ingin bergabung bersama kami, kebetulan kami masih memiliki dua kursi kosong di dalam, sebelum chef kami memulai memasak hidangan." Pelayan yang memang berjaga di pintu masuk menawariku.
Ah, menarik. Rupanya restoran ini, menggunakan sistem specialty. Barangkali ini bisa kuangkat sebagai materi artikelku. Tanpa sadar aku menganggut antusias.
"Ya, tentu. Apa aku bisa bergabung?"
"Silahkan, Nona. Meja Anda bernomor lima."
Pelayan itu membukakan pintu untukku. Aroma khas Pot at Feu menyambut. Ah, rupanya koki restoran ini tengah memasak hors d'ouvre sebelum pièce de résistance, dan untungnya aku tak melewatkan itu.
Ya, kebiasaan Doroti mengajakku makan, sepertinya melatih hidungku untuk mengenali beberapa jenis masakan.
"Silahkan, Nona." Kali ini seorang pelayan wanita yang mengantarku menuju meja.
Lagi-lagi para pecinta itu yang kutemui. Oh, apakah restoran ini memang disetting untuk pasangan? Satu meja dengan dua kursi. Lengkap beserta lilin, rangkaian bunga segar, air mineral serta segelas sampanye. Ya, Tuhan, lalu siapa orang yang akan semeja denganku. Atau aku akan sendiri?
"Silahkan duduk, Nona."
Aku menduduki kursiku. Letaknya di sisi kanan kotak kaca setinggi perut dengan tiga pria berpakaian serba putih di dalamnya. Mereka bergerak lincah di dalam kepulan asap. Menarik perhatian dengan kelihaian memotong, menggoyang spatula, atau menciptakan kobaran api di atas penggorengan. Restoran ini menyuguhkan open kitchen, dan semua mata tersihir di sana.
Setiap kali mereka menghadirkan atraksi, para pengunjung yang jumlahnya hanya enam belas orang ini, menghadiahkan tepukan. Aku, dengan kamera ponselku, tak hentinya mengabadikan setiap momen. Ya! Karena ini, aku mengucapkan terima kasih pada Doroti dari dalam hati.
Bip! Bip!
Sialan, si pengganggu. Doroti menghubungiku. Dan, aku yakin dia akan mengomel masalah Stue.
Aku beranjak. Mengangkat panggilannya, menempelkan ponselku ke depan telinga.
"Ya! Sialan kau Ana!" rutuknya keras, membuat telingaku berdenging.
Aku mendorong pintu. Bertemu kembali dengan pelayan pria tadi. Dia menatapku penasaran. Mungkin, biasanya tak akan ada yang meninggalkan duduknya, ketika atraksi menajubkan sudah di mulai di dalam. Sejujurnya aku pun sayang. Tapi, ini Doroti. Makhluk yang keberadaannya tak bisa kuacuhkan begitu saja.
Aku mengangguk pada pelayan itu, dia pun membalas dengan anggukan hormat.
"Kau merusak gendang telingaku," protesku.
"Kau, Ana! Di mana kau sekarang?"
"Mengisi perut," jawabku singkat.
Kini aku sudah berdiri di teras restoran. Terpisah dari zona terang dan masuk ke zona remang. Lampu jalan sedikit jauh dari restoran ini.
"Kau membuatku merengek pada Stue agar tidak marah padaku. Hai, Anabeth Carylel, apakah kau tahu dia kudatangkan langsung dari Caen, khusus untukmu. Dan kau memperlakukannya dengan amat sangat buruk. Bagaimana bisa dia kau jadikan penjaga barang."
Aku menahan tawa. Ya, memang sedikit jahat. Tapi, aku benar-benar tak ingin terperangkap terlalu lama dengan pria bernama Stue itu.
"Kau harus membayar ini," ancam Doroti.
"Apa pun itu. Kau bisa menggangguku lagi setelah sampai di apartemen. Nikmati malammu bersama dua pria tampan," ujarku.
Doroti bernapas kesal di seberang sana.
"Ya, aku tidak akan menggagumu. Terima kekesalanku nanti."
Doroti mematikan sambungan. Aku melepas tawa yang sempat tertahan.
Setelahnya, aku kembali masuk. Pot at Feu sudah tersaji di atas mejaku. Semoga saja masih hangat. Tanpa perlu mencicipinya lebih dulu, aku yakini rasanya sangat nikmat.
Tak kusia-siakan kesempatan memotret makanan dengan tampilan cantik ini, sebelum kemudian mempertemukannya dengan sensor perasa pada lidahku.
Satu suapan, dan aku dibawa melayang dengan rasa kuat, namun pas dari daging dan rempah. Sejenak perhatianku tersita akan cita rasa makanan yang kini mengisi mulutku, sampai tepukan riuh pengunjung lain membuatku teralih penasaran.
Bintang restoran ini. Chef utama. Dialah yang akan memasak pièce de résistance. Hadir di tengah chef pendaping. Apron hitamnya mencolok. Di dalam apron itu tubuh atletis yang menggiurkan tersembunyi. Parasnya yang maskulin terpadu indah dengan kepulan asap. Daya tarik utama, mata hazelnut misterius --berkilau layaknya Golden Jubille. Pria yang diidam-idamkan banyak wanita di Paris. Demien John Wilton.
Tubuhku menegang. Oh, sungguhkah ini nyata. Aku bertemu kembali dengannya. Dalam wujud berbeda. Lebih menggairahkan. Terlalu memesona sampai kesadaranku terserap seluruhnya pada ragawinya.
Dengan lihai dia mengayunkan spatula. Memainkan sihir-sihir yang menumbuhkan hasratku. Demien Wilton, dia menghadirkan khayalan liar itu. Bagaimana rasanya, ketika aku dapat bercinta dengannya di meja dapur?
"Oh, Tuhan!" pekikku.
Suhu tubuhku meningkat. Gerah rasanya. Dan akan semakin gerah seiring dengan gerakan Damien yang begitu seksi saat memasak.
Bernapas Ana. Tubuhku yang sialan! Penghinaan kulontarkan pada diriku sendiri.
Biji mataku terpasak pandanya. Tak tertarik untuk berpindah ke tempat lain. Seperti harimau mengintai mangsanya. Lalu, kepalanya bergerak, menyisir para pengunjung dan menoleh ke arahku. Sepertinya, dia merasa jika mendapat tatapan berlebihan dariku. Dia melihatku dan mengunci pandangannya. Aku sempat menemukan keterkejutan itu dari gesture tubuhnya --meski hanya sepersekian detik. Damien terlalu ahli memanipulasi kondisinya sendiri.
Tak ada perlakuan spesial. Itu kontak mata kami untuk pertama dan terakhir kali. Dia terlalu menikmati dunianya. Ya, memasak seperti dunia yang khusus tercipta untuk Demien.
Lalu, ketika hidangan tersajikan. Aku berhasil dibuat sport jantung. Jika pengunjung lain pelayanlah yang mengantar, untukku Damien mengkhususkan dirinya. Tuhan, banyak mata menatapku curiga dan tak suka. Mereka pasti menerka-nerka siapa aku bagi Damien Wilton.
Keberuntungan macam apa yang menaungimu, Ana? Dewi fortuna terlalu berpihak padamu malam ini. Lagi-lagi pemilik bawah sadarku melempar cibiran.
"Hai, selamat malam Miss Carylel," sapanya.
Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Kini, yang bisa kulakukan hanyalah memandangnya penuh hasrat.
"Ini menu spesial restoran kami." Dia meletakkan piring makanan beserta segelas anggur putih di depanku.
"Sepertinya kursi ini memang dibiarkan kosong. Boleh aku duduk di sini?"
"Ah, ya, tentu."
Demien duduk. Menyilangkan satu kakinya dan bersedekap. Menitikkan pandangannya pada bola mataku yang berusaha melarikan diri.
"Boulovard ke Champ de Mars, dan ini butuh waktu empat jam. Kau datang seorang diri?" tanyanya.
Aku mendongak perlahan, bertemu biji matanya. Ini interaksi intens kami pertama kali. Hanya berdua. Bayangan dinner romantis yang hangat. Bergelora. Oh, Ana. Mati saja kau. Berhenti dengan khayalan mustahilmu.
"Aku bersama Doroti, teman sekamarku. Ya, sayangnya aku berakhir di sini." Aku tersenyum manis. Entahlah, aku pun tak mengerti bagaimana jiwa malu-maluku terbangun dari tidur seumur hidupnya.
"Lalu, di mana temanmu itu? Bagaimana dia bisa meninggalkanmu sendiri." Dia mengerutkan dahi heran bercampur tak suka.
"Doroti bersama kekasihnya dan aku sengaja memisahkan diri."
Damien manggut-manggut. Lalu, seperti menyadari sesuatu, dia berdecak lantas bangkit berdiri.
"Ya, aku chef, tapi aku mengajak pelangganku bicara selagi hidangan sudah tersedia." Senyumnya tersungging penuh maaf.
Aku langsung melihat piring di hadapanku. Ah, makanan pun membeku di bawah pesona Damien.
"Miss Carylel, kau pasti tidak akan pulang menaiki metro atau bus di jam sepuluh malam, bukan? Dan, aku yakin temanmu itu tidak akan ingat padamu."
Ke mana arah pembicaraannya?
"Jika kau tidak keberatan, aku bisa memberimu tumpangan. Kebetulan aku sedang akan ke Boulevard setelah ini."
Mimpi apa aku semalam? Damien Wilton menawarkan diri mengantarku pulang. Cukup lama aku berpikir. Demien yang masih berdiri di depanku lantas menimpali.
"Aku hanya mengkhawatirkanmu saja, Miss Carylel. Ini sudah sangat malam," ujarnya.
Aku mengembangkan senyum.
"Ya, sepertinya aku tidak mungkin naik metro. Terima kasih tumpangannya, Mr. Wilton."
Demien mengganguk senang.
"Kau hanya perlu menungguku, mungkin satu jam lagi."
Sorot matanya memintaku untuk mengerti.
"Waktu satu jam kurasa akan berjalan cepat dengan mengagumi hasil mahakaryamu dan mendengar instrumen ini."
Instrumen musik country memang menjadi latar malam ini. Hangat dan menenangkan. Sebelum beranjak pergi, Demien mengedipkan satu matanya.
***