Cuplikan Cerita Sebelumnya.
"Sampai jumpa, Ana." Suaranya dengan lembut menekan namaku.
"Damien." Pertama kalinnya aku memanggil namanya tanpa formal.
Kami menukar pandangan tajam beberapa saat. Lalu sebuah senyum nakal jelas dia lemparkan padaku. Aku menegang. Mengekori tubuhnya tanpa berkedip. Sungguh, dia sudah memicu minatku.
---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ----- ---- ---- ---- ----
Author @Raraelhasan
Bab 3
Paris
On air berjalan dengan lancar, setidaknya bagi Damien Wilton, tidak padaku. Beberapa kali aku terkurung pesonanya. Musim panas Paris bulan juni --yang baru mulai, seperti mencapai puncaknya. Aku merasa gerah. Ataukah, itu karena Damien? Selama mengudara, dia bagai penguasa, megintimidasi dan pastinya penuh kharismatik. Sungguh, tanpa melakukan apa pun, dia berhasil merampas konsentrasiku.
"Terima kasih atas waktunya, Mr.Wilton."
Suara Jems, yang berat menarikku dari lamunan. Jems dan Demien bangkit bersamaan. Lalu, Jems mengulurkan telapak tangannya. Aku berdiri setelah mereka. Mengamati saja dua pria berlatar belakang berbeda itu saling berjabat tangan.
"Tentu," sahut Damien. "Untukmu juga Miss. Anabeth, terima kasih. Kau penyiar yang hebat." Jemari lentiknya beralih padaku. Bola mata hazelnutnya bergeser dan menatapku hangat.
Masih dengan kesadaranku yang terjebak olehnya, aku menjabat tangannya dengan gerakan lambat. Dia menarik sudut bibirnya, menertawakan tingkahku. Aku belingsatan, langsung menarik cepat tanganku, canggung.
"Semoga kita bisa bertemu lagi," harapnya.
Dan dia membuatku memekarkan bunga segar di hati. Oh Ana ... apa yang sudah dia lakukan padamu? Hari ini, dia mampu mengoyak emosimu menjadi tak stabil. Lalu, mengenai keinginanya untuk bertemu? Bahkan jika bisa, tentu aku beharap bisa bertemu dengannya lagi. Dengan pengendalian diriku yang jauh lebih baik, tentunya.
"Mari Mr. Wilton, aku antar sampai lobi," tawar Jems.
Damien mengangguk ramah.
"Sampai jumpa." Salam perpisahan itu dia tujukan padaku, sebelum kemudian benar-benar pergi.
Aku mendesah. Setelah sosoknya tak terlihat, barulah asupan oksigen mengalir normal melalui rongga dada dan masuk paru-paruku. Adrenalinku yang meningkat mulai mengendur perlahan. Entah, seberapa parah Damien menyempitkan poros pandangku, hanya mengagumi pahatan parasnya yang tanpa cacat.
Ana, sebaiknya kau berdoa agar tidak bertemu lagi dengannya. Kenyataannya kau akan tampak bodoh jika dia berada di dekatmu.
Itu kata hatiku yang memiliki keinginan sendiri. Tapi, bagian tubuhku yang lain menolak. Sensasi aneh yang jujur saja baru pertama kurasa, mendorongku untuk mencoba lebih. Aku ingin bertemu dengannya, bahkan memilikinya. Inikah yang Doroti katakan sebagai gairah seks? Apakah rasanya pun seluar biasa seperti yang Doroti jelaskan? Sayangnya, dari sekian banyak pria yang kukenal, kenapa harus Damien yang membuatku seperti ini.
"An, kau bisa pulang sekarang." Jems mempersilahkan. Dia telah kembali, melewatiku yang masih mematung di posisiku. Astaga! Berapa lama aku berdiri, karena tersedot pikiranku sendiri.
"Kau ingin kuantar pulang? Tidak perlu naik metro. Atau kau ingin merayakan hari ini dengan segelas anggur segar?"
Bola kebiruanku memandang keluar jendela studio. Sinar mentari mulai merangkak turun. Sebentar lagi, pemilik suasana romantis akan hadir memanggil seluruh muda-mudi di Paris. Bonne nuit
Aku menoleh kembali pada Jems. Menguntai senyum.
"Kau terlalu merepotkan diri. Untuk anggur, kau berhutang padaku." Aku melambai padanya. Mengambil tas dan bergegas meninggalkan studio. Sedikit melirik jam di pergelangan tangan. Hari semakin malam, berharap metro yang mengantarku ke Boulevard tak terlalu padat. Boulevard, sesampainya di sana, pastilah jalan menuju apartemen akan semakin ramai didatangi turis dan parisian. Menghambat tulang tubuhku untuk segerah direbahkan.
Dan syukurlah, Tuhan seperti mendengar keluh kesahku. Perjalanan berjalan sesuai harapan. Aku mendapat tempat duduk, di samping pintu, bersebelahan dengan perempuan tua yang banyak bicara. Tak masalah. Kelegaanku yang lain, metro tak sepadat biasanya. Aku jadi bisa bernapas lebih bebas.
Setelah turun di line 4 St Michel. Kakiku bergerak cepat menembus kerumunan. Dan anehnya jalanan Boulevard tak semeriah biasanya. Di depan kolam air mancur patung St. Michel sepi dari kilatan lampu ponsel para pengunjung yang hendak mengabadikan momen.
"J'aime Boulevard ce soir," ungkapku.
Ya, aku suka kelengangan ini, setidaknya ketika tubuhku yang letih tak bisa berkompromi. Betapa menyiksanya, jika harus menghabiskan puluhan menit saat jarak apartemen dari stasiun hanya 200 meter.
"Hai, Ana ... kau pulang sore?" Philip penjaga kemanan apartemenku, melongok dari celah pintu kotak kacanya. Dia menyapaku riang --lipatan kulit wajahnya tampak dalam. Philip sudah semakin tua.
"Ada kartu pos untukku?" tanyaku.
Philip menggeleng cepat. "Ada crepes untukku?" balasnya.
Aku menggeleng sedih. Melupakan kebiasaanku membawakan crepes ham dan keju kesukaannya di pembuka hari seperti saat ini. Philip mendesah kecewa, lalu menarik kepalanya lagi. Kembali bekerja.
"Lain kali, Philip," teriakku, kemudian membuka pintu lobi, lalu menaiki tangga spiral keemasan menuju lantai dua. Sempat tertahan di pertengahan tangga karena berpapasan dengan Berta tetangga rumah. Kami mengobrol ala kadar, sebelum melanjutkan urusan masing-masing.
Aku masuk ke dalam kamar. Doroti tengah berdiri membalakangiku, sedikit membungkuk memasukkan ipad, serta buku catatan dari atas ranjangnya ke dalam tas bahu kain hitam. Aroma grapefruit dan jeruk dari parfum coco mademoiselle menguar, mengganti bau kering musim panas yang berembus dari luar jendela terbuka.
"Kau akan pergi?" tanyaku, mendekat. Lalu duduk di ranjang, di sampingnya.
Doroti nyengir. Memamerkan gugusan giginya yang putih dan rapi.
"Deadline artikel," terangnya. "Kau sudah mendapat materi untuk artikelmu?"
Aku terbelalak sampai bangkit dari dudukku. Otakku berputar hebat. Oh, artikel! Aku melupakan itu. Deadlinennya lusa, dan aku tak memiliki ide sama sekali.
"Kau lupa! Bagaimana bisa kau lupa? Jika kau membutuhkan uang untuk membayar kelulusan, sebaiknya kau bergegas. Kita perlu mencari materi untuk disetorkan."
Selain memiliki pekerjaan part time di radio, aku memiliki pekerjaan sebagai wartawan lepas di salah satu majalah gosip ternama di Paris, bersama Doroti. Sayangnya, keberuntunganku tak sebaik Doroti. Ini bulan terakhirku, jika aku tak mampu menyuguhkan berita bagus pada editor, aku akan diberhentikan.
"Harusnya, sejak kemarin kau mengingatkanku," protesku. Kakiku melompat menaiki ranjang dan turun ke sisi sampingnya, pada lemari laciku. Aku mencari jalan pintas dengan tidak memutari ranjang.
"Kau tidak pernah lupa pada hal penting. Apalagi yang berkaitan dengan uang, Ana."
Ya, Doroti benar. Dan entah kenapa kali ini aku melupakan hal penting itu. Uangku? Aku membutuhkan banyak uang untuk membayar biaya kelulusanku.
"Berita apa? Argg!" Aku menjambak rambutku frustasi. "Tidak ada ide satu pun yang mengaliri otakku."
Doroti menepuk bahuku cepat. Dia sudah selesai mengemas keperluannya.
"Aku menunggu di mobil. Cepatlah."
Aku mengangguk tanpa menoleh padanya. Segera mengambil agenda dari laci pertama, dan memasukkannya ke dalam tas yang masih menggantung di bahuku.
Saat aku keluar, mobil Fiat 500 putih menunggu di tepi jalan depan apartemen. Pintu Apartemen mengarah langsung pada jalan raya Boulevard. Dan hanya satu blok dari kampus kami, universitas Sorbonne.
Klakson berbunyi, kaca mobil terbuka, Doroti berteriak memintaku segera naik.
"Kau tidak pernah sabar," ledekku. Setengah berlari membuka pintu dan masuk ke dalamnya.
Jika kau tanya bagaimana Doroti yang tinggal di apartemen sempit, memiliki ipad terbaru, mobil mahal, serta barang berkelas? Ketahuilah, jika orang tua Doroti adalah salah satu orang terkaya di Caen, kota di barat laut Prancis. 249,0 km dari kota Boulevard.
Mobil bergetar, lalu bergerak maju. Menembus suasana musim panas di pergantian hari. Matahari kian meninggalkan bumi. Angin yang berembus kencang, membawa rasa hangat. Kaca mobil sengaja kubuka. Berharap terpaan angin di wajahku, menghantarkan ide baru yang bisa kugunakan untuk materi artikelku.
"Aku mendengar acaramu di radio. Damien Wilton sungguh kharismatik. Bagaimana kau menghadapi orang seperti dia?"
Astaga, Doroti! Pertanyaannya menggiringku langsung pada sosok bermata hazelnut dengan pesona tak terelakan itu. Membangkitkan hasrat lain dari diriku yang sejak tadi kujinakkan susah payah. Kini, hasrat itu sudah seperti anjing liar tanpa tuannya.
"Jika aku di sana, aku tidak akan mampu menolak dia," imbuh Doroti.
Ya, aku pun demikian.
"Tapi, kau bukan aku. Kau tidak akan tertarik pada pria macam Damien. Dia terlalu menakutkan sebagai seorang pria. Menakutkan dalam artian berbeda. Kau cenderung menyukai pria aman yang tidak banyak menarik perhatian."
Aku menatapnya penuh tanya. Dahiku mengerut sangking penasarannya.
"Kau menilainya, seperti kau sudah pernah bertemu dengannya?"
"Tentu saja. Dia saudara Elliot, pria yang kukencani kali ini. Ah," Doroti menepuk dahinya. Seperti baru mengingat sesuatu."Kau belum mengenal Elliot. Aku berhutang cerita itu padamu. Elliot pemilik La Cafe di St Michael, dan Damien Wilton saudara angkatnya. Aku bertemu dengannya minggu lalu. Andai saja dia pria normal, aku pasti mengencaninya juga." Kekehan Doroti mengiringi.
"Dia pria normal. Dia mengakuinya secara pribadi padaku."
Doroti mengedikkan bahunya. "Kau percaya?"
Bahuku terangkat, tak yakin. Seluruh Prancis tahu, Damien Wilton tak pernah kepergok bersama seorang wanita. Dan wanita di Prancis pun tahu, kabar mengenai Damien Wilton yang gay. Seperti sudah menjadi rahasia umum. Kabar itu tak akan lenyap, setidaknya sampai Damien Wilton terjerat skandal besar, dengan seorang wanita.
"Aku yakin dia memiliki orintasi seks berbeda," putus Doroti.
"Persetan dengan itu. Aku memikirkan artikelku," elakku. Jika tidak, otakku akan gagal membuang ingatan tentang Damien Wilton dari sana.
"Kenapa kau tidak mengangkat berita tentang dia saja?"
Aku tersedak salivaku sendiri. Ide macam apa yang menaungi batok kepala Doroti, sampai hal itu keluar dari mulutnya. Gosip apa yang harus kuangkat tentang Damien? Orientasi seksualnya, atau kesuksesannya? Tentu saja yang pertama! Editor akan menyukai materi itu, apalagi bersama bukti.
Tidak ... tidak ... kau akan menghancurkan reputasi pria yang sudah mencuri perhatianmu, kau tidak bisa melakukan itu. Hatiku melarangnya.
"Artikelmu akan di cetak di halaman utama edisi musim panas."
"Dan ... idemu itu akan mengancam hidupku," sahutku.
Doroti terkekeh. Dia memukul setir kemudi ringan. Geli dengan jawabanku.
"Kau tidak akan ketahuan. Namamu disamarkan. Dia tidak akan tahu jika artikel itu kau yang menulis. Kau cukup mendapatkan potret yang bagus untuk mendukung artikelmu itu. Sisahnya, biarkan itu menjadi urusan mereka."
"Cukup sampai di sana dengan ide konyolmu. Aku hanya ingin memastikan posisiku aman, setidaknya sampai akhir masa kerjaku." Wajahku langsung muram ketika membayangkannya.
"Lalu karirmu? Bukannya kau ingin menjadi wartawan tetap di sana? Itu mimpimu, lebih dari sekedar uang kuliah, yang pasti bisa kupinjamkan. Ayolah, coba pikirkan itu. Berita apa yang lebih bombastis dari chef ternama Damien Josh Wilton?"
Aku mendesah. Membuang muka ke luar jendela.
"Lupakan saja," gumamku.
Dan Doroti mengalah dengan kekeras kepalaan serta ketakutanku.
"Lupakan saja ide gilaku." Dia menyambung ucapanku. Nada suaranya terdengar kesal.
***
Ketidak beruntunganku ialah, mengikuti keinginan Doroti, menempuh perjalanan 4 jam 16 menit dari Boulovard ke Champ de Mars hanya untuk mengantarnya berkencan. meninggalkanku sendiri, duduk bersama --mungkin puluhan orang-- yang tengah menikmati romantisnya menara Eiffel dari atas permadani hijaunya. Dan, aku? Ah, sialan. Bukan mendapat materi untuk artikelku, aku malah berakhir menjadi penjaga barang milik Doroti dan kekasihnya, Elliot. Mereka kemana? Entahlah, yang kutahu, Doroti hanya berpesan padaku "Tunggu di sini, Ana. Jangan pergi ke mana pun, mengerti!" Lengkap dengan mata dan mulut mengancamnya. Pantas saja dia berdandan berlebihan hari ini. Bodohnya aku tak mengetahui tujuannya, dan mau saja ikut dengannya tanpa bertanya lokasinya.
Yang bisa kulakukan sekarang, hanyalah berkutat dengan ipad milik Doroti sembari mengamati sekitar. Setidaknya ada secuil kejadian yang dapat kuangkat sebagai bahan. Aku mendesah. Memang apa yang bisa kudapat selain, mereka yang berpelukan, berciuman dan menatapku aneh. Ya, aneh ... dari sekian banyak orang, bisa jadi hanya aku yang duduk seorang diri di sini, tanpa pasangan atau teman. Menara Eiffel setinggi 324 meter yang menyuguhkan magis dengan kilauan luar biasa cantik, agaknya menjadi bukti betapa kuat jeruji rasa takut yang mengurungku. Kejadian kala itu, membuatku berpikir 100 kali sebelum kembali menjalin hubungan dengan seorang pria ... ah, sudahlah Ana, tidak mudah melupakannya. Tiga tahun bukan waktu singkat untuk menata kembali kepingan hati yang telah lepas dari hidupmu. Jadi, jangan coba-coba menggali lalu mengangkat rasa sakit itu lagi dari dasar hatimu, itu batinku yang berbicara.
"Anabeth Carylel?"
Aku mendongak cepat. Suara bariton memanggil sekaligus memaksaku menikmati sosoknya yang terlapau asing.
"Hai, Ana?" sapanya lagi. Ketika aku hanya menatapnya tanpa berkedip.
***
Catatan Kaki
1.J'aime boulevard ce soir : Aku menyukai Boulevard malam ini.
---- ---- -------- ---- -------- ---- -------- ---- ----