Prolog
Red Women
°°®°°
Author @Raraelhasan
Jakarta, Indonesia.
Seorang wanita bergaun merah keluar dari dalam bilik kamar. Belahan gaunnya berpotongan tinggi, memperlihatkan pahanya yang putih nan mulus. Kakinya polos, tanpa alas. Setiap tapakannya ke lantai kayu itu, menghasilkan derit mengerikan.
Angin menerobos masuk dari celah pintu serta jendela-jendela ompong. Angker, selain nuansa tua, rumah ini remang. Penerangan satu-satunya hanya bolam lima watt kekuningan yang berkedip tragis tepat di atas kepala --serta sinar rembulan di luaran sana. Wanita berambut gelombang sebahu, berwarna cokelat terang itu menoleh pada pintu kamar yang mendadak terbuka karena terdorong angin.
Langkahnya terhenti. Suara lemah dari dalam bilik menyulut emosi. Mendengar suara itu, raut wajah tenangnya kontan kaku.
"Diam!" bentaknya.
Dan, mendadak hening. Bahkan angin yang sesaat lalu berembus angkuh, langsung lenyap. Sayangnya, keheningan itu hanya bertahan sesaat. Latar rumah itu kembali diiringi musik tangis, meski lemah.
Wanita itu mengeratkan rahang. Giginya gemeletuk menahan emosi. Kini, tubuhnya sudah berbalik dengan berkacak pinggang.
"Kalau kau tidak kunjung diam. Aku tidak segan menyiksamu lagi!" ancam perempuan itu. Saat tangis yang tadi lenyap, terdengar makin konstan.
Kembali hening. Dan, wanita itu menyunggingkan senyum. Senyum yang tak ingin dilihat siapa pun. Wanita itu cantik, tapi setiap jengkal tubuhnya menghadirkan ketakutan.
"Pintar," pujinya, kemudian berjalan ke sudut ruangan. Menggeser kursi kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. Kursi itu berpasangan dengan meja kayu kecil berkepala bulat.
Sebungkus rokok kretek dengan asbak keramik menjadi penghuni satu-satunya meja itu. Wanita tinggi semampai dengan riasan tebal tersebut duduk. Menyilangkan satu kakinya, memamerkan tungkainya yang ramping dan mulus.
Sebatang rokok diambilnya, lantas diselipkan di antara kedua bibir. Wanita itu menyulut ujung rokok dengan api dari korek gas yang ia ambil dalam tas kulit --yang terkalung di bahunya.
"Ah, lengkap sudah kenikmatanku," lenguhnya, seraya meniupkan asap putih di mulutnya panjang-panjang. Membiarkannya menari cantik di udara sebelum kemudian hilang terbawa angin.
"Besok, kau akan kubawakan makanan enak. Setelah itu, kau harus menurut, mengerti!" perintah wanita itu. Tubuhnya sedikit merosot. Kakinya terbuka lebar. Telapak tangan kanannya yang tergantung di ujung pinggiran kursi, menyumpit batang rokok yang semakin pendek dimakan bara.
Ia teramat menikmati yang digembar-gemborkan orang sebagai "Surga dunia". Tak ada yang salah dengan hasratnya. Ini benar-benar menakjubkan. Dan, ia akan meneguk nikmat ini setiap hari.
"Ah!" tukas wanita itu. Tiba-tiba tubuhnya menegak. "Aku sedang menyukai sebuah lagu. Kau bisa mendengarkan lagu ini selagi aku pergi," usulnya.
Wanita itu menjejalkan ujung rokok yang masih menyala di antara beberapa putung rokok yang tertimbun di dalam asbak. Setelahnya, menurunkan tas dari bahunya. Tergesah membuka resleting dan mengeluarkan sebuah spiker mini dengan kartu memori menempel pada salah satu mulut-mulut di ujung spiker.
"Dengarkan. Kau akan suka juga," sarannya, sembari mengeraskan volume.
Musik pembuka mengalun. Teramat syahdu. Jika di tengah suasana normal, petikan gitar dari instrumen lagu itu akan terdengar romantis. Namun, tidak bagi bocah lelaki berusia sepuluh tahun yang terkapar lemah di atas ranjang dalam bilik. Suara penyanyi wanita yang terdengar lembut itu, begitu mencekiknya. Lagu tersebut menyumbat jalannya udara ke paru-parunya. Sesak dan mengerikan. Amat mengerikan.
"Dengarkan!"
Wanita itu bangkit. Tubuhnya bergerak mengikuti irama musik. Bibirnya berkecumik mengimbangi suara sang penyanyi.
Wise men say only fools rush in
But I can't help falling in love with you
Shall I say would it be a sin
If I can't help falling in love with you.
***
(Song, Elvis Presley, Can't help falling in love)