Setahun berlalu, namun tampaknya Tomi belum berniat membuka hatinya kembali. Untuk mengalihkan keinginan tersebut, ia memfokuskan diri mengelola usahanya. Cabang-cabang yang kurang potensial coba ia tangani sendiri.
"Tom, mau sampai kapan kamu seperti ini?" tanya Andi pada suatu sore.
"Maksudnya apa, Kak?"
"Jangan pura-pura seperti itu, kamu pasti tahu kemana pembicaraan kita," ucap Andi tegas.
Tomi mendesah kasar. Matanya menatap jalanan.
"Aku juga gak mau seperti ini terus, tapi rasa sakitnya itu lho, selalu terbayang. Dua tahun menjaga cinta ternyata ...."
"Sudahlah, lupakan rasa sakit itu. Berarti dia bukan jodohmu. Kamu seharusnya justru bersyukur tahu di depan, daripada setelah menikah, apa gak malah lebih sakit?"
Tomi tak menjawab, ia coba meresapi kata-kata kakaknya tersebut.
"Yah, benar juga katamu. Mungkin itu cara Allah menunjukkan bahwa dia tidak baik."
"Coba kamu lihat senja itu!" perintah Andi pada adiknya.
"Senja itu seperti kenangan, ada kenangan baik, ada kenangan buruk. Tapi itu semua akan sirna, tenggelam dalam gelapnya malam. Disitulah kamu harus relakan semua kenangan. Nikmati saat ia tenggelam dan mulailah menata hati menyambut kisah baru yang datang bersama fajar esok hari. Yakinlah, esok masih menyimpan kisah-kisah untuk kita jalani," terang Andi. Kata-katanya bergetar seperti menahan isak.
"Kakak kenapa, kok nangis?" tanya Tomi melihat kakaknya menangis tertahan.
"Gak apa-apa, itu gak penting. Yang penting kamu pahami kata-kata kakak tadi. Kamu harus bisa berdamai dengan rasa sakitmu. Setidaknya kamu harus bisa belajar dari pengalaman kemarin" jelas Andi. Puas menikmati senja, kakak beradik itu memutuskan pulang.
Keesokan harinya, Tomi bersiap meninjau salah satu gerai. Gerai tersebut adalah salah satu yang sering bermasalah. Entah apa yang salah dengan cabang tersebut.
Setelah menggelar rapat membahas kendala cabang tersebut, Tomi memutuskan untuk jalan-jalan ke mall. Sesampainya di sana, ia hanya berkeliling menikmati hiruk pikuk yang ada. Setelah hampir setengah jam berkeliling, ia melangkahkan kaki ke sebuah toko buku.
Matanya tertuju pada sebuah novel bergenre romansa. Judul buku tersebut menarik perhatian Tomi karena terasa pas dengan keadaannya sekarang. Ia pun segera menuju tempat buku tersebut berada.
Tangannya hampir meraih buku tersebut saat sebuah tangan lain menyambarnya lebih dulu. Tomi mengalah dan mempersilahkan perempuan tersebut, ia kemudian meraih buku dibelakangnya. Membaca sinopsisnya sebentar.
Saat tengah membaca, Tomi merasa perempuan tadi memandanginya. Ia pun coba melirik, dan benar saja, perempuan tersebut sedang memandangnya tapi kemudian pura-pura membaca sinopsis.
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Tomi penasaran.
Perempuan itu tersenyum mendengar pertanyaan Tomi.
"Kamu lupa ya, tahun lalu, di pantai, malam hari," jelasnya sambil sedikit menggoda dengan teka-teki.
Kening Tomi berkerut mendengar jawaban yang berbelit-belit tersebut, ia coba mengingat-ingat yang dimaksud perempuan itu. Kemudian ....
"Ah ... kamu, maaf ya waktu itu saya sedang ...."
Perempuan tersebut kembali tersenyum dan mengatakan kalau dia tidak masalah dan senang melihat Tomi sudah lebih baik.
"Kenalkan, saya Tomi," ucap Tomi setelah mereka berbincang beberapa waktu.
"Sisca," jawab perempuan tersebut seraya menjabat tangan Tomi.
Setelah perkenalan tersebut, mereka semakin akrab. Dalam beberapa kesempatan, Sisca mendampingi Tomi mengecek gerai. Kemampuan analisa yang dimiliki Sisca membuatnya sering dimintai pendapat oleh Tomi.
Kehadiran Sisca tidak hanya membangkitkan bisnis Tomi yang sempat berantakan, tapi juga mampu mengobati luka hati yang Tomi alami. Perlahan, semangat dan keceriaannya muncul kembali. Pun begitu dengan keramahan saat melakukan inspeksi ke cabang-cabang yang ada.
Perubahan sikap yang demikian membuat kedua orangtuanya, terutama Mamanya lega.
****
Seringnya pertemuan mereka berdua, perlahan-lahan cinta mulai bersemi di hati Tomi. Suatu hari saat dia memandangi foto Sisca, dia teringat ucapan kakaknya waktu itu.
'Mungkinkah kamu adalah fajar itu?' batin Tomi seraya memandang foto di hadapannya.
Selama hampir satu minggu, Tomi seperti menghindar dari Sisca. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, dia ingin meyakinkan diri dan hati bahwa Sisca adalah sosok yang tepat untuk mengisi hatinya.
"Kenapa kamu lakukan itu pada Sisca? Kasihan dia kebingungan," tanya Mas Andi pada suatu sore.
Tomi terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia jelaskan alasannya ke Kakaknya. Andi coba memahami keraguan adiknya tersebut. Sambil menghela nafas dalam, dia coba menjelaskan.
"Kalau kamu seperti itu, kasihan Sisca. Kenapa tidak coba saja kamu ungkapkan perasaanmu, bismillah saja. Kalau memang kamu sudah mantap, keburu diambil yang lain lho," jelasnya sambil sedikit bercanda.
Setelah mendengar penjelasan dari kakak dan kedua sahabatnya, Tomi pun memantapkan hatinya. Ia berencana mengungkapkan perasaannya hari Minggu, setelah mereka bersepeda bersama.
"Sis, siap-siap ya, aku otw jemput kamu nih," Tomi mengirim pesan WA ke Sisca. Tak lama, datang balasan dari Sisca.
Tomi pun bergegas menuju rumah Sisca. Tak butuh waktu lama untuknya mencapai rumah tersebut. Setelah sedikit berbasa-basi, mereka pun berangkat menuju kompleks perumahan di Pantai Marina.
Puas berkeliling, Tomi dan Sisca memutuskan beristirahat di dekat sebongkah karang. Untuk sesaat, tak ada percakapan diantara mereka, hanya debur ombak yang menemani keheningan mereka. Tomi sedang mengumpulkan nyali untuk menyatakan perasaannya, sementara Sisca terlihat menikmati suasana pantai pagi itu.
"Sis,"
Sisca menjawab singkat sambil tetap menatap samudera. Mendapat respon seperti itu, Tomi semakin ragu, apakah ini saat yang tepat untuk menyatakan perasaan. Tapi kemudian dia teringat ucapan kakaknya waktu itu.
Untuk sedikit mencairkan suasana, Tomi meminta maaf karena sudah menjauhi Sisca selama seminggu terakhir.
Mendengar penjelasan Tomi, Sisca pun tidak mempermasalahkannya.
Melihat reaksi Sisca, bayangan Nancy mendadak berkelebat. Reaksinya waktu itu sama persis dengan yang ditunjukkan Sisca.
"Kok bengong, kenapa Tom?" tanya Sisca menyadarkan Tomi.
"Eh, tidak ada apa-apa,"
"Kebanyakan orang menyukai senja, beberapa mengatakan kalau ada romantisme di balik senja ...." ucap Tomi mengambang.
Mendengar ucapan tersebut, Sisca terdiam, ia lalu menatap Tomi. Ia genggam tangan Tomi
"tapi itu tidak berlaku untukku, aku benci senja ... senja hanya mengingatkanku tentang Nancy ...."
"psst... sudah, tidak perlu diteruskan," potong Sisca sambil mempererat genggaman. Tapi Tomi tak peduli dan terus bicara.
"Aku lebih menyukai fajar," sambung Tomi sambil menatap mentari yang semakin naik. Sisca terdiam sejenak.
Ia baru saja hendak bertanya saat Tomi menjelaskan alasannya menyukai fajar.
"Fajar selalu membawa semangat dan kisah-kisah baru untuk kita lalui,"
Tiba-tiba Tomi menatap Sisca lekat lekat. "Maukah kamu menjadi fajar itu?" tanyanya yang langsung membuat Sisca terdiam.
Sisca melepaskan genggamannya. Segera ia palingkan wajahnya menatap laut.
"A ... aku ... i ... ini terlalu cepat," jawab Sisca tergagap. Sebenarnya dia pun memiliki perasaan yang sama, tapi tetap saja ia merasa itu terlalu cepat.
"Aku kasih kamu waktu seminggu untuk menjawab,"
Suasana pun berubah canggung, sehingga Tomi memutuskan untuk pulang.
"Tunggu!" Sisca coba menahan.
"Sebelum aku menjawab, aku mau tanya, apa yang membuatmu menyukaiku, secara kita baru berteman satu tahun?" tanyanya tanpa basa-basi.
Tomi terdiam sejenak, coba mengolah kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Memang benar yang dikatakan Sisca. Mereka belum lama saling mengenal.
"Aku tidak punya jawaban yang pasti, yang jelas sejak kamu hadir, hidupku jadi lebih indah, kehadiranmu mampu mengobati luka hatiku. Aku merasa ...."
"Stop, jangan teruskan!" potong Sisca seraya menghela napas panjang. Setelah diam sejenak, ia pun menjawab,
"Baiklah ... kita coba jalani dulu. Aku percaya kata-katamu, semoga kamu tidak mengecewakanku,"
Mendengar jawaban Sisca, Tomi tersenyum bahagia. Tak menyangka Sisca akan menjawab secepat itu. Ia genggam tangan Sisca sambil berbisik, "Terima kasih, Sis, sudah menerima cintaku. Aku janji akan selalu membahagiakanmu."