"Tomi!" sapa sebuah suara. Suara dari seseorang yang dulu mengisi hati Tomi.
Tomi tak menghiraukan panggilan tersebut dan memilih terus berjalan, tiba-tiba ....
"Tom, sombong banget sih!" bentak Nancy sambil menarik tangan Tomi. Mau tak mau, Tomi pun berhenti.
"Mau apa sih?!"
"Aku mau minta maaf, sekalian mau jelasin sesuatu ke kamu. Aku tahu aku salah, tapi tolong dengarkan dulu,"
"Penjelasan apa lagi, bukankah waktu itu sudah jelas?!" tanya Tomi semakin meradang.
Nancy baru saja membuka mulut saat Tomi mengayunkan tangannya dengan kasar untuk melepaskan genggaman Nancy. Dia lantas berlalu, meninggalkan Nancy yang terus memanggilnya.
Tomi bergegas menuju mobil. Setibanya di mobil, ia sandarkan kepalanya dengan kasar. Ia tak menyangka akan kembali bertemu dengan wanita yang telah memberinya luka tersebut, menjelang setahun hubungannya dengan Sisca.
Mengingat itu, emosi Tomi langsung mereda. Ia lantas mengambil handphone dan menatap foto Sisca yang ia gunakan sebagai wallpaper.
"Terima kasih, Sis, sudah hadir dan mengobati luka hatiku," gumamnya kemudian. Tak lama berselang, sebuah pesan WA masuk, ternyata dari Sisca. Tomi tersenyum membaca pesan tersebut.
"oh ya, nanti ada waktu gak? Kita dinner yuk!" ajak Tomi sebelum mengakhiri chatt.
Bak gayung bersambut, Sisca sedang tidak sibuk dan menerima ajakan tersebut.
"kita mau dinner dimana?"
"Di warung Chinese food di dekat Udinus, aku mau traktir kamu i fu mie," terang Tomi yang dibalas dengan emoticon OK.
Pukul tujuh malam, Tomi bersiap menjemput kekasihnya tersebut, tak lama kemudian, sampailah mereka di kedai Anisa.
"Terima kasih ya, untuk dinner kita," ucap Sisca seusai menyantap seporsi i fu mie.
"Sama-sama, terima kasih juga buat kamu, yang sudah mengisi hari-hariku selama setahun ini," jawab Tomi sambil menggenggam erat jemari Sisca.
Sisca tersipu diperlakukan seperti itu, seulas senyum terukir tipis. Untuk sesaat, mereka hanyut dalam suasana romantis. Tak ada percakapan diantara keduanya, hanya tatapan mereka yang bertemu.
"Sudah malam nih, pulang yuk!" pinta Sisca memecah keheningan.
Tomi tergagap dan langsung melepas genggamannya, ia pun segera membayar makanan dan kemudian mengantar Sisca pulang.
Di tengah perjalanan, Tomi membelokkan motor menuju pantai, tempat mereka pertama kali bertemu.
"Tom, kita mau ke mana, sudah malam lho ini?!"
Alih-alih menjawab, Tomi malah menambah kecepatan motornya. Sisca pun akhirnya hanya bisa terdiam. Tak lama kemudian, sampailah mereka di tepi pantai. Tomi pun memarkirkan motor di tepi jalan.
Tomi lantas menjelaskan maksudnya membawa Sisca ke pantai tersebut.
"Kamu ingat, pertama kali kita bertemu?"
Sisca mengangguk perlahan, ia masih ingat betul bagaimana keadaan Tomi waktu itu. Perlahan, bulir bening keluar dari matanya.
"Kalau dipikir-pikir lagi, ucapanmu waktu itu ada benarnya juga ...," lanjut Tomi dengan mata terus menatap laut.
Mendengar ucapan tersebut, Sisca memandang Tomi dengan tatapan bingung.
"Iya, ada hikmahnya juga, untung saja aku tahu sebelum melamarnya, bagaimana kalau tahunya setelah menikah, apa tidak lebih sakit," jelas Tomi sambil tersenyum dan balik menatap kekasihnya itu.
"Alhamdulillah, kalau bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpamu, salut buat kamu yang akhirnya membuka hati," ucap Sisca mesra seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Tomi.
"Aku bahagia bisa mengenal dan memilikimu,"
"Begitupun denganku," timpal Sisca singkat.
Malam itu, pantai yang dulu jadi saksi hancurnya hati Tomi, kini menjadi saksi jalinan cintanya dengan Sisca.
Di tempat lain, diantara pepohonan di sekitar mereka, seseorang tampak memperhatikan dengan tatapan penuh kebencian.
"Oke, kuizinkan kamu bersenang-senang dengan wanita itu, besok kamu akan kembali padaku, lihat saja!" gumamnya culas sambil berlalu.
Keesokan harinya,
"Tom, bisa kita bicara sebentar!" teriak Nancy seraya menghadang mobil Tomi. Pak Burhan pun kaget dan langsung menginjak pedal rem.
"Mau mati, ya?!" umpat Pak Burhan kemudian.
"Ada apa, Pak?" tanya Tomi bingung. Ia tak melihat keberadaan Nancy karena sedang menjawab pesan.
"Itu Pak, ada Mbak Nancy,"
Mendengar kata Nancy, Tomi segera memasukkan handphone dan keluar menemuinya.
"Apa maksud tindakanmu tadi?!"
"Aku sengaja, aku mau ngomong sama kamu, mau jelasin ke kamu," jawab Nancy seraya menahan tangis.
"Lupakanlah, itu sudah dua tahun yang lalu. Kalau kamu mau minta maaf, aku sudah memaafkanmu,"
"Terima kasih sudah mau memaafkanku. Aku cuma mau ...."
"Masuklah, kita cari tempat yang enak untuk ngobrol!" potong Tomi sambil mempersilahkan Nancy. Mendengar itu, seketika raut wajah Nancy berubah, seulas senyum tipis terukir. Nancy pun segera mengekor dan masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan hanya ada sepi. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tak lebih dari 15 menit, mereka tiba di sebuah restoran.
"Sekarang coba jelaskan, alasanmu sampai melakukan hal konyol seperti tadi!?"
Nancy tak menjawab, namun bulir bening mulai menggenang di sudut matanya.
"Aku terpaksa, kamu begitu sulit untuk kutemui, aku cuma mau jelasin ke kamu tentang taruhan bodoh yang kulakukan waktu itu, aku tidak mau kamu berpikir yang tidak-tidak tentangku," jawab Nancy akhirnya, nadanya bergetar menahan tangis.
Setelah sejenak menghela napas, Nancy mulai bercerita, dari awal adanya taruhan tersebut, hingga akhirnya ia menerima dan jatuh cinta pada Tomi.
Tomi terdiam mendengar cerita Nancy, kecewa dan marah memenuhi hatinya, masih tak menyangka wanita sebaik Nancy bisa melakukan hal seperti itu.
"Seharusnya kamu pikirkan dulu akibatnya sebelum menerima taruhan tersebut!"
"Aku tahu, waktu itu aku gegabah, tapi semua sudah berubah. Aku benar-benar mencintaimu. Kembalilah Tom, kita ulangi semua dari awal lagi!" pinta Nancy seraya menggenggam tangan Tomi.
Tomi mendelik mendengar permintaan tersebut.
"Apa, kembali? Tidak bisa, kisah kita sudah berakhir. Kini aku sudah bersama yang lain!"
Nancy coba merajuk, berharap Tomi mau menerimanya lagi, namun tetap tak membuat Tomi goyah.
"Nan, dengar ya, bagaimana pun perasaanmu, itu sudah tidak penting. Kamu tahu kan bagaimana dulu aku menjaga cinta kita. Begitu pula saat ini, ada cinta yang harus kujaga," tegas Tomi.
"pergilah Nan, lupakan cinta kita. Aku yakin dengan sifat ramahmu, kamu akan mudah mendapatkan penggantiku. Satu pesan ku, jangan permainkan hatinya. Cukup aku saja yang mengalaminya," sambungnya sambil menggenggam jemari Nancy.
Air mata Nancy seketika pecah melihat ketegasan Tomi. Memang benar yang dikatakannya. Masih teringat jelas bagaimana Tomi mati-matian menjaga cinta mereka. "Mas serius sama kamu, Nan, kalau mau, Mas sudah pacaran tuh sama pengagum Mas yang ganjen ganjen itu, tapi gak bisa, karena hati Mas sudah buat kamu," ah... kata-kata tersebut masih terngiang jelas. Dulu kata-kata tersebut mampu melambungkan perasaannya, namun kini malah terasa menyakitkan.
Kini Nancy sadar, kesempatan untuknya sudah tertutup, ia pun akhirnya menyerah.
"Baiklah, aku paham. Aku tidak akan mengganggumu lagi, semoga kalian bahagia. Terima kasih untuk semuanya, dan terutama terima kasih sudah meluangkan waktu mendengar penjelasanku," ucap Nancy setelah tangisnya mulai mereda.
Tangan Tomi refleks menyeka air mata Nancy. "Terima kasih juga untuk kisah indah kita. Aku yakin, kamu sebenarnya baik, hanya sedikit salah jalan."
Nancy tersenyum mendengar ucapannya.
"Oke, karena urusan kita sudah selesai, aku pamit ya, sudah siang ini," pamit Tomi yang dibalas dengan anggukan lemah.
Tomi pun segera beranjak dan meninggalkan Nancy yang menatap nanar.