Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 4 - Takdir

Chapter 4 - Takdir

Hutan di barat kota Agalta, di belakang kerajaan merupakan gugusan pepohonan sakura yang melingkupi langit-langitnya dan mengubah nuansa di sana menjadi warna merah muda nan indah. Hamparan rerumputan hijau membentang luas di sepenjuru hutan, di kaki-kaki pohon ditumbuhi semak-semak bebungaan berbagai warna, merah, putih, kuning, dan ungu.

Alviena tidak sedang sendirian di hutan tersebut. Ada banyak anak-anak dan para orang tua di sana yang sedang bermain ria atau sekedar beristirahat. Namun, Alviena tidak sedang melakukan hal kedua tersebut, di hutan yang begitu menyenangkan yang akan membuat siapa saja di sana untuk memilih bersantai sambil menikmati pemandangan bunga sakura.

Tetapi gadis yang hendak berusia genap 16 tahun itu malah asik mencari tumbuhan dan buah-buahan liar, namun terkadang dia juga memetik bunga-bunga di sana sambil sesekali juga bermain dengan kupu-kupu yang memiliki corak indah. Ada satu dari beberapa kupu-kupu yang menarik perhatian Alviena, kupu-kupu dengan warna biru di bagian sayap kirinya dan warna merah pada sayap kanannya, yang ketika terkena pantulan sinar cahaya matahari akan membuat sayap kupu-kupu itu seperti bernyala.

Melihat kupu-kupu tersebut terbang menjauh, Alviena segera bergegas mengejarnya ke bagian dalam hutan dengan pepohonan yang sangat rindang.

Bagaikan dunia mimpi, taburan kunang-kunang menerangi gelap hutan dan cahaya bulan yang terselubung warna perak memperindah suasana hutan itu.

Alviena mengernyitkan keningnya. "Bukannya tadi masih siang hari, kenapa sekarang tiba-tiba jadi malam?"

Alviena menarik napas panjang, dengan ragu-ragu mengambil langkah, tetapi saat ia mendengar suara riak air yang selaras dengan langkahnya, ia berhenti dan menundukkan kepala. Betapa terkejutnya Alviena ketika mendapati dirinya telah berdiri di atas air, di tengah-tengah danau, dan air danaunya begitu jernih dengan terbias cahaya rembulan di danau itu membuat air di sana mengkilap bagaikan warna biru berlian.

Sosok pantulan bayangan dirinya di danau tersebut mengambarkan dirinya sedang berdiri selaras dengannya, hanya saja penampilan mereka berbeda, seperti pakaiannya yang sobek, tubuhnya penuh luka, dan matanya berwarna merah terang dengan tangan kanannya yang memegang katana.

"Siapa kau?" tanya Alviena. Walaupun dia tau kalau sosok bayangan itu adalah dirinya, Alviena tetap menolak untuk percaya.

Tentu bayangan tersebut tidak menjawabnya. Lalu tiba-tiba saja ada hembusan angin yang begitu kencang menerpa Alviena, membuatnya harus menutup wajah dengan punggung tangannya. Berapa detik berlalu, Alviena menjauhkan tangannya dari wajah. Ketika itu ia melihat tempat yang berbeda lagi. Seluas pandangan, ia hanya melihat pasir dengan banyaknya mayat manusia di sana.

Manusia-manusia di sana mati dengan cara yang sama yaitu, sebuah pedang yang menancap dada mereka semua. Pedang yang terlihat sama seperti pedang yang di pegang oleh bayangan yang mirip dirinya sewaktu berada di tengah danau. Seketika tubuh Alviena bergetar dan hatinya merasakan ketakutan yang mengerikan. Saat dalam keadaan takut itu, Alviena melihat sosok berjubah merah dari kejauhan, wajahnya tertutupi oleh tudung jubahnya hingga membuat Alviena tidak dapat melihat sosok apa yang di balik jubah merah itu. Akan tetapi, walaupun sekilas, Alviena dapat melihat jelas warna mata dari sosok berjubah itu, warna netra emas dengan pupilnya berwarna merah terang.

Kemudian angin kembali bertiup kencang. Ketika Alviena membuka matanya, ia telah kembali berada di hutan belakang kerajaan Agalta. Alviena merasakan sedikit sakit di kepalanya, ia masih mengerjap-ngerjapkan matanya, dan mengeram pelan dengan mata setengah terbuka. Tepat saat itu juga ia melihat sesosok seorang lelaki, berpenampilan seperti vampire yang di dominasi oleh warna hitam. Lelaki itu berada di atas kudanya yang berwarna hitam dan mata hitam pekat dari lelaki itu menatap lekat pada iris biru milik Alviena, dan tak lama pria itu tersenyum.

Merasakan ketakutan, Alviena segera bergegas lari kembali ketempat di mana ia sebelumnya sedang mencari tanaman. Merasa kebingungan karena tiba-tiba tempat itu menjadi sunyi, padahal sebelumnya tempat itu sangat ramai dengan orang-orang.

Tanpa disangka Alviena, matahari sudah hendak beranjak ke peraduannya. Sekarang dia begitu cemas, apalagi ketika Alviena mengetahui kalau jalan terdekat untuk keluar dari hutan telah ditutup oleh para penjaga kerajaan. Sangat mustahil untuk Alviena dapat melewati pagar yang tingginya mencapai 3 meter terlebih lagi di atas pagarnya dipasangi dengan kawat-kawat tajam. Mencoba untuk berteriak juga tidak membuahkan hasil, karena para penjaga di sana hanya bertugas untuk menutup pagar ketika menjelang sore hari, setelah itu mereka kembali berjaga di depan gerbang kerajaan. Terlebih lagi saat ini keadaan kerajaan juga sedang sepi karena raja Agalta baru saja meninggal.

Alhasil Alviena terpaksa mengitari hutan agar dapat keluar. Sekarang dia berlari cemas menelusuri jalan setapak kecil menembus hutan yang tampak indah ketika siang hari, tetapi amat mengerikan ketika malam tiba.

Langkah-langkah kakinya tidak cukup cepat, sementara Alviena mulai merasakan ketakutan mengingat larangan ibunya yang mengatakan berbahaya berada di hutan di malam hari. Ketika cahaya keemasan matahari bergantikan kegelapan, membuat Alviena menghentikan langkahnya. Sekarang ia merasakan ketakutan yang amat mengerikan.

"Apa aku tersesat?!"

Entah ke mana langkah kakinya telah membawanya. Pada siang hari, perjalanan pulang menelusuri hutan cukup terbilang mudah bagi Alviena. Sudah berapa kali dia melakukannya, ia sudah hapal betul setiap karakteristik pohon yang dapat membantunya menemukan jalan pulang.

Tetapi sekarang, saat gelap seperti ini, semua nampak terlihat berbeda dan menyeramkan. Seolah Alviena melihat pohon-pohon di sekitarnya seperti monster dengan rantingnya yang terlihat seperti cakar dan seperti ada mulut di batangnya yang menyeringai.

Alviena hampir menangis, beruntung ia melihat cahaya yang berasal dari bunga Arock di bawah kaki pohon. Walaupun jarak bunga-bunga Arock yang dilihat Alviena cukup jauh dari pohon lain ke lainnya, ia tetap merasa lega, setidaknya sekarang ia dapat melihat.

Menyusuri jalan setapak yang di cahayai bunga Arock, walaupun Alviena tidak tau, dia akan berakhir di mana. Sampai akhirnya Alviena keluar dari hutan tersebut dan mendapati dirinya berada berhadapan dengan sebuah patung yang dipahat sebagai sosok seorang pria bertubuh sempurna, mengenakan jubah yang menutupi seluruh tubuhnya, kepala yang tertutupi tudung jubah dibuat menunduk, tatapan mata diukir begitu tajam membuat patung tersebut begitu agung serta menakutkan.

Alviena merasa patung tersebut mirip dengan sosok berjubah merah yang ia lihat sewaktu di hutan yang tiba-tiba berubah menjadi padang gurun.

Sekarang Alviena beristirahat, ia duduk di bangku yang tak jauh dari tempat patung itu berada. Gadis itu tersenyum lega, ia mendongak melihat langit tanpa rembulan tapi cukup terang dengan adanya bintang dan gugusannya. Malam ini langit menyuguhkan pemandangan paling baik, setidaknya ini adalah hadiah dari apa yang baru saja ia lalui.

krass!!!

Suara langkah kaki. Dilihatnya dua orang dari ras manusia sedang berjalan ke arahnya, lekas Alviena berdiri dan menutupi wajahnya dengan tudung jubah yang ia kenakan. Walaupun kota Agalta menerima bangsa siapa saja yang tinggal di kota mereka, ibu Alviena tetap berpesan untuk menyembunyikan telinga runcingnya, ciri khas dari seorang ras Elf. Sebenarnya rambut panjang milik Alviena sendiri sudah cukup untuk menutupi telinganya tapi terlepas dari itu, Alviena sebenarnya adalah gadis yang pemalu.

Dengan menundukan kepalanya, Alviena berjalan pelan melewati dua orang tersebut hingga cukup jauh, Alviena menyimbak tudungnya dan menghela napas lega. Tiba-tiba dia mengengar suara gemericik air yang membuat Alviena tersenyum. Rumahnya berada di pinggiran sungai, karena itu Alviena segera kembali berlari menyusuri sungai, dan benar saja dia sampai di rumahnya. Tepatnya Alviena berada di jembatan yang disisi kanan dan kirinya ditumbuhi pohon sakura yang menjorok menaungi jembatan itu.

Dari jembatan tersebut Alviena dapat melihat jelas ibunya yang berada di halaman rumah sedang mondar-mandir dengan perasaan gelisah.

"Ibu"

Suara teriakan Alviena membuat wanita tua yang sedang gelisah tersebut menjadi tersenyum bahagia, dia langsung berlari mendekati anak perempuannya, dan memeluknya dengan begitu erat. Berapa jam lalu, Ibu Alviena begitu khawatir dengan anak gadisnya itu yang tak kunjung juga pulang.

"Kau baik-baik sajakan?" Tapi sepertinya ibu Alviena masih khawatir, ia memutar-mutar tubuh anak gadisnya melihat setiap inci tubuhnya jika saja ada luka.

"Tenanglah ibu, aku baik-baik saja!" Merasa sedikit risih dengan perilaku ibunya, Alviena menjauh sendiri lalu membentangkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar. "Lihat, aku sungguh baik-baik saja ibu."

Ibu Alviena menghela napas kasar. "Bukannya ibu sudah bilang untuk pulang sebelum malam."

"Maaf bu, Alviena sedikit terbawa suasana tadi di sana." Alviena sebenarnya ingin menceritakan apa yang terjadi di hutan tapi dia lebih memilih untuk merahasiakannya, sampai saat waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Ya sudah cepat masuk ke rumah, ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu."

Dengan semangatnya Alviena berlari memasuki rumahnya.

Lokasi rumah mereka berada cukup jauh dari pemukiman manusia ataupun bangsa lain. Walaupun begitu, keberadaan mereka sangat diketahui oleh para penduduk Agalta. Setidaknya selama 15 tahun mereka berpura-pura sebagai ras dari manusia, hal itu lah yang membuat ibu Alviena meminta anak gadisnya itu untuk selalu mengenakan jubah ketika mau keluar.

Bukan tanpa alasan mengapa mereka menyembunyikan indititas sebenarnya. Itu karena ibu Alviena adalah ras Elf. Kebanyakan ras Elf memiliki sifat yang sombong. Terlahir dari cahaya membuat mereka selalu menganggap ras lain lebih rendah, bahkan bertemu apalagi sampai hidup perdampingan dengan manusia adalah sebuah aib bagi Elf.

Tapi ini adalah hukumannya, hukuman yang membuat mereka harus keluar dari desa Elf. Ibu Alviena yang masih menyimpan anugrah cahaya dan darah sucinya, karena itulah ibunya harus tetap merahasiakan kebenaran mereka. Dalam hal mencangkup semua itu, anak gadisnya yang 15 tahun lalu ditemukan di hutan dan telah menerima anugrah cahaya dari suaminya, belum mengetahui kebenaran kalau dia adalah Elf yang terlahir dari kegelapan.

Ya, ibu Alviena terus menyimpan kebenaran itu sampai bayi perempuan itu sekarang telah tumbuh menjadi gadis remaja.