Setelah hari itu, Lintang dan Ken tidak menemukan apa-apa lagi di reruntuhan. Mereka kembali ke Jakarta dengan gulungan yang setengah kosong yang mereka temukan. Karena tidak menemukan orang yang mau menerjemahkan gulungan itu, mereka berdua mencoba menerjemahkannya secara kasar dan untuk konfirmasi mereka membutuhkan seseorang seperti Prof. Siane Louis Dinata.
"Pertanyaan?" tanya Prof. Sian kepada mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Ia menatap kepada kesepuluh mahasiswanya. Mahasiswa itu saling pandang satu sama lain.
"Baiklah, kalian bisa pergi"
Segera semua mahasiswa merapikan barang-barang ke dalam tasnya dan meninggalkan ruangan itu.
"Prof, permisi" kata seseorang di depan pintu.
"Iya?"
Lintang tersenyum dan mendekati wanita yang konon berusia lima puluh tahun itu. Namun, dilihat dari manapun, ia terlihat masih muda sekali. Tersebar gossip, wanita itu melakukan operasi plastik ke Korea karena ia terlihat begitu menawan di usianya.
"Saya Lintang dan ini Ken" kata Lintang mendekati meja Prof. Sian.
Prof. Sian melihat ke arah Ken. Ia mencoba mengingat kembali, apa ia memiliki urusan dengan ke-dua mahasiswa ini.
"Kita mau bimbingan skripsi Prof" kata Ken menjelaskan. Ia melihat sedikit kebingungan di ekspresi wajah dosen pembimbinnya.
"Baru sekarang? Deadline pengumpulan proposal bukannya besuk? Kemana saja kalian?"
"Maaf Prof, kita mencoba mencari ide. Dan baru menemukannya. Maafkan kami, Prof" kata Ken menyerahkan sebuah makalah berisi proposal.
Prof. Sian mengambil makalah itu dan meletakkannya begitu saja. Begitu pula milik Lintang. Ia segera membereskan semua barang-barang ke dalam tas dan bersiap untuk pergi. Lintang yang memiliki penglihatan bagus merasa sedikit penasaran.
"Prof, itu tas keluaran The Dutch?"
Prof. Sian segera melihat ke arah Lintang. Ini pertama kalinya seorang mahasiswa menanyakan hal seperti itu padanya.
"Iya benar" jawab Prof. Sian singkat. "Saya periksa dulu ya proposal kalian dikantor? Nanti saya kabari kalian. Kalian ada nomor saya?"
"Ada prof." Jawab Ken penuh semangat"
"Bagus, besuk terkahir. Jadi saya akan usahakan hari ini"
"Prof. kita tunggu aja di sini, di kampus" kata Ken. "Kalau boleh tahu, Prof mau periksa di mana?"
"Di kantor saya"
"Kalau begitu kami akan menunggu di taman depan kantor Prof. boleh?"
Prof. Sian melihat mereka dengan tatapan yang aneh. Sejak kapan, ada mahasiswa yang mau menunggu seperti ini? Apa karena besuk adalah batas akhir pengumpulan makalah batinnya dalam hati.
Sebenarnya ia meresa sedikit kesal, karena kedua orang ini mengumpulkan di akhir seperti ini. Namun, karena mereka berdua terlihat baik dan bukan mahasiswa yang kurang ajar, ia pun menyetujuinya.
"Tapi agak lama ya? Saya harus selesaikan materi untuk besuk, baru saya bisa memeriksa makalah kalian. Apa kalian yakin masih mau menunggu?"
"Iya Prof. Tidak masalah. Kami juga tidak ada pekerjaan kok" sahut Lintang.
Prof. Sian segera pergi dengan tas dan membawa makalah Ken dan Lintang. Ia masuk ke ruanganya sementara Ken dan Lintang duduk di taman.
"Kamu kenapa tanya tas Professor? Nggak ada kerjaan ya?" tanya Ken.
"Bukan, enak aja! Gue cuma penasaran aja."
"Oh segitunya ya cewek? Apa kamu meresa tas kamu seharga mobil ini kalah mahal gitu?" goda Ken.
"Bukan, apapaan sih? Gue mana pernah kayak gitu. Amit-amit! Gue gak lihat orang dari barang-barang nya ya?"
"Terus kenapa?"
"Heran aja, The Dutch itu perusahaanya udah pailit dan tutup. Mereka tidak lagi mengeluarkan tas." Jawab Lintang.
Ken menyahut dengan santai sambil merebahkan tubuh dibangku taman seperti mahasiswa yang tidak peduli apa kata orang.
"Ya terus kenapa? Mungkin dia beli pas masih ada perusahaan itu"
"Ini ni, kalau nggak tau asal ngomong. Kamu tahu nggak tahun berapa perusahaan itu tutup? Tanya Lintang.
"dua tiga tahun lalu kali?"
"Tahun 1920. Tas terakhir mereka di jual tahun 1930"
Ken yang terkejut segera bagun dan duduk.
"Serius? Awet bener ya itu tas? Berapa duit itu? Lebih mahal dari tas kamu?"
"Bukan masalah mahal. Umur professor sekarang 50 tahun, dari mana ia mendapatkan tas kuno itu?
"Maminya kali? Atau neneknya?"
Lintang tidak menjawab.
~Apa benar begitu?Tas itu hanya dimiliki oleh para kaum bangsawan Eropa? Bagaimana tidak? Harganya dua kali harga tas yang aku miliki. Siapa sebenarnya Prof. Sian ini? Apa ia seorang sosialita? Jika benar, mengapa kami tak pernah mendegar namanya?~
"Oi! Oi!" Teriak Ken kepada Lintang. Teriakannya membuyarkan lamunan Lintang yang sudah berkeliaran ke mana-mana.
"Kita dipanggil" kata Ken.
Lintang segera menghabiskan minuman dan membuang gelasnya ke tempat sampah daur ulang. Ia segera mengikuti Ken.
"Kita beneran dipanggil?" tanya Lintang memastikan.
"Iya, makanya jangan ngelamun aja!"
Tiba di kantro Prof. Sian, mereka segera dipersilakan duduk. Prof. Sian sedang membawa makalah milik Ken.
"Kamu dapat ide ini dari mana?"
Ken menjawab dengan ragu-ragu. "Dari hasil penggalian yang kami lakukan."
"Kamu juga sama?" tanya wanita di depannya kepada Lintang. Ia mengangguk.
Prof. Sian segera menutup kedua makalah itu.
"Menarik, apa kalian menemukan sesuatu? Dan jujur saya terkejut dengan kepedulian kalian terhadap sejarah. Apa yang membuat kalian tertarik melakukan penggalian di situs kuno yang bahkan pemerintah tidak temukan?"
Lintang menoleh ke arah Ken sebelum menjawab. Ia tahu, jawabannya akan menjadi kunci apakah proposal yang ia ajukan akan lolos menjadi skripsi atau malah mental dan ia harus mencari ide lain. Ia harus berhasil. Ia sudah melakukannya sejauh ini.
"Kita perlu tahu sejarah. Masa lalu memang sudah terjadi dan tidak bisa dirubah. Tapi kita bisa belajar darinya dan menentukan arah untuk masa depan"
Prof. Sian melepas kacamata dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia tidak sadar berfikir sambil menggigit salah satu gagang kacamata miliknya.
~Astaga tidak ada kerutan sama sekali. Pantas saja rumor mengatakan bahwa wanita ini pergi ke Korea untuk operasi plastik. Batin Ken yang tidak sengaja mengagumi wanita di depannya~
"Ok, boleh saya tahu apa yang kalian temukan?"
"Kami menemukan beberapa perkakas. Namun saya rasa itu semua tidak terlalu mengesankan, jadi kami memutuskan untuk mengambil sebuah gulungan kuno."
"Gulungan Kuno? Apa yang tertulis di dalamnya"
Ken dan Lintang menelan ludah. Tiba lah saat yang dinanti. Saat di mana Prof. Sian akan menanyakan isi dari gulungan itu.
"Dengan kemampuan kami, kami kurang bisa menjabarkan secara jelas. Tapi yang jelas kami tahu, isi sepertinya mengenai kisah seorang wanita cantik di masanya."
"Oh sepertinya? Jadi kalian tidak tahu benar maksud kalian?"
~Aduh! Ken kenapa kamu jujur banget sih! Gerutu Lintang. Ia segara mengambil alih pembicaraan~
"Kami tahu, hanya tidak yakin. Kami butuh seseorang seperti Prof. untuk mengonfirmasinya. Jadi apakah Prof. Sean tertarik dengan penelitian kami?"