Sementara Yanuar mengusahakan bagaimana cara supaya bisa islah dengan istrinya, Revaline. Nyonya Zubaidah Abdullah, ibundanya Yanuar malah langkah refresif, dia sibuk mencarikan jodoh untuk putranya itu di antara kalangan keluarga dan teman-temannya. "Tak baik kalau kamu menduda terlalu lama!" kata nyonya Zubaidah kepada Yanuar, pria ini pusing melihat langkah buru-buru ibunya. Menikah lagi bukan solusi bagi kehidupannya.
Tetapi, Nyonya Zubaidah punya pemikiran lain, selama ini Yanuar tidak lebih dari seorang duda. Selama 2 tahun ini, istri Yanuar, Revaline sudah tak mampu memberikan nafkah bathin untuk suaminya. Yanuar tidak menanggapi ibunya yang terus menyodorkan daftar wanita yang di pandang baik oleh ibunya.
Ada 20 lembar portofolio wanita cantik yang diberikan ibunya ke hadapan Yanuar. "Lihat ini, mereka semua cantik dan baik, dari keluarga terhormat dan berpendidikan. Kamu bisa memilih diantara mereka menjadi istrimu!" kata nyonya Zubaidah. Yanuar tak berminat membuka selembar pun dokumen yang di sodorkan ibunya itu. Ibunya kesal. Yanuar seperti kena hipnotis, masih saja dia berharap kembali bersama Revaline.
Yanuar pamit meninggalkan rumah ibunya di Johor. "Aku harus ke Jakarta menjenguk si kembar!" kata Yanuar menghindar. Dia bukan sekedar mencari alasan, sudah satu bulan dia tidak bertemu kedua anaknya itu.
Seandainya, pernikahannya dengan Revaline tidak bisa di selamatkan, paling tidak dia berjuang mengambil alih asuh kedua anaknya itu. Selain itu, dia juga harus menyiapkan konsekuensi perceraian itu, dia harus bersiap menghadapi tuntunan pembagian harta Gono gini atau tunjangan yang harus diberikannya kepada Revaline.
"Kamu terlalu mencintainya, sehingga kam lalai, mau saja di bujuk memasukkan istrimu ke dalam perusahaan, dia pasti meminta bagian saham perusahaan yang telah kamu berikan padanya!" ibunya mengomel. Tetapi bukan hanya ibunya yang berpendapat begitu, seluruh keluarga menduga hal yang sama. Bila perceraian itu benar terjadi, itu berarti Revaline bakal mendapatkan 1/6 dari harta Yanuar. Revaline bakal menjadi janda kaya raya.
Para saudara Yanuar curiga, Revaline menyiapkan diri untuk bercerai dengan Yanuar. Mereka tak habis pikir, yang Yanuar terperdaya oleh istrinya itu.
...
Sementara itu, Johannes terus berusaha mengambil hati Julia supaya diizinkan bertemu Vivine anaknya.
Meskipun Julia terus menghalangi Johannes menemui Vivine. Tetapi dia tidak bisa mencegah putrinya Vivine menemui ayahnya.
Vivine sudah berumur 5 tahun, anak itu sangat cerdas, di usia itu dia sudah bisa membaca dan menulis.
Dia sudah mengerti banyak hal tidak bisa di bohongi lagi mengenai ayah kandungnya.
Anak itu mencuri dengar pembicaraan ibunya di telepon dengan Johannes. Anak itu berpura-pura tidur, ketika suatu malam dia mendengar ibunya bertengkar dengan ayahnya mengenai hak asuhnya.
Ketika ibunya tertidur dia menyalin nomor ponsel Johannes dan menghubunginya.
Johannes tidak menyangka kalau Vivine mengirim pesan kepadanya, dia seperti bermimpi saja.
"Ayah ini Vivine...besok siang temui Vivine di sekolah!" Vivine menuliskan alamat sekolahnya.
Johannes menangis membacanya. Akhirnya dia bisa bertemu putrinya itu. Tubuh Johannes bergetar hebat, kerinduannya kepada putrinya sudah tak terbendung lagi. Dia sangat gugup, membayangkan pertemuan besok.
Sama halnya dengan Vivine, gadis kecil itu gelisah membayangkan wajah pria yang di duga ayahnya itu. "Besok Vivine pake pita merah, ayah pake baju merah juga ya!" anak itu mengatur pertemuan seperti orang dewasa. Johannes terkejut mengetahui putrinya secerdas itu.
Julia hanya sebatas mengantar dan menjemputnya Vivine sekolah. Anak itu tidak pernah di tunggui di sekolah. Mana tahu dia, kalau putrinya itu membuat berencana bertemu ayahnya di belakangnya.
Vivine tidak kehilangan cara agar bisa bertemu ayahnya tanpa sepengetahuan gurunya. TK tempat dia belajar sangat protektif terhadap anak-anak asuhannya. Jadi sangat tidak mungkin orang asing atau orang tak di kenal dan tak memiliki hubungan keluarga bisa menemui anak didik di sekolah itu. Jadi selain orangtua atau wali anak tidak bisa mengantar dan menjemput siswa di sekolah itu tanpa registrasi sebelumnya
Karena itulah Vivine mendekati Miss Guna wali kelasnya untuk curhat. "Miss, bolehkah minta waktunya... Vivine ingin cerita!" Miss Guna terkejut, tidak biasanya Vivine mau berbicara dengannya, anak ini sangat pendiam, terapi Vivine sangat cerdas, dia sudah bisa membaca dan menulis.
Tulisannya sangat bagus dan rapi seperti anak sekolah SD kelas 2. Bahkan anak itu terlihat dewasa dari umurnya, bahasanya tertata dan sangat berhati-hati kalau bicara, anak ini agak tertutup dan seakan menjaga jarak dengan teman-temannya. Menyadari hal ini Miss Gina meyakini, pasti ada yang penting ingin di sampaikan Vivine kepadanya.
"Ya Vivine sayang...ada yang bisa Miss bantu?" Miss Gina mengusap rambut Vivine yang berwarna coklat terang seperti matanya.
"Miss...Vivine ingin minta bantuan Miss...tetapi ini rahasia...sangat rahasia!" Vivine menekan kalimat terakhir dengan pelan. Miss Guna membulatkan matanya ."Rahasia?" kata Miss Gina hampir berbisik, mengikuti gaya bicara gadis kecil itu. Vivine mengangguk, dia senang Miss Gina menanggapinya dengan serius.
"Iya...Sangat rahasia!" Vivine mempertegas.
"Baiklah...mari kita cari tempat untuk bicara!" Vivine tersenyum, Miss Gina sangat pengertian.
Miss Gina menuntun Vivine itu ke ruang konseling. "Kita sudah berada di tempat yang aman, ada apa?" dia berkata lembut. Memberikan rasa aman untuknya.
"Miss Gina...nanti ayahku datang!" Kata Vivine setengah berbisik, dia sepertinya takut suaranya terdengar orang lain.
"Ayahmu?" Miss Gina terkejut, setahunya Vivine terdaftar tanpa ayah, dalam artian dia lahir tanpa perkawinan, ibunya Orang tua tunggal. "Aku mendengar kalau ayahku berusaha menemui ku, tapi ibu menghalang-halanginya... Miss Gina...saya meminta ayahku datang ke sini... saya mohon izinkan saya menemuinya", Vivine berkata dengan jelas seperti orang dewasa, tetapi matanya merah menahan tangis.
Anak sekecil itu mampu memendam perasaan. Miss Gina memeluk Vivine, menenangkannya. "Miss harus bagaimana?" Vivine menyeruak dari pelukannya, tangisnya langsung hilang. "Jangan bilang ibuku ayahku datang!" katanya penuh harap.
Miss Gina tertegun, dia sebenarnya tidak berani mengambil tindakan tanpa konsultasi kepala sekolah, tetapi Vivine sedang mengharapkan bantuan dan dukungannya.
"Miss... please...izinkan Vivine ketemu ayah'....sekali saja...saya sangat ingin melihatnya...sebentar saja", wajah Vivine memelas . Dia tidak sampai hati.
.....
Johannes tidak pernah gugup
begini, sekalipun ingin kencan dengan wanita yang baru di kenalnya. Hatinya gundah gulana. Tangan dan kakinya dingin. Sudah lama dia merindukan anaknya itu. Anak yang tidak pernah dilihatnya. Sekarang kesempatan itu ada di depan matanya. Meskipun Julia tidak pernah mau memberi kesempatan menemui anaknya. Dia memang pantas di hukum. Tetapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan pengampunan?
Sekuriti sekolah Vivine tidak mengizinkan dia masuk ke area sekolah, terapi mereka mengizinkannya menunggu di pos keamanan tersebut sampai usai waktu sekolah. Kepala sekuriti meminta identitasnya dan mengambil foto wajahnya untuk keamanan.
Miss Gina mengintip dari kaca jendela melihat ke pos keamanan. Di sana duduk seorang pria berbaju merah. Dia pasti Johannes ayah Vivine. Ciri-cirinya seperti di sebutkan Vivine, tinggi, bertubuh besar dan berkulit gelap karena sengatan matahari.
Johannes tak kuasa menahan tangisnya, ketika Vivine datang bersama wali kelasnya. Anak itu berlari mengejarnya. Johannes berjongkok membentangkan tangannya, Vivine memeluknya. Keduanya tak mampu berkata. sepatah pun. Hanya pelukan. Dua orang yang saling merindukan itu menangis dalam keharuan.
Miss Gina tertegun menyaksikan kejadian di hadapannya . Bahkan kepala keamanan sekolah itu pun di buat tertegun. Sekalipun dia tidak paham dengan kondisi mereka, tetapi dia juga tak mampu membuang rasa harunya. Jelas sekali, ayah dan anak itu seperti baru pernah bertemu.
Johannes mencium pipi Vivine berkali-kali. Bibirnya tersenyum , tapi wajahnya penuh air mata. Vivine memberi ciuman balasan ke ayahnya. "Ayah...kamu benar ayahku kan...kamu sungguhan ada...bukan mimpi!" Vivine memegang kedua pipi Johannes. Pria itu tertawa sambil menangis. 'Iya sayang ini aku...ayahmu!" Johannes memeluk Vivine kembali. Kali ini mereka tertawa sambil menangis bersama.
Kepala sekolah datang ke tempat itu. Dari CCTV dia melihat kejadian di halaman sekolah itu. Dan langsung menghubungi Julia.
Julia terkejut mendengar kabar tersebut. Dia tidak mengira Johannes bisa menemukan alamat sekolah Vivine. Dia tidak sempat berpikir bagaimana cara Johannes bisa mengetahui alamat sekolah Vivine.
Dengan gugup dia pergi ke sekolah. Jarak sekolah dari apartemennya hanya 15 menit. Dia tiba di sekolah dengan segera.
Kepala sekolah menahan ayah dan anak itu di kantornya. Dia akan memberikan sanksi tegas kepada Miss Gina, guru itu telah melanggar aturan sekolah.
Julia menemukan Vivine duduk di pangkuan Johannes, menghadap meja kepala sekolah. "Bu kepala...tolong jangan marah! Ini bukan salah ayah dan Miss Gina... ini salahku!" Vivine seperti orang dewasa yang mengambil tanggung jawab. Ibu kepala sekolah tak menjawab, sebaliknya dia berdiri dan menyambut Julia.
Ayah dan anak itu tak menyangka, kalau Julia sudah berada di tempat itu.
"Ibu!"
"Julia!" kata mereka bersamaan.