Korban masih banyak yang berdatangan, korban yang meninggal semakin bertambah dan yang menghilangpun belum ditemukan masih ada 40%.
Dhika, Okta, Khairul tengah rapat dengan kapten dan beberapa pengurus penting di tentara. Sedangkan Thalita dan beberapa suster lainnya bertugas memeriksa pasien dan juga memberi mereka makan.
Thalita menghampiri seorang pasien pria paruh baya yang tadi malam baru di selamatkan. Thalita memeriksa dada pasien menggunakan stethoscopenya.
Setelahnya Thalita beranjak pergi, tetapi baru dua langkah Thalita berjalan, pasien barusan mengalami kejang-kejang dan keluar banyak darah dari mulutnya. Membuat dua orang suster yang juga tengah memeriksa pasien lain di samping pasien lelaki paruh baya itu menjerit kaget. Thalita berbalik dan berlari menuju pasien.
"Astaga!!" pekik Thalita dan segera memeriksa detak jantung pasien. Sekuat tenaga Thalita menahan tubuh pasien yang kejang-kejang sampai terjatuh dari atas tandunya.
Thalita duduk di tanah dan dengan kedua tangannya menahan kedua tangan pasien yang kejang-kejang itu. Beberapa suster berlari memanggil dokter Dhika. Darah semakin banyak keluar dari mulut pasien.
Hingga pasien berhenti kejang-kejang. Thalita mencoba memeriksa deyut nadi pasien, tetapi denyutnya melemah membuat Thalita menekan dada pasien dengan menumpukan kedua tangannya di dada pasien. Thalita terus menekan dada pasien. Keringat sudah membanjiri dahi Thalita dan tak lama Dhika datang bersama Okta dan dokter Khairul.
"kenapa?" Tanya Dhika sudah duduk disamping Thalita sambil melepas tas ransel kecilnya.
"pasien ini mengalami kejang-kejang, tetapi deyut nadinya masih terasa" ujar Thalita masih menekan dada pasien.
Dhika memeriksa deyut nadi pasien di bagian tangan pasien dan melepas pita warna kuning yang berada di pergelangan tangan pasien. Dipasangkannya pita warna hitam di lengan pasien.
"apa-apaan kamu? deyut nadinya masih terasa" pekik Thalita masih terus menekan dada pasien.
"meskipun denyut nadinya masih terasa, tetapi jantungnya sudah berhenti karena mengalami pendarahan. Maaf Lita, tetapi pasien ini sudah meninggal dunia" ujar Dhika dengan lembut.
"apanya yang sudah meninggal? Dia baik-baik saja, lukanya juga tidak terlalu parah. Makanya aku memasangkan pita kuning padanya" ujar Thalita sudah berkaca-kaca melihat ke arah Dhika.
Thalita kembali menekan dada pasien sambil menangis. Semua dokter dan suster yang berada disana menatap sedih ke arah Thalita, tidak ada yang berani membuka suara mereka.
"hentikan Lita, ini tidak akan berhasil" ujar Dhika
"DIAM!!" bentak Thalita. "kamu selalu menghalangiku untuk menyelamatkan pasienku" ujar Lita menatap Dhika dengan tajam.
"tidak begitu Lita, tetapi pasien ini memang sudah meninggal" ujar Dhika menatap tajam ke arah Lita membuat Lita menghentikan gerakannya.
Chacha, Okta dan beberapa orang yang ada disana menatap sedih ke arah pasien dan Thalita. "waktu kematiannya, pukul 11 siang waktu Indonesia." Ujar Dhika.
"dia belum meninggal" ujar Lita ngotot dan kembali menekan dada pasien. Dhika berdiri dari posisi jongkoknya dan menarik lengan Thalita cukup kasar membuat Lita berdiri dan berhadapan dengan Dhika.
"Hentikan!! pasien ini sudah meninggal dunia, lakukan tugasmu kembali. Selamatkan pasien yang bisa diselamatkan !!" bentak Dhika membuat Thalita terdiam dan menangis terisak.
"hikz....hikz...hikzz..." Dhika melepas pegangannya pada lengan Thalita dan melepas alat infuse pada tubuh pasien dan memasukannya ke dalam kantung berwarna kuning, khusus untuk jenazah.
Thalita masih berdiri tanpa bergerak dengan mengepalkan kedua tangannya. Pasien tersebut dibawa pergi oleh tentara, dan Dhika kembali berdiri di samping Thalita.
"kalian semua kembalilah bekerja dan ingat, selamatkan pasien yang bisa di selamatkan. Jangan terfokus pada satu pasien" ujar Dhika membuat semua dokter yang ada disana mengangguk dan mulai beranjak meninggalkan tempat itu. Dhika hendak mengucapkan sesuatu ke Thalita, tetapi Thalita langsung beranjak pergi menuju belakang tenda dokter.
Dhika berjalan mengikuti Thalita yang berjalan ke arah belakang tenda dan duduk di salah satu batu yang ada disana, Thalita menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isakan kecil keluar dari mulut Thalita, Dhika masih berdiri di samping tenda sambil memperhatikan Thalita. Setelah lama berdiri, Dhika berjalan menghampiri Thalita dan duduk di batu yang juga ada disamping Thalita.
"kenapa?" gumam Thalita lirih, tangan Dhika terulur membelai kepala Thalita dengan sayang. Lita menengadahkan kepalanya dan menurunkan kedua tangannya hingga terlihat wajah Thalita yang sendu. Beberapa helai rambut menempel di wajah lita yang basah, mata dan hidungnya memerah.
Dhika merapihkan rambut Thalita yang menempel di wajah Lita dengan telaten. Lita menatap Dhika yang sangat dekat dengannya.
"jangan menangis" ujar Dhika dengan lembut dan menghapus air mata Thalita. "dokter bukanlah tuhan, kita hanya diberi amanat oleh tuhan untuk membantu menyelamatkan dan mengobati manusia yang sakit dan membutuhkan kita. Tetapi keputusan sembuh tidaknya itu adalah kehendak tuhan bukan kehendak kita" ujar Dhika sambil masih menghapus air mata lita. "jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, pasien itu memang tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Terjadi pembengkakan di pembuluh darahnya. Dan barusan dia mengalami pendarahan karena pembuluh darahnya pecah" jelas Dhika.
"dokter macam apa aku ini, aku bahkan memakaikan pita yang tidak tepat pada pasien. Harusnya aku memakaikan pita berwarna merah. Aku bahkan tidak memahami kondisi pasien" gumam Thalita kembali menangis.
"Ssssttt, tidak, kamu tidak salah" ujar Dhika kembali menghapus air mata Thalita membuat keduanya kini saling bertatapan. Dhika memegang kedua tangan Thalita.
"kamu sudah sering membaca buku anatomi kan?" Tanya Dhika membuat Thalita mengangguk.
"gunakan tangan ini" ujar Dhika mengangkat tangan kanan Thalita dan menyimpannya di dada Dhika. "pejamkan mata kamu dan ingat gambar yang sudah kamu lihat di buku itu." Ujar Dhika dan Lita masih memperhatikannya. "hanya dengan sentuhan, kita bisa merasakan dan mengetahui apa yang ada dalam tubuh pasien. Bahkan lebih baik dari peralatan medis lainnya" ujar Dhika.
"organ manusia itu hidup dan bergerak, kamu bisa merasakan setiap gerakan dan getarannya dengan tangan ini. Coba kamu lakukan sekarang. Tutup matamu" perintah Dhika dan Lita menutup matanya. "gerakan tangan ini, dan kamu rasakan. Ingatlah dan bayangkan organ jantung dalam pikiran kamu" ujar Dhika dan Lita mulai menggerakkan tangannya yang menyentuh dada dhika. perlahan-lahan Lita menyelusuri dada bidang Dhika.
"apa yang kamu lihat?" Tanya Dhika.
"jantung kamu, jantung kamu berpacu dengan sangat cepat sekali" ujar Thalita.
"itulah kondisi jantungku kalau berdekatan denganmu," ucapan Dhika mampu membuat Thalita membuka matanya dan langsung bertemu pandang dengan mata coklat milik Dhika. "kamu bisa melihat jantungku kan?" Tanya Dhika membuat Lita mengangguk lagi.
"anak pintar" Dhika membelai pipi Lita sambil tersenyum. "sekarang jangan bersedih dan menyesali semuanya lagi, ayo kembali bekerja" ujar Dhika seraya melepas pegangan tangannya dari pergelangan tangan Lita dan berlalu pergi meninggalkan Lita yang masih terdiam menatap Dhika yang sudah menjauh.
"detak jantungnya lebih cepat dari detak jantungku" gumam Lita memegang dadanya sendiri merasakan detak jantungnya sendiri yang berdetak kencang.
Di tempat lain, Okta duduk sendiri menatap hamparan langit malam. Dan tak jauh dari sana Chacha bersama Riri dan Sally tengah menikmati pop mie. Claudya berjalan mendekati Okta sambil membawa dua gelas kopi. "mau kopi?" tawar Claudya membuat Okta menengok.
"boleh, kebetulan sekali" ujarnya seraya mengambil gelas berisi kopi dari tangan Claudya.
"aku tidak melihat dokter Dhika, kemana dia?" Tanya Claudya saat Okta tengah menyeduh kopinya.
"aku juga belum melihatnya, mungkin sibuk di klinik" ujar Okta meminum kopi ditangannya. Dari kejauhan Chacha memperhatikan mereka berdua dengan kesal.
"oh iya, kamu ada hubungan sama dokter Clarisa?" Tanya Claudya
"pengennya sih ada, Tapi sayang dia tidak menyukaiku" ujar okta menatap lurus ke depan.
"masa sih ? Aku lihat dia juga menyukaimu" ujar Claudya
"masa sih?" Tanya Okta tak percaya
"aku juga seorang wanita, aku bisa melihat dari matanya kalau dia juga menyimpan rasa padamu" ujar Claudya membuat Okta tersenyum. "oh iya aku mau menanyakan sesuatu" Tanya Claudya
"Tanya saja" ujar Okta menyeduh kopinya.
"apa benar dokter Thalita adalah wanita di masa lalunya dokter Dhika?" Tanya Claudya membuat Okta terdiam sesaat.
"kenapa menanyakan itu?" Tanya Okta
"aku hanya ingin memastikannya saja" jawab Claudya seraya meminum kopi miliknya.
"apa Dhika yang waktu itu menolakmu?" Tanya Okta menatap Claudya membuat Claudya terkekeh.
"kenapa bertanya begitu? Aku sungguh malu waktu itu curhat sama kamu" kekeh Claudya.
"tidak apa-apa, aku seneng bisa mendengarkan keluh kesah seseorang. Apalagi itu seorang perempuan" ujar Okta terkekeh dan Claudyapun ikut tertawa.
"dasar playboy, ternyata benar yah yang infotaiment itu beritakan. Seorang pengusaha muda yang sangat terkenal dengan sikap playboy nya" kekeh Claudya.
"itu cuma hoax" kekeh Okta. Keakraban keduanya tak luput dari pandangan Chacha yang terus menatap ke arah mereka berdua dengan kesal.
"jadi benar tidak kalau dokter Thalita pernah ada hubungan dengan dokter Dhika?" Tanya Claudya sangat penasaran.
"kalau aku kasih tau jangan nangis yah" goda Okta terkekeh.
"tenang saja, sekarang tidak akan" ujar Claudya.
"iya, mereka dulu adalah pasangan kekasih. Bahkan sudah bertunangan, tetapi terjadi accident yang membuat keduanya berpisah begitu lama" jelas Okta membuat Claudya terdiam sesaat.
"kalau boleh tau, accident apa?" Tanya Claudya semakin kepo.
"aku tidak punya hak untuk menceritakannya, tanya saja ke Dhika langsung" ujar Okta, membuat Claudya terdiam. "baiklah dokter Claudya, aku harus pergi dan terima kasih kopinya" ujar Okta tersenyum dan beranjak meninggalkan Claudya sendiri.
Baru tiga langkah, Okta menghentikan langkahnya karena beradu pandang dengan Chacha. Tetapi secepat kilat Chacha memalingkan pandangannya ke arah lain.
***