Chacha menolong pasien yang mengalami keguguran di bantu Thalita. "pendarahannya sangat banyak" ujar Chacha. "kita tidak mungkin menunda operasinya" tambah Chacha
"kita lakukan operasinya disini" ujar Thalita.
"tapi, tidak ada peralatan apapun?" ujar Chacha.
"kita pakai alat yang ada disini, aku bawa beberapa alat operasi" ujar Lita. "kita butuh sinar matahari" Tambah Thalita dan Chacha mengangguk.
Chacha dan Thalita membawa pasien ke tempat yang terdapat sinar matahari dan cukup bersih. Chacha dan Lita bekerja sama melakukan operasi pada pasien yang mengalami keguguran.
"kita harus menyelamatkan pasien, karena bayinya sudah meninggal" ujar Chacha. Thalita membantu Chacha melakukan operasi pada rahim pasien.
Dhika yang baru saja melewat, dan melihat ke arah mereka berdua dengan melipat kedua tangannya di dada. Dipandangnya Thalita yang menggunakan masker dan sibuk melakukan operasi. Dhika tersenyum kecil melihatnya. 'bahkan setelah mendapat penolakan darimu, hatiku tetap selalu tertuju padamu' batin Dhika
"dia malah cengengesan, gue curiga dewa amour tengah merasuki loe" ledek Okta yang tiba-tiba saja ada disamping Dhika.
"ck, loe ngapain sih ngikutin gue" ujar Dhika.
"siapa juga yang ngikutin loe, orang gue lagi ngeliatin nenek lampir gue" ujar Okta membuat Dhika terkekeh.
"belum kapok juga loe, setelah disiram kuah pop mie?" Tanya Dhika
"gue bukan tipe cowok yang gampang menyerah" ujar Okta dengan bangganya, membuat Dhika tersenyum.
Tak lama Thalita dan Chacha selesai melakukan operasi dan kini di telapak tangan Thalita ada seorang bayi yang belum terbentuk sempurna karena usia kandungannya baru 5 bulan.
Setelah melakukan penyelesaian terakhir operasi pasien, chacha membawa pasien ke tenda kesehatan yang ada disana dan mengatur infusan pasien. Sedangkan Thalita masih berdiri dengan masih menatap bayi kecil itu. Air mata Thalita menetes melihat bayi itu. Hatinya merasa miris sekali melihat sang bayi mungil itu. Ingatannya menerawang saat dirinya di tolak mentah-mentah oleh ibu yang telah melahirkannya. Thalita sungguh memikirkan dirinya saat bayi dulu, saat lahir langsung ditolak dan dibuang oleh ibunya. Air matanya terus menangis menatap bayi kecil itu, hingga sepasang tangan kekar menghapus air matanya membuat Thalita menengadahkan kepalanya dan langsung berhadapan dengan Dhika. "jangan menangis,, ayo kita makamkan bayi itu bersama-sama" ujar Dhika tersenyum.
Tak lama Chacha dan Okta datang, mereka berempat bersama-sama menguburkan bayi itu di sekitar sana. Keempatnya hanya bisa terdiam memperhatikan makam kecil itu.
***
Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari di tempat kejadian perkara. Semua dokter sudah kembali ke pengungsian bersama beberapa korban yang selamat, cedera bahkan yang meninggal dunia. Kecuali Dhika dan Okta yang masih membantu tentara disana bersama dokter militer disana. Korban yang menghilang masih sekitar 40% lagi. Beberapa tentara sudah melacak ke semua daerah dan menemukan tanda kalau ada sebuah bangunan yang diketahui adalah sebuah sekola dasar. Didalamnya diketahui ada beberapa anak yang terperangkap. Dhika dan Okta memutuskan tetap tinggal untuk membantu para tentara.
Lita dan chacha sampai di tempat pengungsian dan membantu membawa pasien kritis dengan brangkar dan ada juga yang menggunakan tandu. Dokter Claudya menghampiri Lita dan Chacha. "dokter Lita, dokter Dhika mana?" Tanya Claudya.
'ada apa dia nanya-nanya dhika?' batin Thalita. "apa ada pasien yang gawat darurat?" Tanya Thalita.
"tidak ada sih, hanya saja aku khawatir padanya" ujar Claudya dengan santainya membuat Chacha melongo kaget.
"khawatir? Apa saya tidak salah dengan dokter Claudya. Anda mengkhawatirkan dokter Dhika?" Tanya Chacha sedikit sebal.
"memang kenapa Dr. Clarissa? Apa ada yang salah mengkhawatirkan sesama rekan dokternya?" Tanya Claudya menantang.
"dokter yang pergi kesana kan bukan hanya dokter Dhika, kenapa cuma mengkhawatirkan dokter Dhika?" Tanya Chacha.
"iya aku tidak mungkin mengkhawatirkan dr. Khairul kan yang notabenenya sudah memiliki istri, dan aku juga tidak mungkin mengkhawatirkan kalian berdua. Aku masih normal. Jadi yang lebih tepat itu aku mengkhawatirkan dokter Dhika yang masih single. Benarkan dokter Lita" ujar claudya dengan sinis membuat Thalita merasa kesal
"itu namanya keganjenan, kalau khawatir sama rekan itu tidak memandang apapun juga" ujar Chacha mulai terpancing emosi.
"Chacha cukup !!" Thalita menahan lengan Chacha. "kita tidak perlu meladeninya" ujar Thalita. "kalau kamu mengkhawatirkan dokter Dhika, maka hubungi saja dia" ujar Lita menarik Chacha pergi dengan kaki yang masih pincang.
"Lita, gue sebel sama tuh cewek, keganjenan banget sih dia. Udah tau Dhika itu cowok loe" gerutu Chacha kesal.
"Dhika bukan cowok gue, dan dia berhak memilih siapapun. Termasuk dokter Claudya" ujar Thalita membuat Chacha terdiam membisu. "Jangan bahas masalah Dhika lagi di hadapan gue, kita semua disini hanya rekan kerja dan tidak lebih dari itu" setelah mengatakan itu Thalita berlalu pergi meninggalkan Chacha sendiri.
'tuh anak kapan sadarnya yah, kalau dia itu masih cinta sama dhika' batin Chacha dan berlalu pergi menuju klinik.
Ditempat kejadia perkaran, Dhika bersama beberapa tentara memasuki gedung sekola yang ambruk total. Dengan menggunakan mesin, membuat salah satu batu yang menutupi jalan masuknya terbuka. Dhika bersama Okta dan tiga orang tentara yang salah satunya adalah kapten tentara memasuki ke bagian yang paling dalam, curam dan bawah.
Semuanya menyusuri jalanan yang penuh batu dan tumpukan bahan bangunan lainnya. Debu dimana-mana.
"tolongggggg !!!"
Terdengar samar-samar teriakan anak-anak. Dengan feeling yang kuat, Dhika dapat menemukan mereka. Mereka berada di dalam lubang yang cukup dalam terhalang oleh sebuah kaca besar yang sudah ditutupi oleh beberapa reruntuhan. Ketiga tentara bersama Dhika dan Okta membantu menyingkirkan semua yang ada disana. Batu, besi, kayu dan banyak lagi. Setelah berhasil mengangkat kaca besar yang menghalangi.
Kini semuanya dapat melihat ada sekitar 10 anak di bawah sana bersama seorang perempuan dewasa yang memakai seragam PNS. "tolong kami" teriak sang guru. "tolong murid saya, dia kehausan dan kehabisan nafas" teriaknya lagi menunjukkan seorang anak perempuan yang berada dipelukannya.
"tunggu disitu, kami akan mengeluarkan kalian" teriak kapten. "bawa tambang kesini" perintah kapten dan tak lama seorang tentara datang dengan membawa tambang.
"saya ikut turun" ujar Dhika.
"tidak bisa dokter, ini sangat berbahaya" ujar kapten.
"tapi dibawah sana ada anak yang membutuhkan pertolongan saya" ujar Dhika ngotot.
"baiklah, tapi hanya dokter saja" ujar kapten dan turun bersama Dhika menggunakan tambang itu. Dhika yang memang sudah terbiasa memanjat tebing dan turun tebing. Membuatnya tidak kesulitan untuk menuruni lubang yang cukup dalam itu. Setelah sampai dibawah, Dhika segera menolong anak yang pingsan itu.
"denyut nadinya lemah" gumam Dhika memberikan selang oksigen kecil yang dia bawa. Sedangkan kapten dan seorang tentara yang juga ikut turun membantu menaikan satu persatu anak-anak ke atas. Setelah sampai di atas, anak-anak langsung digiring keluar gedung itu. Sudah tujuh orang anak yang di bawa keluar gedung, Kini anak ke 8 yang berhasil di naikkan dan hendak dibawa keluar oleh Okta, tetapi tiba-tiba saja tanah bergetar dan bergerak hebat.
"gempa susulan!! berlindung" teriak salah satu tentara. Dan Okta memeluk anak laki-laki yang dia pegang dan melindunginya di sudut yang lebih aman. Tetapi naas, beberapa atap runtuh kembali dan masuk kedalam lubang itu dimana masih ada Dhika, kapten, satu orang tentara, ibu guru dan dua orang anak.
Bruk bruk Bruk
"DHIKAAAAA !!!!" teriak Okta saat melihat lubangnya sudah dipenuhi reruntuhan dan tertutup sempurna. Tetapi gempa masih berlanjut, dan ada serpihan bangunan yang runtuh ke arah Okta. Okta melindungi anak laki-laki itu dengan tubuhnya membuat serpihan itu mengenai kepala bagian belakang Okta membuatnya terjatuh dan pingsan. Darah segar keluar dari belakang kepalanya.
"paman !! paman bangun,, hikzz" anak itu terus menepuk pipi Okta yang pingsan. Gempa sudah berhenti dan membuat semua pintu keluar dari gedung itu tertutup rapat.
Bukan hanya disana. gempa susulan juga sampai ke pengungsian, tetapi tidak separah di TKP. Di pengungsian hanya beberapa barang berjatuhan dan ada tenda yang ambruk.
Semuanya heboh dan menyebut asma allah SWT. Para dokter yang berada di dalam klinik ada yang berlari keluar ada yang bertahan mencoba melindungi pasien mereka. Termasuk Thalita dan beberapa dokter dari AMI Hospital. "gempanya sudah selesai" ujar Reza saat tengah mencoba melindungi pasien kritis yang tidak sadarkan diri.
"sepertinya sudah berhenti" ujar Thalita
"untunglah tidak sampai parah" ujar suster Meliana dan kembali membereskan beberapa barang yang sempat berjatuhan ke lantai. Thalita hendak memungut botol obat yang jatuh tetapi sesaat dadanya sakit.
"ahh,,, kenapa ini" ringis Lita memegang dadanya sendiri. Saat kembali berdiri, Lita melihat bayangan Dhika dihadapannya. "Dhika?" gumam Lita dan langsung melotot sempurna mengingat Dhika masih berada di TKP. Thalita berlari sekuat tenaga dengan kaki yang pincang ke arah tenda pusat. Chacha yang melihat Lita, segera mengejar Lita karena kaget.
"pak,,," ujar Lita saat sampai di tenda tentara membuat ke lima orang tentara yang ada disana menengok ke arah Thalita dengan ekspresi murung membuat Lita semakin bertanya-tanya. Chacha datang bersama Claudya yang juga mengikuti.
"apa yang terjadi pak? Apa yang terjadi di TKP?" Tanya Thalita tak sabar, matanya sudah merah menahan tangisnya.
"sekolah yang sedang di evaluasi mereka kembali ambruk dan di dalamnya masih ada tiga orang rekan tentara kami, kapten, pak Oktavio" ujar salah seorang tentara membuat Chacha menutup mulut dengan tangannya tak percaya. "dan dokter Dhika"
Deg
Thalita mundur satu langkah, dengan tatapan kosong ke depan. "Crocodile jawab,, Crocodile jelek jawab gue" Chacha menghubungi Okta menggunakan alat komunikasi militer. "jawab gue idiot !!" bentak Chacha sambil menangis tetapi hanya suara berisik tak jelas.
"Dokter Dhika, jawab aku dokter" ujar Claudya membuat Lita mematung mendengarnya. Jantungnya berdetak kencang dan berharap Dhika menjawabnya. Tetapi hasilnya sama, membuatnya memejamkan matanya seraya mencengkram kuat alat komunikasi di tangannya. Air matanya luruh membasahi pipi. 'kenapa?' batin Lita.
"kenapa loe idiot sih crocodile" isak Chacha terduduk di tanah dengan tangisnya.
"Dr. Dhika." gumam Claudya yang masih menatap kosong kedepan. 'jangan lakukan ini tuhan, kumohon !! bukan ini yang aku mau, bukan ini yang aku harapkan, Kalau kau tetap mengambilnya saat ini, untuk apa aku bertahan selama 10 tahun untuknya bersama iblis itu' batin Lita dan beranjak pergi meninggalkan semuanya.
Thalita mencoba menyibukkan dirinya dengan terus memeriksa dokter tanpa ingin memikirkan keresahan dan kekhawatiran di hatinya. Lita yakin kalau Dhika akan baik-baik saja, Lita yakin Dhika baik-baik saja disana.
'aku yakin Dhika akan baik-baik saja. Tuhan tidak bisa memanggilnya dalam situasi saat ini, aku hanya mengharapkan dia bahagia. Bukan seperti ini' batin Lita. Thalita menghentikan pekerjaannya dan berjalan keluar klinik dengan tatapan kosong. Tangannya menyentuh dinding klinik.'ku mohon jangan lakukan itu, kalaupun kami tidak bisa bersama lagi. Tapi jangan biarkan dengan cara seperti ini, aku mohon' batin Lita. "tenang Lita. kamu harus berpikir positive dan tenang. Dhika pasti baik-baik saja disana. Yah, dia pasti baik-baik saja" gumam Lita memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk menghilangkan pikiran negative di kepalanya.
Berbeda dengan Chacha yang terus menangisi Okta di dalam tenda. "crocodile bodoh, kenapa pergi. Bahkan gue belum memberikan jawaban kedekatan kita,,hikzzz" isak Chacha. "bukankah, seorang reptil tidak pernah mati. Kenapa loe kayak gini? Kenapa loe lakuin ini sama gue,, hikzzz" tissue sudah bertebaran di mana-mana. "kenapa loe buat gue sakit hati? Kenapa loe lakuin ini, sih...hikzzz" isak chacha
Thalita sibuk memeriksa pasien yang ada disana, tanpa mau memikirkan Dhika. Hatinya yakin kalau Dhika akan kembali dalam keadaan baik-baik saja. Dia sangat yakin, dan Lita merasa tidak perlu untuk menangisinya karena Dhika akan segera kembali kesini. Thalita berjalan menuju tenda dapur untuk membuat kopi dan ternyata disana sudah ada Chacha tengah duduk sambil memegang segelas mug berisi kopi dengan pandangan kosong kedepan. "cha" panggil Lita menyentuh tangan Chacha seraya duduk dihadapan Chacha.
"ah ya, kenapa Tha?" Tanya Chacha menghapus air matanya sendiri yang entah sejak kapan sudah luruh.
"apa loe mencintai Okta?" Tanya Lita
"gue..." Chacha terdiam sesaat. "Ntahlah" tambah Chacha tersenyum masam
"jujur saja, loe terlihat sangat terpukul" ujar Lita
"entah ini cinta atau bukan, gue terlalu takut untuk secepat ini menyimpulkan ini cinta. Tapi yang jelas, gue sangat mengkhawatirkannya. Gue tidak ingin kehilangan dia" ujar Chacha berkaca-kaca.
"gue yakin mereka akan baik-baik saja" ujar Lita tersenyum seraya menyentuh tangan Chacha.
"gue berharap seperti itu, tapi mendengar informasi tadi kalau mereka terkurung di dalam gedung sekola, membuat gue tidak bisa berpikir positive. Ini sudah dua hari mereka menghilang" ujar Chacha.
"iya loe memang benar, tapi gue yakin. Dhika tidak akan meninggalkan gue dengan cara seperti ini" gumam Lita menyeduh kopi yang sudah dia buat. Chacha menatap ke arah Thalita, dengan tatapan yang sulit diartikan.
Keduanya terpekik saat mendengar suara deru mobil yang terdengar. Keduanya saling pandang dan berlalu keluar tenda. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, dua buah mobil militer datang yang dari TKP. Beberapa orang berpakaian hijau loreng itu turun dengan membawa beberapa orang yang terluka dengan menggunakan tandu. Banyak anak-anak yang turun dari mobil itu juga, semua dokter menyambut dan melihat ke arah mereka. Thalita terus melihat ke arah mereka yang baru saja datang. Tak lama, turunlah 2 orang laki-laki yang tidak memakai pakaian loreng. Semua dokter dan suster yang melihatnya terlihat sangat bahagia dan bersyukur. Sosok itu semakin dekat dan Thalita bisa melihat siapa orang itu. Seketika tubuh Thalita mematung dan tersenyum kecil melihat siapa yang datang.
"dokter Dhika? dokter Dhika, kamu baik-baik saja" Tanya beberapa dokter dan juga Claudya yang sudah berada di hadapan Dhika. Tetapi pandangan Dhika tertuju ke arah Thalita yang berada di belakang mereka cukup jauh dari yang lain. Thalita hanya berdiri di dekat tenda.
"iya, alhamdullilah saya baik-baik saja" jawab Dhika dengan pandangannya masih tertuju ke arah Thalita.
"crocodile !!!" Chacha datang menghampiri Okta yang terlihat memakai perban di bagian kepalanya. Chacha langsung memeluk Okta. "dasar crocodile jelek, bau, nyebelin !! kenapa membuat gue takut" Chacha menangis meraung-raung sambil memukul punggung Okta membuat Okta yang awalnya bingung jadi terkekeh senang.
"astaga nela, sebegitu khawatirnya loe sama gue" ujar Okta santai dan membalas pelukan Chacha.
"dasar idiot, bagaimana aku tidak khawatir, hah? Dasar bodoh" isak Chacha membuat Okta memeluk Chacha dengan sangat erat.
"jangan bicara apapun lagi, ayo beristirahatlah" Chacha melepas pelukannya dan menarik tangan Okta membawanya menuju tenda. Dan Dhika hanya tersenyum kecil melihat Okta dan Chacha. Dhika kembali melihat ke arah Thalita yang masih berdiri di tempatnya tanpa ingin beranjak. Dhika berlalu pergi dari sana tanpa menatap lagi ke arah Thalita. 'kau bodoh kalau kau berpikir Thalita akan begitu mengkhawatirkanmu, Dhika. Lihatlah dia bahkan tak ada keinginan untuk mendekatimu' batin Dhika.
Dhika duduk di dekat meja pengobatan dan melepas kemeja hitamnya. Dhika menyiramkan cairan infuse ke bagian pundaknya dan lengannya yang terluka dan berdarah. Saat hendak memberikan alcohol pada lukanya, tiba-tiba sepasang tangan lembut lebih dulu membersihkan lukanya membuat Dhika menengok dan mendapatkan Thalita di belakangnya tengah mengobati lukanya. "jahitannya terbuka, harus di jahit lagi" ujar Thalita membasuh luka di punggung dan pundak Dhika dengan antibiotic dan alkohol membuat Dhika meringis kesakitan. Karena luka di punggung Dhika saat ini sangat parah. Bukan hanya di pundak, tetapi juga di lengan kirinya terdapat luka. Bukan hanya lebam-lebam, tetapi juga luka gores dan luka kecil di punggung Dhika juga lengannya. "kenapa selalu seperti ini?" Tanya Lita setelah lama terdiam.
"kamu selalu membuat orang lain khawatir" tambah Lita sambil menjahit luka Dhika.
"maaf kalau sudah membuatmu khawatir" ujar Dhika
"bukan aku, tapi yang lain" ujar Lita datar.
"aku hanya berusaha melindungi anak-anak itu" ujar Dhika tanpa menghiraukan ucapan Lita yang terakhir.
"Ssstt" ringis Dhika saat merasakan sakit di punggungnya.
"jangan pernah lakukan ini lagi, aku tidak menyukainya" ujar Lita datar dengan masih sibuk menjahit luka di punggung Dhika.
"sudah selesai, jangan dulu terkena air" ujar Lita seraya membereskan kembali alat-alat medis dan beranjak tetapi Dhika menahan pergelangan tangan Thalita membuat Thalita menengok ke arah Dhika.
"aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kamu mengatakan kalau kamu sudah tak mencintaiku lagi. Tetapi melihat sikapmu yang seperti ini, membuatku dilemma, apa sebenarnya memang kamu masih mencintaiku, Lita?" Tanya Dhika.
"Berhentilah mengatakan yang tidak-tidak, aku hanya ingin membantumu" ujar Thalita sinis.
"kalau begitu, berhentilah mengkhawatirkanku" ujar Dhika beranjak meninggalkan Thalita sendiri yang masih mematung. Entah kenapa hatinya sakit mendengar ucapan Dhika barusan. Thalita merasa kembali di tolak.
Di tenda dokter, Chacha tengah menggantikan perban di kepala okta. "apa loe sangat ketakutan saat tau gue menghilang?" Tanya Okta menatap wajah Chacha yang sangat dekat. "diamlah, gue sedang mengobati luka loe" ujar Chacha cuek
"apa setakut itu?" Tanya Okta lembut memegang tangan Chacha, membuat Chacha mengalihkan pandangannya dari luka di kepala Okta ke manik mata milik Okta. "apa setakut itu, nela?" Tanya Okta menatap mata Chacha dengan teduh dan penasaran.
"ya, gue sangat takut" ujar Chacha lirih lebih ke berbisik
"tetapi kenapa? Kenapa begitu?" Tanya Okta lagi
"gue tidak tau" ujar Chacha mengalihkan pandangannya ke arah lain. "sudahlah, diam saja. Biar gue selesaikan dulu mengobatinya" ujar Chacha kembali fokus mengobati luka di kepala Okta tetapi Okta memegang kedua tangan Chacha agar menghentikan aktivitasnya dan menariknya turun dari kepala Okta. Setelah diturunkan, dilepaskannya kedua tangan Chacha dan dengan satu hentakan, Okta menarik kepala Chacha membuat bibir mereka beradu. Kali ini Chacha memejamkan matanya, bahkan membalas ciuman Okta.
Keesokan harinya, Dhika tengah merenggangkan seluruh tubuhnya yang terasa kaku. Tak jauh darinya terlihat Thalita tengah membawa beberapa dus obat dengan kakinya yang masih terlihat pincang. Dhika menghampiri Lita dan hendak membantu membawakannya. "tidak perlu, tanganmu masih sakit" ujar Thalita saat melihat Dhika hendak mengambil alih dus yang dia bawa.
"tidak apa-apa, aku sudah agak baikan" ujar Dhika ngotot ingin mengambil alih dus itu tetapi Thalita masih keukeuh menahannya.
"Kapan sih kamu mau memikirkan dirimu sendiri !!" ujar Thalita kesal
"aku sudah merasa baikan Lita" ujar Dhika dengan lembut.
"diamlah dan beristirahatlah. Mengurus diri sendiri saja tidak bisa" ujar Lita ketus dan beranjak meninggalkan Dhika.
"bukankah kamu juga tidak pernah memikirkan dirimu sendiri" ucapan Dhika mampu membuat Lita menghentikan langkahnya. Dhika langsung mengambil alih dus dari gendongan Lita dan beranjak pergi membawanya ke dalam klinik. Thalita hanya melihat Dhika yang semakin menjauh.
Di sisi lain Chacha dan Okta tengah bercanda sambil berjalan berdampingan dengan wajah segarnya, mereka baru saja dari sungai yang tak jauh dari tempat pengungsian. Mereka masih saja suka cekcok dan saling meledek, tetapi mereka menikmati itu semua. Karena itu bentuk kemesraan mereka berdua. "oh iya nela, tadi pagi dokter Riri bilang kalau selama gue menghilang. Loe sudah jadi seperti mayat hidup yang mengurung diri di tenda dan terus menangis. Apa itu benar?" Tanya Okta tetapi Chacha berhenti berjalan dan menatap lurus ke depan.
'astaga ada anjing' batin Chacha melihat kedepan. Tak jauh di hadapan mereka ada seekor anjing hitam besar milik tentara, yang dibawa untuk melacak keberadaan korban.
"apa sebegitu cemasnya ? apa sebegitu takutnya kehilangan gue?" Tanya Okta tersenyum melirik Chacha yang terlihat pucat menatap ke depan.
'kenapa anjingnya di biarkan lepas begitu?' batin Chacha ketakutan.
"gue sangat bahagia mendengarnya, apa benar yang dikatakan dokter Riri?" Tanya Okta semakin penasaran.
"kenapa anjingnya berjalan ke arah sini" gumam Chacha semakin ketakutan.
"loe bilang apa, nela? Apa itu benar? Apa itu berarti loe sudah mulai jatuh cinta sama gue?" Tanya Okta.
"aaaarrrggghhhhh crocodile dia kesini !!!" Pekik Chacha ketakutan dan langsung loncat ke gendongan Okta, membuat Okta reflek menahan tubuh Chacha yang berada di gendongannya.
"siapa yang kesini????" Tanya Okta bingung
"anjingnya kesini!!" ujar Chacha ketakutan membuat Okta melongo dan benar saja di depan kaki Okta sudah ada anjing yang terlihat tengah mengendus-endus sepatu Okta.
"jadi dari tadi loe nggak dengerin ucapan gue?" Tanya Okta.
"memang tadi loe ngomong apa?" Tanya Chacha dengan polosnya.
"oh sialan, jadi dari tadi gue sudah kayak penyiar radio yang ngomong panjang lebar tanpa loe dengerin?" ujar Okta kesal membuat Chacha memasang wajah bingungnya. "gue turunin juga loe" ujar Okta kesal.
"Jangan!!" teriak Chacha ketakutan. "loe gila yah crocodile, gue takut sama anjing." Pekik Chacha ketakutan dan semakin mempererat kalungan tangannya di leher Okta. Okta menatap wajah Chacha yang tengah ketakutan itu dengan jarak yang sangat dekat, membuat kekesalannya hilang seketika.
"astaga kenapa anjingnya tidak pergi-pergi sih" gumam Chacha melihat ke bawah dimana anjingnya masih berada di depan kaki Okta. Tetapi Okta tidak menghiraukannya, pemandangan wajah Chacha jauh lebih menarik.
"crocodile kenapa anjingnya tidak pergi-pergi?" Tanya Chacha tetapi Okta tak menjawabnya, dan malah mesem-mesem melihat ke arah Chacha.
"CROCODILE!!" teriak Chacha menyadarkan Okta.
"ahhh sialan,, gendang telinga gue pecah" keluh Okta. "heh nenek lampir, berisik banget sih loe !! ganggu saja" ujar Okta kesal
"dari tadi gue panggil, loe malah mesem-mesem gak jelas. Itu cepetan usir anjingnya" ujar Chacha kesal.
"heh dog,, loe pengen nenek lampir ini? Ini ambil saja, dia berisik sekali" ujar Okta seraya hendak menurunkan Chacha tetapi Chacha langsung memeluk leher Okta dengan erat karena ketakutan. "nela loe mau bunuh gue???" pekik Okta kesal. "gue kecekik !!!" tambah Okta membuat Chacha melonggarkan pelukannya.
"gue takut !!" cicit Chacha
"iya tapi jangan segitunya juga, nafsu bener sih loe pengen nemplok sama gue" ujar Okta santai membuat Chacha melotot sempurna.
"dasar crocodile jelek loe, siapa juga yang mau nemplok-nemplok sama loe !! kalau gak ada tuh anjing, gue juga ogah meluk loe" ujar Chacha dengan kesal.
"lah ini buktinya, anjingnya sudah pergi daritadi. Loe nya masih betah nemplok di gue" ujar Okta membuat Chacha melihat ke bawah dan benar saja anjingnya sudah tidak ada. Dan Chacha langsung turun dari gendongan Okta dengan kesal. Chacha berjalan lebih dulu meninggalkan Okta yang mengikutinya dari belakang sambil terkekeh. Saat melewati mobil truk militer, seorang tentara muncul dengan mengangkat beberapa kardus besar sampai menutupi wajahnya dan hampir menabrak Chacha. Spontan Okta menarik Chacha membuat Chacha tertarik ke arah Okta dan punggung Chacha membentur truk itu tetapi tidak terlalu keras. Membuat keduanya berhadapan dan bertatapan dengan nafasnya yang tersenggal-senggal, dada mereka berdua naik turun.
"Crocodile" gumam Chacha.
"apa nela? Apa ada anjing lagi datang?" Tanya Okta karena melihat ekspresi tegang Chacha.
"ini lebih menakutkan dari anjing tadi" ujar Chacha.
"apa?" Tanya Okta berbisik
"ada tangan reptil yang menyentuh area terlarang gue" ujar Chacha membuat Okta mengernyitkan dahinya bingung. "singkirin tangan kotor loe itu, crocodile jelek !!!" pekik Chacha dengan wajah yang merah karena marah dan malu. Dan melirik ke arah tangan kanan Okta yang berada tepat di bagian dada kanannya. Okta mengikuti arah pandang Chacha dan terpekik kaget.
"astaga" secepat kilat Okta menarik tangan kanannya menjauhi dada Chacha dengan tidak enak.
"dasar loe crocodile gila, jelek, mesummmm!!" Pekik Chacha.
"aduh maaf nela, gue kan gak sadar dan gak tau" ujar Okta terkekeh.
"gak sadar? Loe sengaja kan nyari kesempatan dalam kesempitan" tuduh Chacha kesal.
"gue beneran gak sadar nela, lagian gue gak ngerasa megang itu loe. Punya loe kecil banget sih jadi gue gak sadar lagi megang itu loe" ujar Okta dengan santai membuat wajah Chacha semakin memerah karena emosi. Bagaimana bisa Okta berbicara masalah itu dengan santai sekali, pakai meledek pula.
"CROCODILEEEE !!!!" teriak Chacha kesal membuat Okta menutup kedua telinganya. Chacha terlihat melepas sepatu bootsnya.
"loe mau ngapain?" Tanya Okta siap siaga mundur menjauhi Chacha. Chacha mengangkat sepatu boots berhak itu ke udara hendak memukul Okta, tetapi Okta segera berlari menghindar. "sowri nela, gue tidak sengaja, sumpah !! jangan nimpuk lagi dong, itu sepatu loe alasnya lumayan keras lho" ujar Okta sambil terus berlari menghindari Chacha.
"dasar loe buaya mesum, jelek, nyebelin !!!!" pekik Chacha masih mengejar.
"itung-itung kita impas dong nela, tadi kan loe yang tiba-tiba nemplok ke gue dan sekarang gue. Jadi kita impas dong" ujar Okta masih berlari.
"impas pala loe,,, enak di loe semua !!!" ujar chacha semakin kesal. Beberapa tentara, warga yang mengungsi, relawan dan beberapa dokter melihat aneh dan heran ke arah Chacha dan Okta yang saling kejar-kejaran.
"aduh nela kepala gue masih sakit, jangan lagi di timpuk dong. Maaf yah maaf" ujar Okta masih menghindari Chacha.
"nggak !!! nggak bakal gue kasih ampun, loe sudah nginjek harga diri seorang wanita. Pake ngehina punya gue kecil lagi. Dasar buaya gilaaaaaa" teriak Chacha. Okta terus menghindari Chacha hingga tak jauh dari sana Dhika tengah berdiri sambil membaca map hijau yang dia pegang. Okta berlari ke arah Dhika, dan bersembunyi di belakangnya.
"loe ngapain sih?" Tanya Dhika bingung
"diem !! nenek lampir lagi ngamuk, ogah gue di timpuk lagi sama dia" ujar Okta bersembunyi di belakang Dhika.
"astaga,,, kalian berdua selalu saja begini. Dikit dikit akur, dikit dikit berantem. Gak cape apa main kejar-kejaran terus" ujar Dhika heran.
"namanya juga lagi pedekate sama nenek lampir, ya begini deh resikonya kalau dia ngamuk" ujar Okta
"mau sembunyi dimana loe crocodile jelekkk" Chacha sudah berdiri dihadapan Dhika, sambil mencoba memukul Okta yang terus bersembunyi di belakang tubuh Dhika.
"Kalian berdua sudah seperti tom and jerry saja. Lepas ah, ntar malah gue yang kena timpuk lagi. Mana tuh sepatu haknya keras banget lagi" ujar Dhika ngeri melihat sepatu Chacha dan mencoba melepaskan pegangan Okta. Dan tak jauh dari sana, terlihat Thalita baru saja keluar dari tenda kesehatan. Dan Okta berlari ke arah Thalita dan bersembunyi di belakang tubuh Thalita.
"eh ini ada apaan?" Tanya Lita bingung
"tolongin gue Tha, ada nenek lampir yang lagi ngamuk" ujar Okta bersembunyi di belakang Thalita.
"nenek lampir?" Thalita kebingungan dan tak lama Chacha sudah ada di hadapan Lita dengan masih memegang sepatu boots berwarna hitamnya.
"keluar loe crocodile !!!" Amuk Chacha dengan kesal
"astaga Cha, itu sepatu loe bisa buat kepala orang bocor lho" ujar Lita ngeri melihat sepatu yang Chacha pegang.
"iya nih nela, kepala gue masih sakit juga. Katanya loe takut kehilangan gue, kok sekarang malah mau di aniaya sih" keluh Okta.
"gue tidak perduli lagi sekarang,, gue pengen nendang loe ke muara Australia tempat loe berasal" ujar Chacha kesal.
"entar malah kangen gue lagi" goda Okta dengan masih berlindung di belakang tubuh Lita.
"Idih, ogah gue kangen sama crocodile mesum model loe" ujar Chacha kesal
"kalian ini sungguh sangat ke kanak-kanakan,,," Thalita hanya menggelengkan kepalanya. Dan bertepatan dengan itu, Dhika juga menghampiri mereka.
"cukup alligator!! kita masih banyak pekerjaan, ayo pergi" ujar Dhika.
"jangan bawa si gator itu pergi dulu, biar gue cincang dulu dia jadi sop buaya !!" ujar Chacha tajam membuat Okta meringis ngeri.
"astaga, nela loe kejem banget sih. Udah kayak psikopat saja" keluh Okta membuat Lita terkekeh dan Dhika hanya menggelengkan kepalanya.
"kalian benar-benar pasangan aneh" kekeh Lita dan beranjak, tetapi baru saja melangkah. Dengan sengaja Okta mendorong tubuh Lita membuat Lita kehilangan keseimbangannya dan menabrak tubuh Dhika. Membuat keduanya berpelukan, Lita menengadahkan kepalanya menatap Dhika yang sedang menunduk menatap Lita.
Deg deg deg
Detak jantung Dhika maupun Lita sama-sama berdetak kencang. Keduanya bertatapan penuh arti.
"loe pinter crocodile,, mereka kan jadi bisa berdekatan" ujar Chacha tersenyum mendekati Okta dengan masih menatap Dhika dan Lita.
"iya nela, gue pengen lihat mereka nyatu lagi" ujar Okta merangkul pundak Chacha.
"apaan loe rangkul-rangkul gue" Chacha melepas rangkulan Okta kasar. " gue masih belum maafin loe yah, enak saja loe main rangkul-rangkul gue" ujar Chacha mengangkat kembali tangan yang tengah memegang sepatu itu ke udara.
"astaga nela, loe pendendam banget sih. Gue kan gak sengaja" ujar Okta berjalan mundur menjauhi Chacha.
"gak sengaja pala loe, sudah jelas-jelas loe megang itu gue dengan sengaja. Pake ngeledek lagi" ujar Chacha hendak melayangkan sepatu ke arah Okta tetapi Okta langsung berlari menghindari.
"ampun nelaaaa" teriak Okta dan Chacha kembali mengejar. Keributan itu menyadarkan Dhika dan Lita, dengan segera Lita melepas pelukan Dhika dan berdiri tegak. Tanpa berkata apapun, Lita langsung beranjak pergi meninggalkan Dhika. Dhika hanya mampu menatap punggung Lita yang semakin menjauh.
'kenapa kamu seakan maju mundur. Sulit sekali untuk menggapaimu lagi' batin Dhika dan beranjak pergi.
***