Dhika, Thalita, Okta, Chacha dan Khairul berangkat menuju TKP untuk langsung melakukan tindakan di tempat kejadian perkara. Mereka berangkat menggunakan mobil militer, hingga mereka sampai disana.
Semuanya mematung melihat kodisi sekitar. Hampir semua rumah dan beberapa bangunan ambruk, tanah jalananpun membelah, pepohonan tumbang dan sampah dan bau amis berserakan di mana-mana.
Gempa dan Tsunami yang melanda kota Banda Aceh benar-benar menghancurkan segalanya. Mobil berantakan di mana-mana, begitupun juga kendaraan roda dua. Banyak tentara di sana yang tengah melakukan olah TKP. Banyak korban yang di angkat menggunakan tandu, dan ada juga beberapa orang yang hanya luka-luka ringan dikumpulkan di sebuah tenda yang di bangun disekitar sana.
Bahkan Chacha dan Thalita sampai meneteskan air matanya melihat keadaan disini yang sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan. Jeritan dan tangisan juga terdengar disini, karena banyak korban yang meninggal dunia.
"baiklah semuanya, seperti sebelumnya gunakan protocol triase. Beri tanda pada pasien dan periksa dengan baik. Sekali lagi fokus pada pasien yang bisa diselamatkan" perintah Dhika.
"dokter, apa kami perlu persetujuanmu untuk penggunaaan morfin atau Demerol?" Tanya Khairul.
"iya, obat ini terbatas dan tidak bisa digunakan untuk sembarang pasien. Kalian harus menganalisis kondisinya dan memilih alternative lain yang terbaik. Dan gunakan alat komunikasi kalian untuk mempermudah kita berkomunikasi satu sama lain" ujar Dhika.
"baik dok" jawab semuanya serempak
"baiklah, mari kita bergerak" perintah Dhika dan semuanya berlalu menuju para korban.
Dhika mendekati sebuah gedung yang sudah ambruk atapnya, Dhika melihat para tentara dan beberapa relawan tengah mengangkat tumpukan itu. Dhika membantu mereka dan meringis saat melihat tubuh manusia tertimpa reruntuhan, tubuhnya bahkan sudah membiru dan penuh dengan darah karena sudah tiga hari berlalu dari kejadian. Dhika membantu mengangkat pasien dan memasukkannya ke dalam kantung jenazah. Hati Dhika sangat simpati melihat kondisi korban yang di temukannya, bahkan ada yang tubuhnya hancur dan terpisah.
Di tempat lain, Chacha terlihat tengah berjalan mendekati sebuah rumah yang depannya cukup hancur.
Chacha mengintip dari jendela rumah dan terlihat seorang perempuan tergeletak di dalam sana dengan tubuhnya tertimpa lemari. "gimana cara buka pintunya" gumam Chacha mencari sesuatu untuk membuka pintu.
Chacha melihat balok kayu yang tak jauh dari sana, serpihan dari rumah lain yang roboh. Chacha mengambil balok itu dan memukul pintu untuk membukanya tetapi naas, atap rumah di atas kepalanya roboh. Dan hampir saja mengenai kepala Chacha.
"Aaarrrghh !!" Chacha berteriak seraya menutup kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, tetapi seseorang menarik Chacha untuk menjauh dari sana.
Bruk Bruk Bruk
Suara reruntuhan itu terdengar jelas membuat Chacha membuka matanya dan yang pertama Chacha lihat adalah langit biru. Chacha menengok ke arah sampingnya dimana Thalita juga terbaring disana. Chacha bangun dan duduk di atas tanah.
"Lita, loe tidak apa-apa?" Tanya Chacha khawatir dan melihat sebelah kaki Lita tertipa kayu yang lumayan besar. Thalitapun terbangun dan meringis saat mengerakkan kakinya.
"gue tidak apa-apa Cha, loe tidak apa-apa?" Tanya Lita.
"gue tidak apa-apa,, Lita kaki loe" ujar Chacha seraya mencoba menyingkirkan kayu itu yang terasa berat tetapi tak lama ada sepasang tangan lain yang membantu mengangkat kayu itu, Chacha menengok dan mendapatkan Okta ada dihadapannya.
"Lita loe tidak apa-apa kan?" Tanya Okta
"gue baik-baik saja" ujar Lita, berusaha berdiri di bantu Okta dan Chachapun ikut berdiri.
"Lita, kenapa loe lakuin ini? Kenapa loe harus nyelametin gue sih? Kan kaki loe jadi cedera" ujar Chacha.
"gue tidak mau sahabat gue terluka, bukankah sebagai sahabat harus saling melindungi" ujar Lita tersenyum dan beranjak meninggalkan Chacha dan Okta yang masih mematung di tempatnya.
"sa-sahabat???" gumam Chacha, tanpa terasa air mata Chacha menetes membasahi pipinya.
Chacha melihat ke arah Lita yang berjalan dengan pincang meninggalkan Chacha dan Okta.
"dia bilang gue sahabatnya. Gue ???" gumam Chacha.
Bayangan saat-saat mereka berempat masih bersama-sama. Kehebohan, kegilaan, keceriaan, tawa, canda saat mereka berempat bersama terbayang di benak Chacha. Membuat Chacha menangis terisak. "dia bilang gue sahabatnya? Dia masih menganggap gue sahabatnya setelah apa yang pernah gue lakuin..hikz" isak Chacha.
Lita, gue tidak mau lagi berteman dengan loe yang suka nusuk dari belakang. Gue tidak suka temenan sama cewek murahan seperti loe.
Dia tidak brengsek Serli. Tetapi Lita yang brengsek karena merebut kekasih sahabatnya sendiri.
Apa masih pantes loe gue sebut sebagai sahabat, hah? Loe sudah nusuk gue dari belakang.
Dengarkan baik-baik Lita, mulai sekarang gue sudah bukan sahabat loe lagi. Gue ogah bersahabat dengan cewek munafik dan suka nusuk dari belakang seperti loe.
Teriakan yang pernah Chacha ucapkan ke Lita terngiang begitu saja di telinga Chacha. "gue sudah menyakitinya, sangat menyakitinya. Gue selalu menuduh dan menghinanya, tetapi apa balasan dia ke gue?" Chacha menangis menatap ke arah Okta. "dia mengorbankan keselamatannya demi gue, dan dia bilang 'dia tidak mau sahabatnya terluka, bukankah sebagai sahabat harus saling melindungi'. Dia berkata seperti itu dan menyelamatkan sahabat seperti gue" gumam Chacha semakin terisak.
"crocodile, gue benar-benar seorang sahabat yang sangat jahat. Hikzzz,,," isak Chacha membuat Okta menarik Chacha kepelukannya. "dia masih menganggap gue sahabatnya, kenapa dia baik sekali? Kenapa dia mengorbankan keselamatannya demi gue, kenapa??? Hikzzz" isak Chacha
"terkadang kita tidak sadar, seberapa tulusnya kasih sayang dari seorang sahabat. Dan sekarang loe beruntung nela, harusnya loe bersyukur karena loe sudah mendapatkan seorang sahabat yang tulus menyayangi loe" ujar Okta.
"tapi kenapa gue? Gue sudah menyakiti dan melukai hatinya,, hikzz" Chacha semakin terisak dipelukan Okta.
***
Di tempat lain, Thalita memasuki sebuah gedung yang terlihat sudah agak hancur atapnya. Thalita masuk ke dalam gedung itu mengikuti beberapa tentara dengan kakinya yang pincang. Di dalam sana sudah ada Dhika yang terlihat tengah berbicara dengan seorang tentara.
Disekitar sana ada seorang korban yang terlihat kakinya tertimpa reruntuhan, Lukanya cukup parah. Thalita berdiri tak jauh dari sana, melihat korban itu. Thalita tidak kuat untuk berjalan melewati batu yang bertumpukan itu dengan kondisi kakinya yang sakit. Dhika melihat ke arah Thalita sambil menjelaskan sesuatu ke tentara yang diketahui seorang kapten itu. Dhika menatap ke atas bangunan tepat di atas Lita, terlihat debu keluar darisana. Sebuah tiang dari besi terlihat mau jatuh. Sekuat tenaga Dhika berlari mencapai Thalita membuat kapten ikut kaget.
Thalita masih fokus melihat korban yang tengah di evaluasi sampai tidak sadar dirinya sedang terancam bahaya. Tiang besi itu jatuh bertepatan dengan Dhika yang memeluk Thalita hingga keduanya terjatuh ke tanah.
Bruk Bruk Bruk
Tiang itu tepat mengenai punggung Dhika, sekuat tenaga Dhika menahan rasa sakitnya. Dan Lita melihat wajah dhika dengan kaget. Atappun roboh dan beberapa mengenai punggung Dhika. Kapten dan beberapa tentara yang ada disana, segera menghampiri mereka berdua. "kalian baik-baik saja" ujar kapten mengangkat tiang yang menindih Dhika.
"iya" jawab Dhika segera beranjak dari atas tubuh Lita di bantu yang lainnya dan membantu Thalita berdiri.
"kamu baik-baik saja?" Tanya Dhika membuat Thalita mengangguk. "kalau bisa jangan dulu masuk kesini, di sini masih berbahaya. Lebih baik periksa pasien yang di tenda" ujar Dhika, tetapi Thalita hanya terdiam menatap Dhika dan melihat tumpukan besi dan beberapa benda keras lainnya yang baru saja menimpa Dhika. "mari kita periksa lagi" tambah Dhika kepada kapten. Dhika berjalan bersama kapten menuju pasien yang tertimpa atap itu. Thalita melihat darah segar menetes ke tanah dari tangan Dhika, berasal dari punggung Dhika tetapi Dhika terlihat biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Darah itu terus mengalir dan tercecer ke tanah.
Saat Dhika sudah menjauh dari Lita, Thalitapun berbalik dan berjalan keluar gedung itu. Dhika menengok melihat ke arah Thalita yang berjalan pincang keluar gedung.
***
Petangpun menjelang, dan mereka masih berada di sekitar TKP belum kembali ke tempat pengungsian. Thalita duduk di salah satu kursi yang berada tak jauh dari tenda tentara. Pandangannya menatap kosong kedepan, hingga sesuatu menempel dipunggungnya membuat Thalita menengok dan ternyata Dhika tengah memakaikan jaket miliknya ditubuh Thalita. "disini lebih dingin daripada di tempat pengungsian" ujar Dhika duduk di samping Thalita sambil membawa mangkuk berukuran sedang dan juga handuk kecil. Thalita masih terdiam menatap Dhika. Dhika menarik sebelah kaki Thalita yang terluka dan membuka sepatunya dengan sangat hati-hati.
"kamu mau apa?" Tanya Thalita kaget
"kalau tidak segera di obati, nanti cederanya semakin parah" ujar Dhika membuka kaos kaki Thalita dan terlihat kaki putih Thalita yang memar dan bengkak cukup besar. "astaga sampai bengkak begini. Ini kenapa bisa jadi seperti ini?" Tanya Dhika khawatir seraya mengangkat kaki Thalita ke pangkuannya membuat Thalita meringis kesakitan.
"tadi tertimpa reruntuhan" jawab Thalita.
"kenapa tidak hati-hati sih" ujar Dhika terlihat sangat khawatir dan mengompres kaki Thalita dengan handuk hangat.
"Ssstt,, pelan-pelan" ringis Thalita
"iya" Dhika mengompres kaki Thalita dengan sangat hati-hati dan penuh kelembutan.
Thalita terus menatap wajah Dhika yang terlihat fokus mengompres kaki Thalita dengan telaten. 'kenapa kamu terus memperdulikanku? Aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Ku mohon tuhan, jangan buat semuanya menjadi rumit' batin Thalita menatap Dhika. Dhika mengoleskan minyak dari dalam botol ke kaki Thalita.
"ini untuk membantu memulihkan bengkaknya, aku selalu membawanya kemana-mana" ujar Dhika dan Thalita masih saja terdiam dan menatap Dhika.
"Baiklah sudah selesai, kamu istirahat disini yah. Aku akan membuatkan makanan untuk kamu" ujar Dhika menurunkan kaki Thalita dengan sangat pelan dan beranjak, tetapi Thalita menahan tangan Dhika membuat Dhika menengok ke arah pegangan tangan Thalita.
"ada apa?" Tanya Dhika
"duduklah" perintah Thalita dan Dhika kembali duduk. Thalita membuka kancing kemeja Dhika dan melepaskan kemeja itu dari tubuh Dhika, membuat Dhika kebingungan.
"kenapa?" Tanya Dhika bingung
"buka kaos kamu, kamu pikir aku tidak tau kalau kamu juga terluka" ujar Thalita membuat Dhika mengangkat kaosnya, tetapi seketika tangan kirinya terasa sangat sakit.
"oh sial, kenapa sakit sekali" gumam Dhika menghentikan aktivitasnya. Dan tanpa disangka-sangka Thalita merobek kaos Dhika.
"kenapa dirobek? Aku tidak membawa baju lagi" protes Dhika.
"baju kamu penuh darah, apa kamu tidak sadar, hah?" Ujar Thalita dengan mata yang berkaca-kaca membuat Dhika terdiam menatap mata Thalita dengan lekat. Kini Dhika sudah bertelanjang dada, memperlihatkan otot-otot kekar dalam tubuhnya. "kenapa selalu membuatku cemas? Kenapa selalu berbuat ceroboh?" Ujar Thalita dengan air mata yang luruh.
"Lita-" Dhika kaget melihat reaksi Thalita.
"diamlah, luka kamu cukup dalam. Aku harus menjahitnya dan punggung kamu terlihat lebam-lebam" ujar Thalita mengambil alat medis dari tas kesehatannya dan membalur luka dipundak sebelah kiri dhika yang cukup panjang dan dalam.
Thalita menjahit luka Dhika dengan tangisannya, entah kenapa hatinya merasa sangat sakit melihat Dhikanya terluka. Thalita sudah tak sanggup lagi menaha perasaannya dan pertahanannya kini sudah mulai goyah. Sedangkan Dhika terdiam, Dhika memikirkan reaksi Thalita. Dhika yakin kalau Thalita masih sangat mencintainya, kenyataannya Thalita begitu mengkhawatirkannya.
Tak jauh darisana Okta memperhatikan mereka berdua dengan ekspresi yang tidak bisa di artikan.
"sudah selesai" ujar Thalita menggunting benang dan menutup luka Dhika dengan plester putih.
Setelahnya Thalita mengompres lebam lebam di punggung kekar Dhika. "mana minyak yang barusan" ujar Thalita membuat Dhika menyerahkannya dan dengan lembut Thalita membalur punggung Dhika dengan minyak herbal itu. Setelahnya Thalita merapihkan kembali peralatan medisnya ke dalam tas sambil menghapus air matanya.
Dhika berbalik menghadap Thalita dan menatap Thalita yang menunduk membereskan peralatan medis ke dalam tasnya.
"Dimana kak Natasya? Kenapa kalian bercerai?" Tanya Thalita menengadahkan kepalanya dan tatapan mereka kembali beradu.
"aku tidak pernah menikah dengan Natasya" ujar Dhika membuat Thalita mematung bingung.
Dhika meraih kemejanya kembali dan memakainya. "Bagaimana bisa aku menikah dengan wanita lain, sedangkan wanita yang aku cintai cuma kamu" ujar Dhika dan beranjak pergi meninggalkan Thalita yang mematung dengan ekspresi syok.
"jadi mereka belum pernah menikah? jadi selama ini mereka tidak pernah menikah? Lalu apa maksudnya dulu dia mengatakan cinta untuk kak Natasya??" Thalita terdiam.
Aku tidak perduli sama mereka, yang aku perdulikan hanya tawa dan senyumanmu, Lita
Mungkin itu salah satunya, tapi yang pasti karena aku mencintai kamu, karena aku sangat menyayangimu lebih dari apapun. Dan tujuanku hanya untuk membahagiakan kamu, karena melihat kamu bahagia, akupun ikut bahagia.
Kamu tau, kamu selalu ada di setiap detak jantungku, dan nama kamu selalu hadir disetiap hembusan nafasku.
Ya, itu benar. Aku tidak sedang merayu ataupun berbohong. Bahkan hati kecilku selalu berkata kamu adalah tujuan hidupku, dan memintaku untuk tidak ragu ataupun takut untuk mempercayai dan yakin sama kamu.
Aku selalu merasakan kedamaian setiap bersamamu, bayangan kamu selalu ada dibenakku bahkan setiap hari. Aku tau ini sangat berlebihan tapi aku hanya mengatakan yang sejujurnya. Karena setiap jauh darimu, perasaan ini sangat menyiksaku setiap detiknya.
Maafkan aku karena aku tidak bisa menahan perasaan ini. Aku memiliki satu impian, Aku ingin selalu bersamamu hingga kita tua dan hanya maut yang akan memisahkan kita.
Aku mencintaimu Lita, sangat.
Lita, aku tidak ingin melihatmu menderita seperti dulu lagi. Aku ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja.
Aku tidak mau tidak berguna dan tidak tau apa-apa lagi seperti dulu. Walau kita sekarang tidak mempunyai status apa-apa, tapi ijinkan aku untuk selalu menjagamu dan memastikan kamu baik-baik saja.
Itulah yang aku rasakan saat berada didekatmu, Lita
bagaimana bisa aku menikah dengan wanita lain, sedangkan wanita yang aku cintai cuma kamu
Semua ucapan Dhika terngiang di telinga Thalita begitu saja, membuat Thalita menutup telinganya sendiri sambil menangis terisak. "bagaimana bisa dia mencintaiku sebesar ini? Apa yang harus aku lakukan? Kalau sampai Aku kembali bersama Dhika, nyawanya akan terancam ya allah. Tolong bantu hamba" gumam Thalita dalam isakannya. Okta melihat Thalita dari kejauhan.
"kenapa reaksi Thalita seperti itu? Apa dia juga masih sangat mencintai Dhika?" gumam Okta.
***
Pagi-pagi sekali, Thalita tengah memeriksa kondisi pasien, dengan kakinya yang di gif. Semalaman Thalita sama sekali tidak bisa beristirahat. Dia menghabiskan waktunya sendirian di belakang tenda. Batinnya seakan tengah berperang untuk mengambil keputusan yang tepat.
Selesai memeriksa, Thalita keluar tenda dan berpapasan dengan Chacha yang terlihat tengah menunggunya. "lita, gue ingin bicara" ujar Chacha
"bicaralah" ujar Thalita dengan santai
"ikut gue" Chacha mengajak Thalita ke belakang tenda. Mereka berdua sudah berhadapan di belakang tenda.
Thalita terlihat menunggu Chacha untuk berbicara. Tetapi tiba-tiba saja Chacha bersujud di hadapan kaki Thalita, membuat lita mundur satu langkah karena kaget. "Lita gue minta maaf" isak Chacha semakin membuat Thalita kebingungan.
"cha, loe ngapain sih?" ujar Thalita mencondongkan badannya merengkuh lengan Chacha untuk menariknya berdiri. "minta maaf untuk apa? Cha bangun, gue tidak bisa jongkok. Kaki gue sakit Cha" ujar Thalita dan akhirnya Chachapun berdiri dan langsung memeluk Lita.
"maafin gue,, hikzzz" isak Chacha
"loe kenapa, cha?" Tanya Thalita bingung.
"kenapa loe masih menganggap gue sebagai sahabat loe dengan apa yang sudah gue lakukan sama loe. Bahkan gue yang memutuskan persahabatan kita, gue yang nyakitin loe, hikzzz" isak Chacha, Thalita melepas pelukannya dan memegang kedua pundak Chacha.
"denger, ingetkan kesepakatan kita dulu. Sampai sekarang gue masih mengingatnya dan gue tidak mungkin mematahkan silaturahmi kita yang sudah kita jaga selama kita duduk di bangku smp" ujar Thalita dengan senyumannya.
"seperti yang sudah sering gue bilang, gue sayang kalian. Gue sayang sahabat-sahabat gue dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun juga" jelas Thalita membuat Chacha semakin menangis.
"benar kata Serli, loe benar-benar malaikat Tha. Loe mempunyai hati yang sangat baik" ujar Chacha
"gue tidak sebaik itu Cha, gue bahkan tidak bisa melakukan apapun. Mungkin gue akan di anggap jahat oleh seseorang" ujar Thalita merenung.
"baiklah, kita buka lembaran baru lagi" ujar Chacha menghapus air matanya membuat Thalita mengangguk senang.
"aku Clarisa Abshari Pratista, mau bersahabat denganku?" Chacha mengulurkan tangan kanannya dan langsung disambut oleh Thalita.
"aku Thalita putri, aku mau bersahabat denganmu" ujar Thalita tersenyum
"sahabat selamanya" ujar Chacha.
"ya sahabat selamanya" balas Thalita tersenyum. Dari kejauhan Dhika dan Okta memperhatikan mereka berdua dengan senyuman yang terukir dibibir mereka.
"gue seneng, satu persatu kebahagiaan Thalita berdatangan dan membuatnya kembali bahagia" gumam Dhika.
"iya loe bener" jawab Okta.
"gue akan mengembalikan semua kebahagiaan Thalita" ujar Dhika dengan yakin.
Setelah mengobrol dengan Chacha, Thalita berjalan dengan Pincang ke arah ruangan khusus penyimpanan obat-obatan. Langkah Thalita terhenti saat lengan seseorang menghalangi langkahnya, Thalita menengok ke arah pemilik tangan yang menghalangi dirinya. Dhika berdiri tepat di samping Thalita.
Thalita mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan masih memasang ekspresi dinginnya. "bisa kau singkirkan tanganmu? Aku ingin mengambil obat" ujar Lita datar. Dhika menarik kedua pundak Lita hingga berhadapan dengannya, Dhika juga menyudutkan Thalita ke dinding di belakang Thalita.
"aku tidak tau apa yang kamu rasakan, kamu selalu saja membuatku bingung dan tidak bisa memahamimu. Kamu bilang kamu membenciku dan tidak menyukaiku, tapi apa maksud kamu semalam menangis karena mengkhawatirkanku? Lita, apa maksud kamu dengan semua ini? kalau kamu masih mencintaiku, kenapa kita tidak bisa bersama seperti dulu?" Tanya Dhika.
"Aku tidak mencintaimu" ujar Thalita dingin dan hendak beranjak, tetapi Dhika kembali menarik tubuh Thalita dan kali ini menguncinya dengan tubuh Dhika supaya Thalita tak mampu bergerak lagi.
"kamu mengatakan tidak mencintaiku, tetapi tidak dengan tatapanmu, Lita. kamu bahkan bisa menerima Chacha kembali, tetapi kenapa tidak dengan aku?" Tanya Dhika menghentakkan tubuh Lita.
Thalita terus memalingkan pandangannya supaya tak bertemu pandang dengan mata coklat Dhika.
"tatap aku" Dhika menangkup wajah Thalita dan jarak di antara keduanya sangatlah dekat. "Lita, aku sangat mencintaimu. Bahkan melebihi rasa cinta pada diriku sendiri, selama ini aku selalu menunggumu. Aku selalu berharap kamu akan kembali padaku" ujar Dhika berkaca-kaca. "hanya kamu Lita, hanya kamu yang selalu aku cintai bukan yang lain" tambah Dhika bersungguh-sungguh.
Thalita tersenyum sinis dan melepas kedua tangan Dhika yang menangkup wajah Lita.
"kamu pikir aku akan percaya dengan semua ucapan kamu, Dhika? Aku tidak butuh cinta darimu lagi, kamu yang mencampakkanku dan sekarang dengan mudahnya kamu memintaku kembali. Jangan bermimpi Dhika, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah kembali padamu," Thalita mendorong tubuh Dhika hingga mundur selangkah ke belakang. "Dan jangan pernah ucapkan lagi kata cinta, karena kata cinta itu pernah kau katakan untuk wanita lain" ujar Lita sinis dan berlalu.
"Kamu boleh membohongi dirimu sendiri, tetapi tidak dengan aku, Lita. Aku tau kamu masih sangat mencintaiku, aku bisa melihatnya di matamu. Dan sampai kapanpun aku akan tetap akan berusaha mendapatkan kamu kembali" ujar Dhika membuat Thalita menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Dhika.
"Lakukanlah sesukamu, Dhika. Karena sampai kapanpun itu tak akan pernah mempengaruhiku. Aku tidak akan pernah kembali padamu. Sampai Kapanpun juga. Ingat itu" ujar Lita penuh penekanan dan berlalu pergi meninggalkan Dhika yang masih mematung sendiri.
Dhika hanya bisa tersenyum kecil, hatinya bergemuruh dan terasa sangat sakit. Dhika menyadari kesalahannya yang begitu patal, tapi bukan berarti itu semua kesalahan Dhika.
Akhirnya Dhikapun beranjak meninggalkan tempat itu. Tanpa sadar kalau Thalita masih berdiri di balik pintu sambil menangis terisak. 'apa benar aku sudah tak mencintainya lagi? lalu kenapa perasaanku sakit sekali rasanya? Apa rasa cinta itu sudah kembali? Atau memang cinta itu tak pernah pergi sedikitpun dari hatiiku?' batin Thalita.
***