"hikz...hikz....hikz....!!!" Thalita menangis terisak sambil mengepalkan kedua tangannya.
"aku bersumpah, tidak akan membiarkan kalian melakukan itu lagi," isak Lita sejadi-jadinya.
Mengingat kejadian yang menimpanya 10 tahun yang lalu, membuat hatinya kembali hancur. Dan pertahanan yang sudah ia bangun, kini kembali mulai goyah.
***
Dhika baru saja keluar dari ruang gantinya, mengganti pakaiannya dengan pakaian operasi. Tak jauh dari tempat Dhika berdiri, Thalita terlihat tengah mencuci tangannya berdampingan dengan dokter Rival. Keduanya terlihat akrab dan dekat, Dhika di buat kesal dan cemburu melihatnya.
"Dokter, pasien sudah siap." ucap seorang dokter yang keluar dari pintu ruang operasi dua.
"Oh baiklah" jawab Rival, "mari dokter Lita." ucap Rival membuat Lita mengangguk dan berjalan mengikuti Rival menuju ruang operasi 2, sedangkan Dhika akan melakukan operasi di ruang operasi 1 yang bersebelahan dengan ruang operasi 2.
"Dokter Lita," panggilannya membuat Rival dan Lita sama-sama menengok ke arah Dhika.
"Saya masuk lebih dulu, Dokter." ucap Rival dan berlalu pergi, meninggalkan Dhika dan Lita. Dhika berjalan mendekati Thalita yang masih berdiri di dekat pintu ruang operasi 2.
"Kenapa kamu ikut ke ruang operasi dokter Rival?" Tanya Dhika heran.
"Oh maaf tadi saya belum sempat memberitahu anda, mulai hari ini saya akan menjadi asisten utama di timnya dokter Rival. Kebetulan asisten utama dokter Rival sedang cedera, jadi saya yang akan menggantikannya sementara," jelas Lita dengan tenang.
"Maksud kamu apa? kamu bahkan belum membicarakannya denganku," ujar Dhika tak terima.
"Ini saya sedang bicara sama anda," ujar Lita santai.
"Dokter Lita jangan bercanda, kenapa mendadak begini? Bukankah tim kita juga ada jadwal operasi yang tak kalah serius," ujar Dhika kesal melihat respon Lita yang terlihat bermain-main.
"Apa saya terlihat sedang bercanda dokter Dhika?" Tanya Lita menatap Dhika dengan tajam. "saya juga tau kalau sekarang tim 1 ada jadwal operasi, tapi saya percaya dengan keahlian dokter Dhika. Saya yakin tanpa bantuan asisten utamapun, anda bisa melakukan operasi itu dengan baik dan lancar," tambah Lita.
"Tidak semudah ini Lita, kamu tau kan-" ucapan Dhika terpotong oleh Rival.
"Ah maaf menganggu, saya hanya mau bertanya apa dokter Lita jadi membantu tim kami? Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi," ujar Rival.
"Saya akan kesana dokter Rival, kebetulan pembicaraan ini telah selesai," ujar Lita menatap Dhika dengan tajam dan berlalu pergi.
Dhika menatap Lita dengan kesal, setelah itu iapun mulai melangkahkan kakinya menuju ruang operasi 1.
Di dalam ruang operasi 1, Dhika terlihat tak fokus karena sesekali pandangannya mengarah ke ruang operasi dua yang dindingnya terbuat dari kaca membuat mereka bebas untuk melihat satu sama lain. Thalita dan dokter Rival terlihat kompak mengoperasi pasien membuat Dhika semakin cemburu.
"Dokter, tekanan darahnya menurun." ujar Claudya menyadarkan Dhika.
"Lakukan penyedotan," ujar Dhika dan Khairul melakukannya.
Akhirnya dhika selesai melakukan operasinya dengan lancar, walau tanpa asisten utama. Thalita baru saja keluar dari ruang operasi, dan Dhika langsung menarik tangan Lita dan membawanya meninggalkan ruang operasi.
Keduanya masih memakai pakaian operasi bahkan Lita masih memakai penutup kepalanya karena Dhika tiba-tiba saja menyeretnya.
Dan disinilah mereka sekarang, keduanya saling berhadapan di atap gedung rumah sakit. Angin malam menerpa wajah dan tubuh mereka berdua.
"Kamu ini kenapa sih Tha? Kenapa kamu berlaku seperti ini?" Tanya Dhika kesal.
"Maksud anda apa? saya tidak paham," jawab Lita dengan polosnya.
"Cukup omong kosong ini, Lita !! Kamu pikir dengan kamu bersikap seperti tidak mengenalku, itu akan mengubah masa lalu kita," ujar Dhika kesal.
"Lalu apa mau kamu? kamu ingin aku bersikap manis padamu? Jangan mengkhayal dokter Dhika," ujar Lita dengan sinis. "Aku bukan lagi Thalita 10 tahun yang lalu. Aku bukan gadis yang lemah lagi, yang bisa seenaknya di hina dan di rendahkan oleh oranglain !!!" ujar Lita dengan tatapannya yang tajam mampu menusuk relung hati Dhika. "kali ini aku tidak akan pernah biarkan kalian semua menghinaku dan berbuat semau kalian terhadapku lagi," tambah Lita.
"10 tahun sudah berlalu. Tapi dimataku kamu tetaplah Thalitaku, wanita yang paling aku cintai. Kamu tau, 10 tahun aku disini menunggu kamu dalam kehampaan." Ujar Dhika lirih membalas tatapan tajam Lita dengan tatapan teduh miliknya.
"Cih,,, kamu bilang cinta? Aku tidak percaya lagi dengan kata-kata itu," ujar Lita mengepalkan kedua tangannya kuat, hingga buku-buku tangannya memutih.
"10 tahun aku berusaha mengubur kesakitan dalam hati ini, 10 tahun juga aku sudah mengubur perasaanku padamu. Dan kini hanya kebencian yang tersisa, hanya kebencianku padamu, Dhika !!!"
Deg
Dhika semakin terpaku dan tersudutkan oleh kata-kata Lita yang mampu menusuk hatinya dan menghancurkan harapannya. "kamu pikir aku akan dengan mudahnya memaafkan kamu? setelah apa yang kamu lakukan padaku, Dhika. Bukankah dulu kamu yang mencampakkanku, kamu yang menolak cintaku. Kamu yang memintaku pergi dari hidupmu, kamu ingin kita menjadi seorang kakak dan adik. Dan Kamu pikir aku gak tau, kalau kamu yang membuatku di DO dari kampus. Kamu juga yang membawaku masuk kerumah sakit jiwa. Kamu menghancurkan segalanya, kamu menghancurkan hidupku, masa depanku dan juga hatiku!!!" teriak Lita berapi-api.
"Kamu salah paham Lita, aku tidak melakukan semua itu," ujar Dhika.
"Tidak? Kamu bilang tidak?" Thalita terkekeh sinis "kamu pikir aku bodoh? Aku tau semuanya, dan sekarang kamu bilang ini cinta? Kamu bilang ini cinta? Cinta yang juga kamu katakan untuk kak Natasya. Aku bukan Thalita yang bodoh seperti dulu, Dhika. Aku bukanlah Thalita yang akan memohon meminta cintamu, dan hasilnya kau tetap melepaskanku," ucap Lita mulai merendahkan suaranya. "kamu sama sekali gak paham apa itu cinta, kamu bahkan tidak mempercayaiku saat itu." Ujar Lita menatap Dhika dengan tatapan kebenciannya.
"Kamu gak tau apa itu cinta, Dhika. Kamu orang yang paling egois yang pernah aku temui, kamu laki-laki yang paling brengsek yang pernah aku kenal. Mungkin aku yang bodoh karena pernah mencintaimu," ujar Thalita berapi-api.
"Kamu berhak menghinaku sesuka hatimu, aku tau aku begitu pecundang saat itu. Aku terlalu mudah termakan omongan oranglain, tapi jujur aku hanya mencintaimu," ujar Dhika.
"Kamu menyadarinya sekarang? Tapi sayang sekali sudah terlambat Dhika. Karena sekarang aku begitu membencimu, sangat membencimu. Apalagi saat mengingat prilaku brengsekmu yang hampir menodaiku. Itu membuatmu terlihat sangat menjijikan," ujar Lita tajam.
"Aku akui, aku salah karena hendak menodaimu. Tapi saat itu aku benar-benar tersiksa karena terlalu merindukanmu, otakku sudah buntu untuk membuatmu kembali padaku," gumam Dhika memikirkan kebodohannya itu.
"Kalau begitu kenapa kau mencampakkanku saat aku memintamu kembali bersamaku untuk waktu satu bulan? Kamu bahkan menolakku untuk selalu bersamamu. Kamu malah memintaku menganggapmu sebagai Kakak." Thalita menghela nafasnya menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi relung hatinya yang terasa kosong.
"Dan sekarang, aku minta jangan pernah lagi mengangguku. Disini kita hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih dari itu," ujar Lita dan berlalu pergi meninggalkan Dhika yang masih terpaku.
"Ternyata ujiannya baru saja dimulai," gumam Dhika menatap kosong kehamparan langit gelap di depannya. "aku tidak akan menyerah begitu saja, sesuai dengan ucapanku dulu. Aku akan membuatmu kembali jatuh cinta padaku, bagaimanapun caranya. Kamu hanya akan menjadi milikku ,Lita. Hanya milikku." gumam dhika lagi
'10 tahun tak cukup untuk membuatmu kembali padaku, maka aku akan menghabiskan waktuku untuk mendapatkan cintamu kembali, aku tak perduli akan butuh waktu berapa lama lagi. Aku akan tetap disini menunggumu kembali dan berusaha menggapai cintamu lagi.'
***
Okta baru saja sampai di rumah sakit AMI, dengan kemeja biru yang sudah dilipat hingga siku dan tiga kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka membuat dada bidangnya terekspos sempurna. "Gue merindukan leader dingin gue," gumamnya seraya memakai kacamata hitamnya dan berjalan dengan gagahnya memasuki lobby rumah sakit.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya dibuat terkesima dan melongo memandang Okta.
"Hai manis,, hai cantik," sapa Okta sang aligator seperti biasanya.
Okta berjalan dilorong rumah sakit, tetapi langkahnya terhenti saat melihat sosok wanita berjas dokter tak jauh di hadapannya. Wanita itu terlihat tengah berbicara dengan bagian receptionist. Okta membuka kaca matanya, dan melebarkan pandangannya.
"Dia....!!!!" Okta kembali mengucek kedua matanya tak percaya. "dia beneran Thalita," gumam Okta. "jadi dia benar-benar masih hidup? Dan sekaranng dia telah kembali. Lalu bagiamana dengan Dhika?" Okta mengingat sahabatnya dan bergegas tetapi saat berbalik.
Bugh
Okta dan seseorang yang baru saja ditabraknya, sama-sama terjatuh dan pantatnya membentur lantai. "oh sial, pantat gue." keluh Okta meringis seraya mengusap pantatnya yang sakit.
"Kalau jalan tuh liat-liat dong," seru seseorang yang baru saja berdiri dihadapan Okta sambil mengelus pantatnya juga.
"Loe yang nabrak gue," ujar Okta merengut seraya berdiri.
"Loe.....!!!" ujar seseorang itu saat menatap Okta, membuat Okta menatap seseorang dihadapannya.
"Nela....." ujar Okta.
"Gue Clarissa, Dasar Crocodile." jawab seseorang itu kesal, tepat sekali orang itu ada Clarissa alias Chacha.
"Ya maksud gue Chacha, tapi lebih cocok Nela sih," ujar Okta santai.
"Enak saja loe ganti ganti nama orang," gerutu Chacha.
"Gue gak nyangka lho bisa ketemu Nela titisan penyihir jahat disini," ujar Okta tersenyum manis.
"Nela Nela,,, gue bilang nama gue Clarissa. Loe budeg yah, Crocodile." ucap Chacha kesal.
"Itu kebagusan," ujar Okta polos membuat Chacha melotot sempurna.
"Enak aja loe ganti-ganti nama orang sembarangan, Crocodile jelek !!!!" sewot Chacha.
"Dasar nela, baru ketemu saja sudah emosi gini. Bukannya say hello baru ketemu sama teman kuliah," kekeh Okta dengan wajah santainya. Chacha dibuat semakin merah dan kesal. "udah jangan marah, kamu seram kalau marah," tambah Okta dan berjalan melewati Chacha yang terlihat emosi. Bahkan sambil bersiul riang
"Dasar Crocodile," cibir Chacha dan merapihkan pakaiannya, iapun kembali berjalan.
***
"Assalamu'alaikum bos," Okta menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan Dhika.
"Ngapain loe kesini?" Tanya Dhika dengan ekspresi merengut.
"Jawab salam gue dulu, dong. Kan sayang doa gue jadi mubazir," ujar Okta berjalan mendekati Dhika yang tengah duduk di kursi kebesarannya.
"Iya wa'alaikumsalam," ujar Dhika seraya menghembuskan nafasnya berat.
"Kenapa tuh muka kelihatan mengerikan. Kadar ketampanan loe menurun jadi 30 derajat celcius," ucap Okta yang kini sudah duduk dihadapan Dhika.
"Apa loe udah bertemu dia?" Tanya Dhika, yang dapat dipahami Okta.
"Iya, tapi gue hanya melihatnya dari kejauhan. Sejak kapan dia kembali?" Tanya Okta.
"Sudah sebulan kira-kira dia bekerja disini," ujar Dhika.
"Terus kenapa wajah loe muram gitu. Harusnya kan loe seneng, penantian loe selama 10 tahun ini membuahkan hasil," ujar Okta.
"Justru 10 tahun yang gue alami selama ini, belum apa-apa. Ujiannya baru saja dimulai," ujar Dhika memijit pangkal hidungnya. Okta hanya memperhatikan tingkah Dhika. "sekarang dia membenci gue, bahkan menatap wajah gue saja dia ogah,"
"Seperti yang sudah gue prediksi," gumam Okta menyimpan telunjuk dan jempol di dagunya sambil mangut-mangut. "loe bodoh sih, kenapa dulu loe harus jadi pahlawan tersembunyi. Kalau Lita tau kan, dia tidak akan benci sama loe tapi yang ada makin kelepek-kelepek,"
"Perasaan nama-nama dari superhero gak ada yang namanya pahlawan tersembunyi," keluh Dhika.
"Ya makanya, kalau mau dibilang superhero itu harus terang-terang dong. Lebih bagus kan kalau disebut pahlawan bertopeng, idolanya Shinchan," ujar Okta melantur.
"Ck, loe buat gue jadi ngomong ngelantur. Gue gak perduli itu semua, mau idola siapapun juga," ujar Dhika kesal. "yang gue pikirin sekarang gimana caranya buat Lita jatuh cinta lagi sama gue,"
"Agak sulit sih, gak akan semudah saat loe pdkt-an sama dia dulu. Tapi ya jangan putus asa, pasti ada jalan kok," ujar Okta.
"Gue akan pikirkan cara untuk meluluhkan hatinya lagi," gumam Dhika menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi.
"Eh Dhik, si Nela sekarang kerja disini?" Tanya Okta.
"Nela? Nela mana maksud loe?" Tanya Dhika.
"Itu lho penyihir jahat, si biang rusuh di kampus yang ambil fakultas kedoteran, " ujar Okta.
"Oh maksud loe Clarisa atau biasa dipanggil Chacha?" ujar Dhika.
"Iya dia, si Nela yang cerewet dan serem titisan sang penyihir jahat. Tapi sekarang dia kok jadi cantik banget yah," ujar Okta.
"Ah dasar gator, gak bisa liat cewek bening dikit," keluh Dhika.
"Ck,, gue bukan buaya. Gue itu sang penakluk wanita," ujar Okta dengan bangganya membuat Dhika mencibir.
"Penakluk pala loe. Pergi deh gih, gue lagi galau dan nggak mau di ganggu," ujar Dhika kesal.
"Yaelah, umur udah bangkotan aja so galau-galauan loe. Kayak ABG tua labil," cibir Okta.
"Terserah apa kata loe, mending gue periksa pasien daripada ladenin buaya muara kayak loe, Gator." ujar Dhika beranjak dan memakai jas dokter miliknya dan pergi meninggalkan Okta sendiri.
***
Chacha memasuki sebuah lift, tetapi sempat kaget saat melihat Okta ada di dalam lift sendirian dengan senyuman mautnya. Chacha masih dibuat kesel oleh Okta. Dengan sinis Chacha memalingkan wajahnya dan segera menekan tombol lift.
"Hai Nel," sapa Okta dengan senyuman manisnya. Chacha masih tak bergeming. "Yaelah jutek amat sih" ujar Okta terus menggoda dan mendekati Chacha yang terlihat risih. Chacha terus menatap tombol lift yang terlihat lama sekali sampai. "kan kita lagi reunian, jangan manyun-manyun gitu dong bibirnya. Dicium orang tau rasa lho," ujar Okta membuat Chacha menengok ke arah Okta dengan tatapan membunuh.
"Eh tunggu-tunggu,, itu dimata kamu ada apaan?" Tanya Okta membuat Chacha kebingungan dan mencoba membersihkan setiap sudut matanya takut ada kotoran yang menempel.
"Tunggu !!!" Okta menarik tangan Chacha dan semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Chacha menghapus jarak di antara keduanya. Chacha yang sadar dengan sikap Okta, terus mundur dan mundur hingga punggungnya menabrak dinding lift. Keduanya masih bertatapan penuh arti.
"Apa selama ini tidak pernah ada yang bilang kalau mata kamu itu sangat indah?" ujar Okta sangat lembut membuat Chacha terbuai, nafas mint Okta mampu menerpa wajahnya. "kamu tau siang ini kenapa mendung?" Tanya Okta membuat Chacha mengernyitkan dahinya.
"Karena mataharinya ada di mata kamu,, sangat bersinar dan indah," tangan Okta terangkat menyentuh kedua pipi Chacha membuat keduanya semakin dekat. Chacha yang sadar dengan apa yang tengah terjadi, langsung mendorong dada Okta dengan keras. Okta yang kaget, tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya dan membuatnya terhuyung ke belakang bersama dengan Chacha karena Okta memegang tangan Chacha.
Bugh... duk...
"Aww," Chacha meringis dan mengusap keningnya yang menabrak dada Okta yang terekspos jelas dihadapannya. Chacha terpaku dan bulshing saat menatap dada bidang milik Okta yang terbuka. Posisi mereka sangat intim, Chacha berada tepat di atas tubuh Okta.
Tanpa mereka sadari, pintu lift sudah terbuka dan semua orang yang berada di luar lift menatap kaget dan melongo memandang pemandangan di hadapan mereka semua.
"Khem"
Deheman seseorang menyadarkan Chacha dan Okta, keduanya menengok dan melongo kaget melihat beberapa orang di luar lift. Chacha kembali menatap posisinya dengan Okta dan kembali melotot sempurna. Sadar dengan posisi mereka, Chacha bergegas berdiri dan merapihkan jas dokternya dan rok yang ia pakai. Setelah menstabilkan detak jantungnya, Chacha berjalan keluar lift dengan angkuh tanpa memperdulikan tatapan mengerikan dari beberapa orang. Sedangkan sang aligator yang memang sudah berdiri hanya bisa tersenyum senang bahkan sempat mengedipkan sebelah matanya ke salah satu dokter wanita yang ada di luar lift sebelum pintu lift kembali tertutup.
***