Thalita bergegas keluar dari ruangannya untuk pulang karena kebetulan sudah tidak ada lagi jadwal operasi. Saat Thalita membuka pintu, tepat sekali dengan Dhika yang hendak menuju ruangannya. Membuat mereka berpapasan.
"Sudah tidak ada jadwal lagi?" Tanya Dhika basa basi.
"Iya" jawab Lita dengan singkat dan bergegas meninggalkan Dhika.
Dhika hanya bisa menghela nafasnya dan beranjak melanjutkan langkahnya.
***
Thalita menyetop sebuah taxi, dan segera menaikinya. Didalam taxi, Thalita terlihat melamun sepanjang jalan, pikirannya melayang entah kemana.
"Astaga, kenapa jadi kepikiran itu sih," gumam Lita mengusap wajahnya.
"Anda baik-baik saja, Nona?" Tanya sopir taxi.
"Ah, iya pak saya baik-baik saja," jawab Lita.
Thalita melihat sekeliling melalui kaca mobil. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, Lita tak sadar kalau sopir taxi ini membawanya ke jalan lain yang terlihat sepi.
"Lho pak, kok kesini?" Tanya Lita heran.
"Saya ambil jalan cepet, Mbak" jawab sopir taxi itu.
"Tapi kan jalan utama tidak macet, Pak" ujar Lita, tetapi sopir taxi tak menjawabnya.
Tak lama taxi itu berhenti di jalan yang sangat sepi, bahkan di kanan kirinya hanya kebun kosong yang dipenuhi tanaman liar dan ilalang. Sopir taxi menekan klakson dan tak lama keluarlah tiga orang pria dengan postur tubuh yang berisi.
"Pak, kenapa berhenti? Ada apa ini? Bapak menjebak saya?" pekik Lita mulai resah dan ketakutan.
"Cepat keluar !!!" seorang pria membuka pintu penumpang dan menarik tangan Lita keluar dari dalam taxi.
"Wah, mangsa yang special bro," ujar laki-laki berjaket kepada sopir taxi itu.
"Yoi cuy" jawab sopir taxi .
"Jangan macam-macam kalian !! pergi atau aku akan teriak," ujar Lita membuat keempat laki-laki itu tertawa.
"Teriak saja manis, tak akan ada yang mendengarmu," ujar seorang lelaki yang memakai topi.
"Ayo cepat, bawa dia. Biar gue yang membongkar tasnya," ujar sopir taxi.
"Ayo manis kita bersenang-senang. Dijamin kamu akan ketagihan," kekeh seorang lelaki yang memakai topi.
"Nggak,,, tolong...tolonggggg !!" teriak Lita terus berontak tetapi ketiga lelaki itu terus menarik kedua tangan Lita menuju pelosokan tumbuhan liar. "lepasinnnn !! tolongggg..tolonggg..." teriak Lita terus berontak bahkan air matanya sudah luruh. Ketakutan semakin menyeruak di hatinya.
'Apa yang akan terjadi? Tolong...' batin Lita.
"Lepaskan dia," suara bass dan merdu terdengar di telinga Lita, membuatnya menengok dan melihat Dhika berdiri tak jauh dari mereka.
"Dhi...dhika," gumam Lita kaget bercampur senang.
"Kalian tuli? Gue bilang lepasin dia!!" bentak Dhika.
"Siapa loe? mau jadi pahlawan kesiangan? Gak bakalan gue lepasin, ini mangsa kami," ujar lelaki berbadan besar.
"Mangsa??" pekik Dhika seraya berjalan mendekati mereka dengan mengepalkan kedua tangannya. "loe bilang mangsa?? Wanita baik-baik ini loe bilang mangsa, hah?" bentak Dhika membuat Lita terenyuh mendengarnya.
Bugh... Satu tonjokan mendarat di pipi lelaki berbadan besar.
"Sialan !!! serang diaa...." Bentak lelaki berbadan besar itu sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
Keempat lelaki itu maju melawan Dhika. sedangkan Thalita berdiri tak jauh dari sana. Dhika yang memang seorang master taekwono, tidak kesulitan melawan 4 orang sekaligus.
"Dengar keparat!! dia wanita baik-baik...dia bukan binatang, seenaknya loe bilang dia mangsa," pekik Dhika merajalela memukuli wajah lelaki bertubuh besar itu, walaupun kondisinya sudah terkapar dan babak belur. "tarik lagi omongan loe, kalau gak mau gue potong lidah loe, sialan !!!!" amuk Dhika dengan emosi membuat Lita terenyuh mendengar kata-kata Dhika.
Huft...huft...huft...
Dhika menghentikan pukulannya saat melihat lelaki itu pingsan, bahkan ketiga preman lainnya juga sudah terkapar di tanah dengan penuh darah. Dhika memejamkan matanya mencoba menstabilkan emosinya yang meledak dengan nafas yang tersenggal. Ia lalu berbalik dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Lita yang terlihat masih sinis tetapi sendu. Dhika berjalan mendekati Lita dan melepas jas yang dia pakai. Tanpa berbicara apapun, Dhika memasangkan jas itu ditubuh Lita. "Kamu tidak apa-apa kan?" Tanya Dhika dan Lita hanya menggelengkan kepalanya seraya memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Ayo, biar aku antar kamu pulang." ujar Dhika. Dan tanpa menjawab, Thalita langsung berlalu meninggalkan Dhika lebih dulu dan memasuki mobil milik Dhika. Dhika mengekorinya dari belakang dan mulai menjalankan mobilnya setelah duduk di kursi kemudi.
Di dalam mobil, suasana menjadi sangatlah canggung. Dhika kebingungan harus berbicara apa dengan Thalita yang terlihat enggan dan hanya menatap keluar jendela. Padahal Dhika terus mencuri pandang ke arahnya.
Dhika menyalakan radio, dan tepat sekali lagu Lastchild yang berjudul Tak pernah ternilai berputar mengiringi penjalanan mereka berdua. Mendengar lagu yang mewakili hati Dhika itu, membuatnya semakin tersayat-sayat. 'Apa harus seperti ini akhirnya? Apa hukuman saat aku terkapar selama 10 tahun tanpanya belum cukup? Apa kebodohanku di masa lalu begitu besar? Bukankah aku juga tersakiti?' batin Dhika.
Dhika masih terus melirik ke arah Lita yang terlihat tak bergeming sama sekali, tetap dingin dan menatap keluar jendela. 'aku sangat mencintaimu, Lita. Bahkan selama ini tidak pernah berubah sedikitpun,' batin Dhika.
***
Bayangan sepenggal kisah 10 tahun yang lalu tiba-tiba saja muncul di benak Dhika saat dirinya tengah duduk di kursi piano. Ruangan yang merupakan ruangan pribadi miliknya. Dhika menatap sekeliling ruangan ini, dimana semua foto Lita terpajang di sana memenuhi ruangan berdominasi warna putih itu. "10 tahun aku menunggumu, menunggu dan selalu menunggu. Tapi saat kamu sudah ada di depan mata, kenapa begitu sulit menggapaimu," gumam Dhika mengusap wajahnya gusar.
Aku benci kamu Dhika....
Hanya kebencian yang ada dihati aku buat kamu...
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Dhika bagaikan genderang yang mampu menghancurkan hatinya. Dhika mengambil sebuah pigura Lita yang disimpan di atas piano. Dielusnya wajah cantik Lita. "kamu sudah membuatku gila, kamu sudah menyita segalanya. Hati, pikiran dan semuanya yang ada diriku. Tapi kenapa begitu sulit untuk menggapaimu kembali," ujar Dhika.
' 10 tahun aku menunggumu, dengan harapan semu. Aku selalu berbicara dengan bintang favoritmu itu. Hanya berharap kamu untuk segera kembali. Karena disini aku begitu kesepian dan hanya bisa terdiam sendiri. Setiap malam aku memimpikan kamu, aku begitu merindukan kamu, Lita' batin Dhika dengan masih menatap wajah Lita di dalam foto. 'Sekarang kamu sudah kembali, tetapi masih sulit ku gapai. Kamu tau Lita, aku begitu merindukanmu. Saat aku melihatmu lagi waktu itu, ingin rasanya aku membawamu ke pelukanku. Mengucapkan kata cinta yang sudah aku pendam selama ini, aku ingin sekali bilang kalau aku sangat merindukanmu. Aku ingin menebus kesalahanku 10 tahun yang lalu.' batin Dhika.
"Aku bisa mati tanpa kamu, Lita. Bahkan saat kamu mengatakan kini hanya kebencian di hati kamu untuk aku. Rasanya jantungku berhenti berdetak, rasanya aku mati rasa," gumam Dhika dengan matanya yang terlihat merah menahan air mata.
***
Dhika baru saja sampai diruangannya. Hari ini pikirannya tidak bisa fokus dan konsen. "pagi bos" sapa Okta yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan membuat Dhika mengernyitkan dahinya.
"Ngapain loe kesini?" Tanya Dhika. Moodnya langsung turun drastis saat melihat Okta.
"Pantesan pagi ini cerah banget, ternyata wajah loe redup," kekeh Okta.
"Ck,, ngapain loe kesini? Emang gak kerja?" Tanya Dhika.
"Yaelah loe kayak gak tau gue saja, gue kan bosnya mana ada yang berani negur gue kalau gue bolos kerja," ujar Okta dengan santainya dan duduk di hadapan Dhika.
"Kasian banget perusahaan yang di rintis bokap loe dari nol, kini harus gulung tikar karena anaknya model begini. Papa Bagas sungguh sial punya anak model loe, Gator." ujar Dhika membuat Okta terkekeh.
"Yaelah, perusahaan yang menghasilkan uang triliunan itu gak bakalan pernah bangkrut sampai tujuh turunan walau gue gak pernah ke kantor. Jadi jangan lebay deh," gerutu Okta.
"Terus loe kesini ada perlu apa? bukannya tadi pagi kita udah ketemu yah dirumah. Loe masih kangen sama gue?" Tanya Dhika.
"Dih ogah banget, walaupun kadar ketampanan loe di atas rata-rata. Gue belum gila kalau harus kangen sama loe. Gue kesini tuh mau ketemu si Nela." ujar Okta dengan cengirannya.
"Loe yakin mau deketin dia? Gue pernah denger lho kalau sekarang dia itu anti cowok," ujar Dhika.
"Yakin lah,, lagian gak ada yang gak mungkin buat sang Aligator. Apalagi masalah kaum hawa, gue kan sang penakluknya," ujar Okta dengan bangga.
"Iya bener, loe kan bapaknya buaya. " ucap Dhika seraya membuka berkas yang ada di atas mejanya.
"Eh, loe masih galau karena Lita yah?" Tanya Okta.
"Hmm" jawab Dhika seenaknya. " tapi gue akan kembali berjuang untuk mendapatkan hatinya lagi," ujar Dhika memasang senyum misterius.
"Asal jangan ide gila saja." celetuk Okta.
"Loe tenang saja, Gator. Karena Lita akan selalu menjadi milik gue," ujar Dhika mantap membuat Okta tersenyum melihatnya.
***
Tok tok tok
"Pagi bu dokter," sapa Okta menjulurkan kepalanya keruangan Chacha.
"Loe?" Chacha mengernyitkan dahinya saat melihat kedatangan Okta. "mau ngapain loe kesini?" Tanya Chacha heran, dan Okta dengan seenaknya masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi tepat dihadapan Chacha.
"Dokter Nela lagi santai ya." ujar Okta membuat Chacha menatap tajam ke arah Okta.
"Loe mau ngapain kesini?" Tanya Chacha dengan jutek.
"Mau ketemu Nela lah, masa mau periksa kandungan sih," ujar Okta santai.
"Berhenti manggil gue Nela, Crocodile !! Nama gue Clarisa, bodoh." pekik Chacha kesal.
"Slow dong babe, jangan marah-marah nanti darah tinggi kamu kumat." ujar Okta semakin menyebalkan.
"Siapa juga yang kena darah tinggi, dasar Crocodile gila." gerutu Chacha, moodnya langsung rusak karena makhluk menyebalkan ini.
"Keluar loe dari sini, gue sibuk." Chacha berdiri dan hendak beranjak, tetapi Okta segera menarik tangan Chacha hingga tubuh Chacha menabrak dada Okta. Keduanya saling bertatapan cukup lama.
"Kamu semakin cantik kalau sedang marah-marah," Okta tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Chacha melotot sempurna dan langsung menghempaskan tangan Okta. Chacha langsung beranjak hendak meninggalkan Okta tetapi sekali lagi Okta dengan sigap memegang tangannya. Membuat Chacha berhenti bergerak dan berbalik ke arah Okta.
"Lepasin....!!!" Ujar Chacha.
"Tidak mau," ujar Okta menyebalkan,
"Gue akan teriak sekarang juga kalau loe gak lepasin tangan kotor loe ini," Ancam Chacha mencoba melepaskan genggaman tangan Okta tetapi sangat sulit.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelum itu-," Okta terdiam dan sebelah tangannya merogoh handphone Chacha yang berada di saku jas dokternya.
"Eh ngapain bawa-bawa handphone gue? Balikin." Chacha mencoba merebut handphonenya kembali dari tangan Okta tetapi Okta mengangkatnya ke udara membuat Chacha harus meloncat untuk menggapainya. "balikin Crocodile bego," Chacha mencoba meraihnya tetapi tidak sampai, apalagi Okta beranjak menjauh. Karena lelah, Chachapun menghentikan gerakannya dan melipat kedua tangannya di dada dengan kesal. Okta mencoba menghubungi seseorang dari handphone Chacha, setelah itu dimatikannya.
"Ini nomor gue, di save yah. Dan kalau gue telpon di angkat yah Nela." ujar Okta menyerahkan handphone Chacha ke tangannya. "terima kasih untuk waktunya di pagi yang cerah ini," Okta berjalan keluar ruangan dengan santai dan senyuman yang terukir indah dibibirnya.
"Dasar Crocodile gila," gerutu Chacha kesal. "astaga gue mimpi apa sih? Kenapa harus ketiban sial gini," tambahnya sambil mengipas-ngipas wajahnya yang terasa panas dan gerah.
***
Dhika bersandar di dinding kaca di samping pintu ruangan seseorang sambil memainkan handphonenya. Tak lama terdengar langkah kaki mendekat, membuat Dhika menengadahkan kepalanya dan terlihat Thalita berdiri tak jauh disana. "Ada apa?" Tanya Lita sinis.
"Kamu kemana saja sih? Aku daritadi nungguin kamu," ujar Dhika seraya menyimpan handphonenya ke dalam jas dokter miliknya.
"Apa ada hal penting?" Tanya Lita tanpa basa basi.
"Kan kamu bilang kalau kenangan 10 tahun itu sudah kamu kubur dalam-dalam. Dan kini status kita hanya rekan kerja saja kan? Nah, aku sebagai rekan kerja kamu mau ngajakin kamu makan siang," ujar Dhika santai.
"Apa?" pekik Lita kaget mendengarnya. " maaf tapi aku sibuk," tambah Lita hendak memasuki ruangannya tetapi di halangi Dhika.
"Minggir" ujar Lita,
"Tidak mau" jawab dhika santai.
"Minggir, aku mau masuk." ucap Lita.
"Aku bilang tidak mau," ujar Dhika ngotot dan terus menghalangi langkah Lita yang terus mencoba melewatinya.
"Dokter Dhika, apa anda tuli? Saya bilang minggir, saya banyak pekerjaan." ujar Lita penuh penekanan setelah lelah mencoba melewati Dhika.
"Dokter Thalita yang terhormat, apa anda juga tuli? Saya bilang tidak mau," jawab Dhika santai.
"Kamu...!!!" Lita mulai kesal.
"Aku sudah pegal berdiri di sini menunggu kamu buat makan siang bersama, tapi kamu malah ngusir aku. Kejam sekali," ujar Dhika merengut berusaha menampilkan ekspresi so sedihnya, membuat Lita mengernyitkan dahinya.
'Kenapa Dhika jadi menyebalkan gini sih,' batin Lita.
"Tapi kan saya bilang, saya sibuk dokter Dhika. saya harus bekerja," ujar Lita tak mau kalah.
"Makan itu penting buat tubuh kita. Jadi ayo kita makan siang," Dhika menarik tangan Lita.
"Lepasin,,,,,!!!" Lita mencoba melepas pegangan Dhika.
"Tidak mau," jawab Dhika cuek dan terus melanjutkan perjalanannya menuju lift.
"Aku bilang lepas," ujar Lita masih berontak.
"Aku bilang tidak mau, kamu ngeyel banget sih," jawab Dhika membuat Lita menghembuskan nafasnya kasar. Pintu lift terbuka dan keduanya masuk ke dalam lift.
"Anggap saja ini ucapan terima kasih kamu karena kemarin malam aku nyelametin kamu. Kamu kan belum sempat bilang terima kasih sama sekali sama aku," ujar Dhika membuat Lita melirik Dhika.
"Terima kasih, sudah cukup," ujar Lita sinis.
"Tidak, kan aku bilang ingin makan siang bersama," jawab Dhika.
"Pemaksa," gerutu Lita.
"Kamu kan memang harus selalu dipaksa," gumam Dhika tetapi mampu terdengar oleh Lita, membuat Lita melirik sebal ke arah Dhika.
Ting... Pintu lift terbuka dan Dhika masih memegang tangan Lita dan kembali menariknya menuju parkiran.
Kini Lita dan Dhika sudah duduk berhadapan di sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Dhika sambil membaca menu makanan.
"Apa saja," jawab Lita datar.
"Ya sudah mas, tolong tenderloinnya 2 dan greenteanya 2," kata Dhika membuat Lita menatap ke arah Dhika. "Aku masih ingat makanan favorit kamu," ujar Dhika setelah waiters itu pergi. Lita hanya terdiam dan menatap keluar jendela.
"Bagaimana satu tim dengan dr. Rival?" tanya Dhika.
"Lumayan lancar, kami bisa bekerja sama dengan baik di ruang operasi," jawab Lita masih datar.
"Sebenarnya aku sedikit kesusahan tanpa adanya asisten utama," ujar Dhika. Lita hendak berbicara tetapi terpotong oleh suara waiters yang membawa pesanan mereka. Setelah menatanya di atas meja, pelayan itupun pergi.
"Steak disini sangat enak, cobalah." ujar Dhika hendak memotongkan steak milik Lita tetapi ditahan oleh Lita.
"Mau ngapain?" tanya Lita bingung.
"Aku mau memotongkan steak itu buat kamu seperti biasanya, apa ada yang salah?" tanya Dhika.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," ujar Lita dengan dingin. Akhirnya Dhikapun mengalah dan memulai menyantap steak miliknya.
"Gimana? Enakkan?" tanya Dhika.
"Lumayan" jawab Lita dingin.
'Sabar Dhika, semuanya perlu waktu,' batin Dhika dan kembali menikmati makanannya. "Mansion kamu yang kemarin besar juga, apa kamu tinggal sendiri?" tanya Dhika. Thalita tidak menjawabnya.
"Oh iya aku dengar ada film baru, kamu pasti menyukainya. Apa kamu mau pergi nonton denganku?" tanya Dhika.
"Tidak" jawab Lita datar.
"Bagaimana kalau akhir pekan ini kita jalan, pergi ke suatu tempat gitu." ajak Dhika masih berusaha.
"Tidak"
Dhika sudah kebingungan, ini seperti ajang wawancara saja. "Lita aku tau hubungan kita sedang tak baik, tapi tidak bisakah kita awali semua ini dengan berteman? Setidaknya teman rekan kerja. Kita buka lembaran baru," ujar Dhika membuat Lita menghentikan makannya dan mengusap bibirnya dengan serbet putih, dan meminum greentea miliknya.
"Dengar yah dokter Dhika, saya tidak tertarik berteman dengan anda. Dan saya mohon jangan pernah beri saya perhatian lagi. Saya terima makan siang ini sebagai tanda terima kasih saya karena anda sudah menolong saya," ujar Lita dengan formal. "Mohon menjauhlah, karena apapun yang anda lakukan. Tidak akan pernah mengubah apa yang sudah terjadi. Jangan berharap lebih, karena saya sangat membenci anda. Terima kasih untuk makan siangnya, permisi." Thalita beranjak meninggalkan Dhika sendiri yang masih terpaku.
"Huft..!!!" Dhika menghela nafas panjang.
***