Dokter yang memeriksa Mr. Damian keluar dari dalam kamar UKS yang berada di dalam kantor perusahaan. Dahinya mengernyit. Valerie segera menghampiri dokter yang bernama Reno itu dengan raut wajah khawatir.
"Bagaimana keadaan Mr. Damian?" tanya Valerie cepat.
Dokter itu menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. "Saya tidak dapat memprediksinya. Penyakitnya sudah parah danβ"
"Apakah perlu ke rumah sakit? Apakah harus di rontgen? Apa seharusnya Mr. Damian dirawat di rumah sakit dengan penaganan yang serius?" tanya Valerie beruntun.
Dokter itu terlihat kelimpungan. Apalagi saat Valerie tiba-tiba menyerobot masuk ke dalam ruangan. Valerie kembali ke hadapan dokter tersebut dengan wajah garang. "Anda tidak menginfusnya??? Apakah Anda benar-benar seorang dokter??? Mana ada dokter yang membiarkan pasiennya lemah tidak berdaya tanpa bantuan alat lain untuk bertahan???"
Dokter itu makin kelimpungan dengan pertanyaan Valerie. "Um, Mr. Damian tidak memerlukan..."
"Kenapa??? Bukannya itu penangan terbaik yang seharusnya dilakukan dokter??"
Dokter itu menelan ludahnya susah payah dan melirik takut-takut pada Alarick yang berdiri santai dengan kedua temannya. Dokter itu kembali menatap Valerie. "Um, saya sudah memberikan suntikan dan obat untuk..."
"Apa itu cukup???"
"Sudahlah, Vale." Alarick akhirnya berbicara dan menarik tangan Valerie menjauh dari dokter tersebut. "Yang Kakekku butuhkan hanya kebahagiaan dan ketenangan. Memangnya, apa yang akan dilakukan pihak rumah sakit pada jantung Kakek? Satu-satunya jalan ya operasi pencangkokan jantung."
"Tapi tetap saja! Seharusnya..."
"Cucu-mantuku!" panggilan Mr. Damian yang lemah itu membuat Valerie segera beraksi dengan melepaskan tangan Alarick dan berlari ke dalam ruangan dengan tergesa.
"Sir!" Valerie membungkuk di samping Mr. Damian sambil menggenggam tangannya. "Sir, Anda baik-baik saja?"
"Tidak."
"Benarkah? Apa ada yang sakit? Apa kita harus..."
"Tidak, Valerie. Aku tidak membutuhkan rumah sakit." Kata Mr. Damian sambil pura-pura sesak napas. "Yang kubutuhkan adalah cepat-cepat melihatmu menikah dengan Alarick."
Valerie menghela napas panjang. "Anda ingin saya menikah dengan cucu Anda kapan? Tahun depan?"
"Minggu depan."
"What the fuck!!" umpat Alarick yang baru datang. Dia mendelik. "Apa tidak terlalu cepat?? Kenapa kau tidak sekalian saja meminta malam ini???"
"Itu memang ide bagus. Tapi, kau lihat sendiri aku sedang dalam keadaan lemah."
"Cih!"
"Sir! Anda tidak seharusnya berkata seperti itu pada Kakek Anda yang sedang sakit!!" marah Valerie pada Alarick dengan matanya yang melotot.
Alarick balik memelototi Valerie. "Kau membelanya?? Kau percaya dengan ak..."
"... Akhirnya kau akan menikah sebentar lagi, Alarick!!" teman-teman Alarick berseru senang sambil merangkul Alarick dengan kencang. "Kami turut senang, bodoh. Kau jangan gagalkan usaha keras Kakek Dami ya."
Alarick tersadar. Dia menelan ludahnya dan tertawa kencang sambil balas merangkul teman-temannya. "HAHAHA kalian memang teman setiaku."
"HAHAHAHA." Teman-temannya ikut tertawa.
Valerie menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Ia kembali menatap Mr. Damian. "Apa minggu depan tidak terlalu cepat, Sir?"
Mr. Damian menggeleng dengan pura-pura lemas. "Tidak. Aku bisa mati kapan saja, Valerie. Aku tidak ingin membuang-buang waktu."
"Tapi persiapannya? Kita masih harus menyiapkan banyak hal yang mungkin tidak akan selesai seminggu kemudian."
"Aku sudah menyiapkannya."
"Hah?" tanya Valerie kaget.
Mr. Damian segera berdeham kencang. "Maksudku, aku yang menyiapkannya. Hehe, ya begitu."
Valerie hanya mengangguk pelan dengan linglung. "Baiklah jika itu kemauan Anda."
"Benarkah?" tanya Mr. Damian dengan mata berbinar antusias.
Valerie tersenyum dan mengangguk. "Ya."
Mr. Damian merentangkan tangannya dan langsung di sambut pelukan Valerie. "Oh, terimakasih cucu-mantuku." Ucap Mr. Damian sambil mengedipkan matanya pada Alarick dan mengangkat jempol tangannya di balik punggung Valerie.
Alarick berserta kedua temannya mengangkat kedua jempol tangannya.
Makiel berdecak iri. "Kakek Dami sangat beruntung memiliki Budak Cinta se-muda Valerie." Katanya.
Felix menampol kepala belakang Makiel agar sadar. "Bodoh! Valerie bukan budak cintanya, namun anak yang sudah dianggapnya cucu."
"Ya. Sama saja. Aku akan mencobanya di masa depan."
Alarick dan Felix sama-sama menatap Makiel dengan datar. Sedangkan yang ditatap hanya mengepalkan tangan dengan antusias.
"Ini momen mengharukan. Ayo, kita ikut berpelukan dengan Valerie." Ucap Makiel semangat dan berjalan ke arah Valerie namun kerah belakang bajunya segera di tarik oleh Alarick ke luar ruangan.
"20 meter!! Dasar pedofil bangsat!!" seru Alarick marah.
***
"Dari sini, tinggal belok kanan dan lurus terus. Jarak rumah saya dan kantor tidak terlalu jauh." Kata Valerie, mengarahkan Alarick yang sedang duduk di bangku pengemudi.
Alarick menganggukan kepalanya dan fokus pada jalanan dalam diam. Dia tidak begitu mengetahui negara Indonesia jadi ia tidak boleh lengah.
Valerie yang melihatnya hanya menghela napas panjang. "Kemana supir Anda, Sir? Kenapa Anda ke sini tanpa persiapan apapun? Anda bahkan meminjam mobil perusahaan Mr. Damian. Apa Anda yakin ke sini untuk bisnis? Kenapa Anda tidak membawa tim dan sekretaris Anda..."
"Diamlah! Kau cerewet sekali!" potong Alarick dengan kesal. "Aku hanya merindukan Kakekku. Apa tidak boleh? Aku ini cucunya."
"Jangan lupakan tentang kebencian Anda pada negara ini. Saya sudah 2 tahun bekerja pada Anda dan amat sangat tahu sifat Anda."
Benarkah? Lalu kenapa kau bisa termakan aktingku, Valerie? Batin Alarick menyeringai licik. "Kau tahu sendiri konisi Kakekku sedang tidak sehat. Aku ingin menemuinya di saat-saat terakhir." Katanya.
"Jangan berbicara seperti itu!!!"
"Ck, ya, ya, baiklah."
"Sir, sepertinya kita harus membuat perjanjian pra-nikah."
"Perjanjian pra-nikah? Apa itu?" tanya Alarick heran.
"Perjanjian tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setelah menikah."
"Terdengar bagus. Baiklah, katakan saja padaku."
"Saya ingin membuatnya dengan tertulis dan bermaterai."
"Apa??? Tidak! Aku tidak suka yang mengikat."
"Tapi saya ingin."
"Aku tidak mau, Valerie. Apakah itu harus?"
"Harus jika suaminya sejenis Anda!"
"Sejenis aku???" tanya Alarick syok hingga menepikan mobilnya di pinggir jalan. "Apa maksud perkataan sialanmu itu, Valerie??"
"Maksud perkataan sialanku adalah, aku harus membuat perjanjian tertulis agar suamiku kelak tidak membuatku menderita!"
"Membuatmu menderita??? Kenapa aku melakukannya??"
"Tentu saja karena Anda brengsek, sombong, seenaknya, dan berhati iblis."
"Valerie!!Β Berani-beraninya kau!!"
"Memangnya kenapa?? Anda calon suami saya. Apakah saya harus takut pada calon suami saya sendiri??"
Calon suami, katanya?? Amarah Alarick mereda seketika. Valerie benar, Alarick. Jangan membuat calon istrimu takut. Hehehe. Batinnya menyeringai senang. Dia berdeham, lalu kembali menjalankan mobilnya. "Kau sangat berani sekali sekarang. Dan apa yang kau katakan di kantor tadi? Felix lebih tampan dariku??"
"Sir, Anda keluar dari arah pembicaraan."
"Siapa yang berkata begitu hah?? Jelas-jelas, aku yang lebih tampan."
"Sir, Anda mengalihkan pembicaraan."
"Jika kau terpesona padaku, apa pada Felix juga kau akan terpesona? Aku yakin tidak..."
"Saya yakin saya akan terpersona pada Tuan Felix."
Alarick menggeram kesal. "Valerie!!"
"Apa? Kenapa? Saya hanya membalas ucapan Anda." Ucap Valerie sama kesalnya. "Saya ingin perjanjian pra-nikah!"
"Apa jika Felix menciummu, kau akan terhanyut juga?"
"Tentu saja!!"
"Valerie!!!"
"Apa? Kenapa Anda marah pada saya?? Bukannya Anda yang jelas-jelas mengalihkan pembicaraan?"
"Jangan terpesona pada Felix!"
"Suka-suka saya!"
"Kau!! Kuperingatkan kau!!"
"Anda mengancam calon istri Anda sendiri??"
Alarick menggeram menjawab pertanyaan Valerie. "Baik. Terserah kau saja." Katanya. Murahan sekali aku ini. Hanya dengan kata-kata calon istri atau calon suami, aku tak dapat lagi membalas kata-katanya. Sejak kapan kau menjadi murahan Alarick? Kau seperti pria lemah. Batinnya kesal.
"Baik. Kalau gitu perjanjian pra-nikah!"
"Tidak mau bermaterai!"
Valerie menghela napasnya pelan. "Baiklah. Saya hanya mengatakannya saja." Katanya, lalu kembali menarik napas dalam. "Sir, saya adalah tipe wanita yang memiliki prinsip monogami. Anda tahu kan, maksud saya?" tanyanya.
Alarick berdeham santai mengiyakan.
"Yakin Anda mengerti? Belum terlambat untuk membatalkannya." Katanya, dan Alarick hanya berdecak kesal. Valerie berdeham pelan. "Ya, saya berprinsip seperti itu. Saya akan mentoleri jika pihak perempuannya yang menggoda Anda dan Anda masih terselamatkan. Namun, jika Anda yang memilih wanita lain ataupun tidur dengan wanita lain, saat itulah... Saya akan menceraikan Anda."
Alarick menggeram kesal. "Belum apa-apa, kau sudah membicarakan cerai."
"Saya hanya menegaskan jika Anda menikah dengan saya, Anda akan terkekang untuk urusan perempuan. Saya memegang teguh kepercayaan: jika pasanganmu selingkuh, rumah tangga yang kamu bangun hancur. Dan saat pasanganmu selingkuh, tinggalkan dia dan carilah orang yang memandangmu dengan cukup."
"Cukup?"
"Ya. Cukup aku saja. Cukup kami saja. Cukup kami dan anak kami saja. Aku butuh lelaki yang merasa cukup denganku saja."
Alarick mendengus sinis di tempatnya. "Tidak ada lelaki yang seperti itu." Katanya.
"Ada, jika saya mencarinya." Kata Valerie tegas.
Kembali, Alarick mendengus sinis. "Baiklah, kalau begitu. Aku juga punya permintaan. Atau lebih tepatnya, sebuah perintah."
"Apa itu?" tanya Valerie dengan alis yang mengernyit.
"Jangan pernah hamil."
Deg!
Jantung Valerie berhenti seketika. Napasnya tercekat, kaget oleh perintah Alarick. Apa maksudnya, Alarick tidak menginginkan anak darinya? Valerie menelan ludahnya susah payah. "Tapi, bagaimana jika..."
"Jika janin itu terlanjur tumbuh di rahimmu, gugurkan."
Deg!
Valerie kali ini menahan napasnya. Ia memandang sisi wajah Alarick dengan tatapan tidak percaya.
Iblis tetaplah iblis.
Alarick tetaplah Alarick.
Kenapa Valerie bisa melupakan hal itu?
TBC
JANGAN LUPA POWER STONE DAN KOMENTAR POSITIF NYA YAAA BIAR SEMANGAT UPDATE