Keadaan mendadak menjadi mencekam di dalam stadion. Para penjaga keamanan mulai dari Polisi hingga tentara dikerahkan untuk megecek keadaan di luar stadion.
Orang- orang yaang berkumpul di dalam Stadion banyak yang berteriak ketakutan.
"Tenang semua! Harap tenang Bapak, Ibu sekalian!" Mansur berusaha menenangkan para supporternya.
Yusuf yang mengenakan setelan jas hitam dan celana hitam serta dilengkapi kacamata hitam dan juga alat Handy Talkie tanpa kabel yang mana hanya earpiece headset saja terpasang di telinganya. Ia dengan sigap turun dari panggung dan memberikan instruksi kepada para polisi yang lain. Ia pun menyusun strategi cepat dengan para polisi yang lain dengan spontan.
"Saya akan menjaga keamanan di dalam dan memastikan keselamatan Pak Mansur," ujar Yusuf sembari memegang telinganya.
Sementara Yusuf kini mengatur jalan di dalam stadion untuk memberikan jalan kepada Sang Ayah agar bisa cepat diamankan keluar Stadion.
Polisi yang lain pun membantu Yusuf.
Ia pun membuat pasukan protokoler membawa sang Ayah dari Stadion tersebut melewart kerumunan massa.
Para suporter akan diamankan keluar istana juga setelah di luar aman.
**
Mengetahui berita pengeboman di depan Stadion Istanbul, Furkan pun sontak khawatir dengan keselamatan Om dan sepupunya tersebut.
Ia pun bergegas menghubungi Yusuf.
"Merhaba Yusuf."
"Merhaba Abi..."
"Syukurlah Kau masih selamat..." ujar Furkan sembari menghembuskan nafas lega.
"Abi, aku dna Ayahku baik- baik saja. Semua supporter juga kini sedang diamankan secara bertahap keluar dari Stadion. Kau tak usah khawatir, puing- puing bekas bom juga telah diamankan sebagai TKP oleh pihak kepolisian."
"Cok Sukurler... Aku benar- benar merasa lega kalau keadaan sudah mulai aman."
Mereka pun mengakhiri percakapan mereka.
Yusuf pun menelpon Dilraba.
"Merhaba Askim..."
"Tuan... Tuan Furkan..."
Terdengar suara Dilraba panik. "Dilraba tenang Dilraba... Kau kenapa?"
"Dilla... Dilla hilang Tuan!"
"Maksudmu apa? Dilla hilang?" Furkan pun mengernyitkan dahinya. "Dilraba, kau kalau ngomong yang benar saja..." Furkan berusaha mendengarkan Dilraba.
"Dilla tadi... tadi... ada di lokasi pengeboman, aku baru saja mengirim WA kepada dia dan Dia masih menjawabnya lalu tiba- tiba ketika aku mengirim pesan lagi, Wanya sudah centang satu tak terkIrim."
"Lalu analisamu?"
"Aku takut kalau dia... dia menjadi korban..."
"Dilraba jangan bicara yang tidak- tidak lah..."
"Tuan, bantu aku mencari Dilla... kumohon! Bbntu aku!" Dilraba sudah kelewat panik nada suaranya.
"Baik, baik... pasti akan kubantu mencari Dilla..."
"Tuan, ada 5 orang yang meninggal, bagaimana kalau salah satunya adalah Dilla?" Dilraba menunjukan nada surara keputus-asaan.
"Kau jangan mengada- ada Dilraba... tidak, pasyti bukan Dilla!" Sementara Furkan juga ikut khawatir dan terus memikirkan keberadaan Dilla.
Ia pun mengakhiri percakapannya dengan Dilraba.
Kini Ia mencoba menghubungi Dilla. Benar saja, HP Dilla tak bisa dihubungi. Ia pun merasa frustasi.
Ia pun mengambil jasnya dari kursi meja kerjanya dan bergegas keluar kantor.
Begitu keluar dari ruangannya, Furkan langsung berpapasan dengan siapa lagi kalau bukan dengan Thalita.
"Tuan Furkan... Anda mau keluar?"
"Iya Saya ada urusan mendadak yang sangat urgent!"
"Tu... Tunggu Tuan, pekerjaan saya juga tak kalah penting! Saya perlu tada tangan dan koreksi dari Anda!" ujar Thalita berusaha menahan Furkan di depannya agar tak bisa berjalan kemana- mana.
"Nanti Thalita, Nanti akan saya urus masalah pekerjaan! Ini masalahnya jauh lebih penting dari urusan pekerjaan!" ujar Furkan sembari memincingkan matanya ke arah Thalita.
"Tuan... saya juga penting, ini menyangkut project vendor kita yang harus dikerjakan besok juga, saya perlu tanda tangan anda di proposal procurement ini untuk saya kirim ke vendor hari ini juga!" Thalita tak memberikan ruang kepada Furkan.
"Thalita, kau keras kepala ya!" Furkan naik pitam. "Puasa- puasa gini jangan memancing emosi ya!"
"Tuan... ini sudah dari kemarin lusa, vendornya kasihan perlu kepastian!"
"Ya sudah mana..."
Thalita pun menyodorkan dokuemen yang dibawanya dan memberikan pulpennya juga.
Furkan pun menumpang menulis di atas meja sekretarisnya.
"Yang mana yang perlu saya tanda tangan?"
Thalita pun menunjuk ke kertas yang dimaksud Furkan. "Maaf Pak, disini."
Furkan pun menandatangani semua yang ditandai Thalita.
"Pak, ini proposalnya sudah tak ada yang dikoreksi lagi? Kok tak dibaca? Langsung ditandatangan saja?" protes Thalita.
Furkan rasanya sduah kesal dengan ocehan Thalita. "Thalita, saya setuju... saya percaya yang kamu buat benar seratus persen jadi saya langsung tada tangan!"
Thalita terkejut.
"Saya sudah bisa pergi kan sekarang?"
Furkan pun terburu- buru pergi meninggalkan Thalita di depan ruangannya.
Thalita pun membereskandokumen yag telah ditandatangan Furkan. "Aneh banget Pak Furkan! Yaudah kalo ga mau meriksa lagi!" gerutu Thalita.
**
Sementara suasana keadaan di luar Stadion Istanbul jauh lebih mencekam karena aksi ledakan bunuh diri itu menewaskan sang pengebom di tempat.
Selain itu juga ada 5 orang yang ikut meninggal terkena ledakan tersebut.
"Dilla, kau tidak kenapa- napa kan?" tanya Inwoo yang memberikan perlindungan Dilla yang bersembunyi di sebuah gang yang mana dekat dengan sumber ledakan. "Hpmu tadi terlempar saat aku berusaha menarikmu. Sepertinya Hpmu tak terselamatkan..."
Dilla wajahnya tampak pucat, Inwoo merangkul Dilla dan menenangkan Dilla.
Tangis Dilla pecah seketika, air matanya mengalir.
Flashback 1 jam sebelum pengeboman.
Dilla sedang dudk di sebuah taman yang letaknya tak jauh dari Stadion Istanbul, Ia asyik bercakap- cakap banyak hal dengan Inwoo.
Dari hobi, treavelling, hingga membicarakan film.
Tiba- tiba Dilla didatangi mereka berdua didatangi oleh seorang lelaki.
"Selamun Aleykum..." sapa Pria tersebut.
Sontak Dilla pun menjawab sapa Pria tersebut. "Aleykum Salam."
Dilla terkejut melihat Pria yang menyapanya tersebut.
"Benar ternyata Kau Adilla..."
"Richard, how are you?" Dilla nampak kikuk. "Kau bagaimana bisa ada di Turki?"
"It's long story. I think, it will our last meeting."
"What?" Dilla mengangkat kedua alisnya.
Richard melihat ke arah Inwoo. "Your Japanesse friend?" tanya Rihard.
"No, My Friend is Korean... This is Mr. Inwoo."
"Hello, I'm Ji Inwoo." Inwoo mengulurkan tangannya.
"Hello Mr Ji Inwoo. I'm Richard, Dilla's paternity cousin.
"hello, Richard... Nice to know you. Do I look a like Japanese?" tanya Inwoo.
"I have no idea, just try to guess..."
"But, what do you mean? Tadi kamu bilang ini akan jadi pertemuan terahir kita?" tanya Dilla. "Kau tiba- tiba muncul di hadapanku saja sudah membuatku syok Richard!"
Richard membetulkan posisi topinya. "I'm sorry... Aku tak bermaksud membuntutimu..."
Dilla terkejut bukan main. "Kau juga membuntutiku?" Ia mengernyitkan dahinya. Ia pun menggeleng- geleng sendiri dan menatap tajam Inwoo maupun Richard.
"Maafkan aku Dilla, aku tak bermaksud membuntutimu tetapi..." Richard menghentikan kata- katanya. "Memang siapa lagi yang membuntutimu selain aku?"
"Pokoknya ada... seseorang..." ujar Dilla tak ingin menyebutkan orang yang dimaksud. "Kau membuntutiku darimana?"
"Dari apartemenmu!"
"Kau tahu dimana apartemenku?"
"Tentu... orang tuamu yang memberitahu!"
"Lalu apa tujuanmu membuntutiku?"
Richard memberikan sebuah amplop.
"Ini apa?"
"Pokoknya aku mau menitipkan ini padamu. Jaga ini baik- baik!" ujar Richard. "Aku pergi dulu sekarang!"
Begitu Dilla menerima amplop yang diberikan Richard, Richard pun melengos pergi meninggalkan Inwoo dan Dilla.
"Apa- apaan sih Richard! Aneh sekali dia!" gumam Dilla.
"Sudahlah Dilla jangan dipikirkan!"
"Richard itu adalah anaknya Bibiku, Kakaknya Ayahku, Dia punya nyawa sembilan katanya, Ia beberapa kali tak pernah meninggal.
"Loh? Memangnya dia sering kecelakaan? Atau bagaimana?" Inwoo tak mengerti.
Dilla pun menutup mulutnya. Ia pun menggeleng. Ia pun mendadak panik. "Bisa dibilang begitu.
Flashback selesai
"Dil... Dilla... Pria pelaku pengeboman itu bukannya Dia..." Inwoo menatap Dilla tajam sembari memegang kedua bahu Dilla.
Dilla pun masih menangis.
Inwoo pun memeluk Dilla. "Richard adalah salah satu anggota teroris?"
Dilla jatuh menangis di pelukan Inwoo. Ia tak menjawab apapun.
"Arasso, Arasso... aku mengerti, aku tak akan bertanya apapun lagi. Kumohon kau berhenti menangis ya!" Inwoo menepuk- nepuk punggung Dilla.
**