Dilraba khawatir bukan main dengan keberadaan Dilla yang tak bisa dia hubungi.
Ia pun sedang dalam perjalanan ke rumah sakit dimana semua jenazah disemayakan sementara.
Bersamaan dengan itu, Furkan juga menuju ke rumah sakit Sukurler untuk mencari tahu identitas korban.
Ia sudah janjian dengan Dilraba langsung bertemu di rumah sakit rujukan korban pengeboman tersebut.
Furkan pun tiba duluan di rumah sakit tersebut.
Ia pun langsung turun dari mobilnya lalu bergegas masuk ke rumah sakit tersebut.
Ia menuju ke pusat informasi rumah sakut Sukurlar.
"Permisi, Saya mau tanya mengenai korban pengeboman di depan Stadion Istanbul. Apakah semua jenazahnya sudah teridentifikasi?"
Sang Petugas Rumah sakit pun mengecek sesuatu di komputernya.
Furkan berdiri sembari mengetuk- ngetukan jarinya di meja pusat informasi tersebut.
"Maaf, Anda dengan keluarga dari siapa? Apa sudah yakin jika salah satu kerabat Anda yang menjadi korban?" tanya sang petugas rumah sakit.
"Saya belum tahu pastinya, karena saya tidak tahu maka saya datang langsung ke rumah sakit ini!" ujar Furkan sembari menahan emosinya.
"Maaf Tuan, berdasarkan informasi internal, semua data korban belum bisa diiidentifikasi, data yang ditemukan di tubuh korban ikut hancur saat aksi itu berlangsung. Namun bisa dipastikan jika 6 korban yang mana salah satunya adalah pelaku, terdiri dari 4 wanita dewasa dan 2 pria dewasa. Sejauh ini belum dapat dipastikan lebih lanjut lagi." Jelas sang Petugas rumah sakit.
Furkan pun mengernyitkan dahinya.
"Jika Anda besedia, petugas kamar jenazah akan menunjukan jenazah korban namun semuanya sudah dalam keadaan tidak utuh. Tidak semua orang berani melihat keadaan korban dalam keadaan seperti ini." Petugas rumah sakit tersebut menqunjukan jalan kemana Furkan harus berjalan untuk menuju kamar jenazah.
Furkan pun bergegas mengikuti perintah Sang petugas Rumah sakit.
Ia pun sudha berada di depan kamar jenazah, ada beberapa orang yang juga mengantri untuk mengecek jenazah tersebut.
"Permisi, Saya ingin mengecek juga jenazah korban karena ada teman perempuan saya menghilang dan posisi terakhirnya juga ada dqi depan lapangan Istanbul."
Sang Petugas rumah sakit pun membuat nomor antrian untyuk Furkan dan memintanya menunggu .
Batin Furkan. Pasti bukan Dilla, itu pasti orang lain.
Ia pun benar- benar waswas dan cemas menunggu.
Tak lama Dilraba pun datang.
"Tuan..."
"Dilraba..."
"Bagaimana? Apa sudah ada kepastian?"
"Sabar Dilraba... sabar..."
Seorang Perawat menghampiri Dilraba dan Furkan.
"Tuan, Nona... maaf kami mengumpulkan benda- benda yang ikut terkena imbas dari aksi ini, kebetulan ada HP dan dompet namun sudah dalam keadan usang. Siapa tahu Anda mengenali salah satu dari barang yang ada."
"Baik, Saya akan ikut mengecek."
Furkan pun mengikuti Dilraba.
Perawat tersebut menjajarkan benda temuan korban yang mana para polisi berkumpul untuk mengamankan kembali barang- barang tersebut.
Dilrabapun melihat satu persatu barang yang rata- rata sudah hancur tersebut.
Salah satu dari barang yang dimaksud, ada beberapa bangkai handphone.
Dilraba melihat Gadget Iphone berwarna rose gold yang sudah retak dan hangus depan layarnya.
Ia pun mengenali sesuatu. Batinnya. Ini seperti punya Dilla.
"Pak saya mau lihat Iphone ini."
Polisi pun membantu Dilraba memegang barang yang dimaksud. Sang Polisi membalikan casing gadget Iphone tersebut.
Betapa terkejutnya Dilraba melihat stiker yang tertempel di belakang casing Gadget tersebut.
Ia pun menutup mulutnya dan tak kuasa menagisn hingga histeris sendiri.
Furkan pun langsung memeluk Dilraba.
"Tidak... Tidak mungkin... Itu pasti bohong! Tidak mungkin! Ini pasti bukan Hpnya Dilla..."
"Dilraba pelan- pelan sayang.... apa maksudmu?" Furkan pun mendekap Diraba berharap Dilraba berhenti menangis.
"Ini, ini Hpnya Dilla... aku yakin, ini stker yang tertempel di belakang Hpnya adalah stiker yang sama di HP Dilla. Aku yakin jika ini stikernya sama."
"Belum tentu sayang..."
Dilraba pun menangis sesenggukan di pelukan Furkan.
Tiba- tiba Yusuf muncul dari belanga,
"Abi.."
"Heh, Yusuf... Kau tidak apa- apa kan?" Furkan menyapa sang sepupu.
Dilraba pun berusaha menahan tangisnya.
Yusuf menggeleng. "Elhamdulillah aku baik- baik saja. Bagaimana dengan Nona Dilraba?"
"Ada teman Dilraba yang kemungkinan menjadi korban."
"Semoga tidak seperti yang kalian kira." Yusuf menepuk bahu Furkan.
Kini giliran Furkan.
"Aku akan mengeceknya... Kau tunggu disini bersama Yusuf."
"Baiklah Tuan..."
Yusuf pun masuk ke kamar jenazah.
Dilraba di luar menunggu bersama Yusuf.
"Nona Dilraba... kita blum pernah berkenalan secara official."
"Iya, Anda Tuan Yusuf sepupunya Tuan Furkan. Saya tahu kok."
Yusuf mengulurkan tangannya.
Dilraba pun menyambarnya. "Dilraba Azimova. Saya berasal dari Kazakhastan."
"Yusuf Gul."
"Saya sangat kagum dengan Ayahmu, calon Presiden Turki. Sya harap pada pemilu yahun ini, beliau bisa memenangkannya."
"Terimakasih atas dukungannya."
"Saya bisa saja menghubungi Ayah saya d Kazakastan untuk memberikan dana sokongan kampanya untuk Tuan Mansur Gul."
"Kau berasal dari keluarga berada?" tanya Yuuf sembari mengangkat alisnya.
Dilraba mengangguk.
"Benar. Saya sangat beruntung dilahirkan keluarga yang serba berkecukupan seperti ini."
"Anda sudah berapa lama berkencan dengan Yusuf ABI?"
"Baru kok. Masih hitungan minggu."
"Pantas saja..."
"Aku tahu bagaimana Tuan Furkan luar dan dalam walau kami baru berkenalan."
Batin Yusuf. Yusuf mengingat percakapannya dengan ZHANDOS mengenai anggota intelijen wanita dari China yang sedang menyamar sebagai anak konglomerat dari Kazakhastan.
"Iya Nona... semoga kau beruntung..."
Furkan pun keluar dengan wajah yang sendu.
Dilraba membelalakan matanya. Ia langsung meegang tangan Furkan. "Bagaimana Tuan? Bukan Dilla kan?"
Yusuf tak menjawab apapun.
"Tuan..." Dilraba menggoyang- goyangkan lengan dan tangan Furkan.
"Diraba, jadi..."
Flashbak di kamar jenazah
Furkan ditelepon seseorang.
"Merhaba..."
"Merhaba Tuan Furkan, ini saya Ji Inwooo."
"Tuan Inwoo, saya sudah save nomor Anda."
"Saya kini bersama Dilla. Anda mengenal Nona Dilla bukan? Mantan karyawan di perusahaan Anda."
"Iya, saya tahu... Syukurlar... Dilla selamat? Dia ada terluka?"
Inwoo pun memberikan Hpnya kepada Dilla.
"Tuan Furkan... saya menghbungi Dilraba namun Hpnya tak aktif."
"Dilraba dengan saya sekarang di rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Iya... kami kira kau menjadi korban... Tapi saya bersyukur sekali kau tak kenapa- napa. Asal kau tahu, Dilraba panik dan menangis histeris emngetahui Hpmu jadi korban takut jika kau juga menjadi korban."
"Saya minta maaf karena telah membuat kalian khawatir. Sekarang mana dilraba?"
"ada di luar. Saya akan memberitahukan Dilraba nanti. Kau dimana sekarang? Biar saya jemput."
"Tidak udah... tidak usah... Saya bisa pulang dengan Tuan Inwoo."
"Dilla, sedang apa kau dengan Tuan Inwoo?"
"Saya ada urusan dengan Tuan Inwoo."
"Saya kan mengantarkan Dilraba pulang lalu menjemputmu!"
"Tidak usah Tuan! Saya aman bersama Tuan Inwoo."
"Bukan begitu Dilla, nanti apa kata orang jika kau malah jalan dengan pria lain padahhal kau kan tun..."
"Tun? Tun apa Tuan?"
"Tidak, tidak..." Furkan pun terdiam.
"Kau mau mengakui saya sebagai tunagangan anda maksudnya?"
"Tentu tidak! Saya hanya ingat Nine saja jika berhubungan denganmu. Nine sangat menyayangimu seperti cucunya sendiri," jelas Furkan.
Furkan pun menutuop percakapannya dengan Dilla.
Flashback selesai
"Tuan, jadinya bagaimana?"
"Sudah aman... Dilla tidak termasuk dari daftar korban dan saya yakin dia selamat sekarang."
Dalam pikiran Furkan, Ia tidak tahu mengapa ada rasa khawatir yang berlebihan kepada Dilla, Ia juga mendadak penasaran dengan apa yang dilakukan Dilla dengan Inwoo, kenapa mereka bisa pergi bersama.
**