"Jangan ucapkan apapun." Tangis Elise kembali pecah. Brian mengelus rambut panjang Elise. Menenangkan istrinya.
Setelah beberapa saat tangisan Elise berhenti hanya menyisakan sedikit isakan. Elise merenggangkan pelukannya dan menatap lekat wajah Brian.
Tangan Brian terangkat dan jemarinya menyentuh pipi Elise. Mengusap air mata yang mengalir di sana. Mata mereka terkunci.
"Berjanjilah kau tak akan pernah meninggalkanku," ucap Elise sungguh-sungguh dengan terus menatap mata Brian.
"Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Karena hanya kau yang aku cintai." Brian menatap Elise lekat.
.
.
Dering alarm ponsel mengusik tidur Elena. Matanya mengerjap pelan dan kembali terpejam dengan tangan yang terulur ke arah nakas, meraih ponselnya dan mematikan alarm. Elena membuka mata dan menatap langit kamar. Dia masih tak terbiasa dengan suasana kamar itu, walau sudah berada disana hampir seminggu.
Elena bangkit duduk di atas kasur dan seketika selimut jatuh di pangkuannya. Dia terkejut menyadari tubuhnya polos tanpa satu pakaianpun. Seketika adegan panas yang dia lakukan bersama Brian berputar dalam benaknya. Elena termenung, menekuk kedua kakinya merapat ke dada dan menumpukan kedua tangan yang terlipat diatas lutut. Kepalanya tertunduk disana. Tak bisa dia pungkiri hatinya telah hancur, harga dirinya sudah menghilang. Dia sudah tak suci lagi.
Elena ingin menjerit, marah dan berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan segala sesak di dada. Tapi semua itu percuma. Sekeras apapun Elena berteriak, keperawanannya tak akan bisa kembali. Sehisteris apapun Elena menjerit, tak akan ada yang bisa membantunya. Dan semarah apapun Elena pada keadaan, tak akan bisa mengubah waktu dan semuanya. Karena jika waktu diputar kembali ke masalalu, Elena akan tetap melakukan ini untuk mendapatkan uang. Jika bukan Brian yang menyentuhnya, mungkin Elena akan menjual keperawanannya pada pria lain. Mencoba mencari uang besar dengan menjual dirinya di club malam.
Mungkin bagi orang lain Elena terlihat seperti gadis bodoh yang rela melakukan apapun demi seorang pria. Tapi bagi Elena, Diego memanglah segalanya. Dia tak menyesal berkorban demi pria itu, yang dia tangisi adalah mengapa jalan hidupnya terlalu sulit sejak dulu. Dia hanya ingin bahagia, menikah dengan pria yang dia cintai, melahirkan anak, dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya hingga ajal menjemput. Tapi mengapa cobaan hidupnya terlalu berat?
Elena menghembuskan napasnya panjang. Yang terjadi biarlah terjadi, hidup terus berjalan dan Elena harus terus kuat menjalani kejamnya dunia ini.
Elena bangkit dan turun dari ranjang. Kakinya bergetar dan desisan keluar dan bibirnya. Wajahnya sudah mengerut merasakan perih di inti tubuhnya. Dia tak menyangka akan seperti ini rasanya. Kakinya bahkan masih lemas akibat ulah Brian yang bermain tiga ronde semalam. Tubuh Elena sangat pegal seakan Elena berlari puluhan kilometer. Dengan tertatih Elena berjalan ke kamar mandi. Sesekali dia berhenti dan menopang tubuhnya di dinding. Astaga, berhubungan pertama kali memang sangat menyiksa, apalagi jika dilakukan sampai tiga ronde. Brian sangat keterlaluan. Elena yakin jalannya terlihat aneh saat ini.
Dia masuk dan menyalakan kran air hangat untuk mengisi buthtub. Berendam air hangat sebentar mungkin bisa mengurangi rasa pegal dan merilekskan tubuhnya. Elena teringat perlakuan Brian yang menyiapkan air hangat untuknya semalam. Elena tak menyangka pria itu akan melakukan hal itu. Ternyata pria itu cukup baik. Bahkan dia melakukannya dengan lembut, membuai Elena hingga dia merasakan orgasme beberapa kali. Elena harap pria itu tetap baik dan tak marah ataupun menatapnya tajam lagi.
Saat Elena keluar kamar mandi dan berniat memakai bajunya. Dia melihat sesuatu di atas nakas. Kartu kredit dan sebuah memo.
Gunakan kartu kredit ini untuk membeli obat pereda nyeri atau apapun itu, karena seminggu ini aku akan terus menyentuhmu. Dan juga belilah kebutuhan dapur, makanan dan minuman.
Ps: aku akan memantau pengeluaran kartu kredit ini.
-Brian-
Elena melotot saat membaca kalimat pertama. Mungkin terdengar perhatian namun jelas itu hanya basa-basi karena Brian tak ingin Elena menolaknya untuk alasan apapun. Pria itu juga sudah mengatakan sebelumnya, bahwa selama masa subur, dia akan menyentuh Elena. Dan masa subur tentu saja selama seminggu. Oh God, Elena tak mampu berkata-kata.
Tak bisa Elena pungkiri saat permainan Brian memanas, dia merasakan kenikmatan duniawi itu. Namun tetap saja, disentuh oleh pria asing yang tidak dia cintai membuat Elena tak suka. Dan apa-apaan kalimat tambahan dibawah itu?
Brian akan memantau pengeluaran kartu kredit ini! Elena berdecak tak percaya, begitu tak percayanya kah Brian hingga dia melakukan itu. Apa pria itu takut Elena akan menggesek kartu kreditnya untuk berbelanja barang-barang mewah, shopping sana-sini?
Elena mendengus malas. Dia meraih kartu kredit itu. Memandangnya lekat. Elena sudah seperti para pelacur di luaran sana, yang mendapat bayaran setelah memuaskan tuannya. Lagi-lagi Elena menghembuskan napasnya panjang. Jika dia mementingkan harga dirinya, tentu saja Elena akan meninggalkan kartu kredit itu. Tapi, ini dunia nyata dan semua memang membutuhkan uang. Pernah dengar perumpamaan: uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Itu sangat benar. Semua hal butuh uang, bahkan saat kau ingin kencing pun butuh uang, karena toilet umum sekarang sudah berbayar.
Elena menyimpan kartu kredit itu dan memakai pakaiannya. Hari sudah mulai beranjak siang dan dia sudah terlambat untuk pergi bekerja.
....
Brian tengah memeriksa laporan yang diberikan oleh manager-nya saat pintu tiba-tiba saja terbuka. Brian mendongak. Rena, ibunya berjalan masuk. Tampilan Rena sama dengan ibu-ibu sosialita lainnya. Memakai barang bermerek dan berjalan dengan mendongakkan dagunya.
Brian terkejut dengan kedatangan mendadak ibunya. Dia langsung bersiap siaga. Rena pasti ingin membicarakan sesuatu. Entah mengapa Brian tau apa yang ingin dibicarakan.
"Kenapa Mommy tak memberitahu ku jika ingin kesini?"Brian berjalan menghampiri Rena.
"Memangnya Mommy harus buat janji dulu, jika ingin bertemu dengan anak Mommy sendiri." Rena sudah duduk di sofa dalam ruangan itu. Brian duduk tepat di samping Rena.
"Ada apa, Mom?" tanya Brian tak mau berbasa-basi. Rena menatap Brian lekat. Tau pasti ibunya memiliki maksud tertentu.
"Mommy mau kau menceraikan Elise secepatnya!" ucap Rena dengan penuh keyakinan.
Brian menghela napas. Lelah beradu argumen dengan ibu tercintanya. "Mom, Brian sudah bilang takkan menceraikan Elise apapun yang terjadi. Lagipula waktu perjanjiannya masih ada. Brian dan Elise masih punya waktu lima bulan lagi."
"Untuk apa menunggu lima bulan lagi jika pada akhirnya tetap akan sama. Elise takkan pernah hamil. Jadi, mending sekarang kamu bercerai dengan Elise lalu menikah dengan Tiara."
"Mom. Aku sudah katakan sebelumnya, aku tak akan bercerai dengan Elise. Kesepakatan yang Mommy buat dengan Elise itu hanya perjanjian tentang Elise yang merelakan Brian menikah lagi. Bukan bercerai dengan Elise jika dia tak hamil juga."
"Brian, kenapa kau terus saja mempertahankan wanita rendah yang tak berguna itu? Gara-gara dia, kau melawan Mommy."
"Mom!"
"Untuk apa mempertahankan wanita yang bahkan tak bisa memberikanmu keturunan?"
"Mom, aku sangat mencintai Elise. Dan juga sangat menyayangi Mommy. Please, jangan buat Brian dilema. Bukankah Elise dan aku juga sudah berjanji dengan Mommy, aku akan menikah lagi jika Elise tak hamil juga."
"Kau harus berjanji akan menikah dengan Tiara jika Elise tak hamil dalam lima bulan lagi."
"Ya Mom."