Saat senjahari tiba, barulah Galuh kembali ke rumah Ki Demang Sukma, sebenarnya ia ingin segera melanjutkan perjalanannya mencari Jaya, tapi ia juga merasa tidak enak kalau harus pergi saja tanpa berpamitan pada keluarga Ki Demang apalagi setelah ia diberikan pakaian oleh Sri, dan keluarga Ki Demang bersikeras meminta dirinya untuk menginap. Ia juga dapat merasakan bahwa keluarga Ki Demang adalah keluarga yang baik dan taat beribadah, maka ia pun terpaksa kembali ke Kademangan Cisoka.
Sementara itu di area pesawahan Desa Cisoka, Jaya Laksana nampak sedang berjalan melewati area pesawahan itu, "Ah kenapa aku bisa tersesat dan berputar-putar disekitar desa ini?" keluh jaya dalam hatinya. "Aneh… Apakah memang ini suatu firasat agar aku tidak lekas meninggalkan wilayah desa ini?" tanyanya dalam hati pada diri sendiri.
Ia lalu mendongkakan kepalanya ke atas langit. "Sudah senja, sebentar lagi Magrib tiba, kalau aku meneruskan perjalanan sekarang, aku pasti akan menginap didalam hutan lagi, apa aku bermalam di desa ini saja ya?" gumamnya.
Jaya lalu mengeluarkan kantong uangnya dan menghitung uanganya. "Ah uangku hanya sedikit, kalau kupakai untuk bermalam di penginapan uangku bisa habis." pikirnya.
Dia lalu celingukan, pandangan matanya membentur sebuah sawung yang ada di sawah itu, "Ah aku istirahat di sawung itu saja, besok subuh aku akan melanjutkan perjalanan." pikirnya sambil melangkah masuk kedalam sawung itu.
Malam itu Galuh kembali dijamu makan malam oleh keluarga Ki Demang, aneka makanan dan minuman disediakan berlebih, Galuh pun menyantap hidangan tersebut dengan sungkan dan tidak enak, apalagi ketika ia mendapati Lesmana terus mencuri-curi pandang padanya. Selesai Makan malam, Galuh melangkahkan kakinya ke halaman belakang Kademangan, dia lalu duduk menyendiri di sana.
Beberapa saat ia duduk termenung seorang diri, seorang pemuda datang menghampirinya, "Melamunkan apa Galuh?" tanyanya sambil tersenyum.
Galuh terkejut melihat kehadiran pemuda itu yang tak lain adalah Lesmana. "Eh Kang Lesmana... Tidak, aku sedang tidak melamun kok, aku hanya sedang teringat pada guruku" jawab Galuh berbohong.
"Gurumu si Dewa Pengemis dari Bukit Tunggul itu?" Tanya Lesmana.
"Benar, di sana juga tinggal saudara-saudaraku... Kami semua tinggal di sana." jawab Galuh.
"Lalu kenapa kamu pergi turun gunung?" tanya Lesmana yang tidak ingin mengakhiri perbincangan dengan Galuh.
"Eh itu… Aku diperintahkan oleh guru untuk melaksanakan sebuah tugas yang penting…" jawab Galuh dengan kagok.
Beberapa saat kemudian mereka saling terdiam, keduanya sama-sama merasa canggung. Beberapa kali Lesmana berusaha untuk menatap wajah dan setiap lekuk tubuh gadis hitam manis yang duduk dihadapannya, hasrat didadanya terus bergejolak hebat, hingga akhirnya ia memberanikan diri berkata. "Galuh... Maafkan aku kalau aku tidak sopan dan tidak tahu diri kalau harus mengatakan ini."
Galuh menatap Lesmana dengan canggung "Apa yang hendak kamu katakan Kang Lesmana?"
Lesmana menelan ludahnya, dia berusaha mengumpulkan keberaniannya, lalu menatap mata Galuh lekat-lekat. "Galuh... Aku tahu kita baru saja bertemu hari ini, tapi... Tapi aku langsung menyukaimu... Aku menyukaimu Galuh!"
Galuh menundukan kepalanya, betapapun ia telah dapat menebak apa yang Lesmana rasakan padanya dengan intuisi wanitanya, tapi tetap saja ia merasa kaget dan tidak enak, gadis ini bingung harus berkata apa sebab inilah pertama kalinya ada seorang pria yang menyatakan perasaan suka kepada dirinya.
"Bagaimana Galuh? Apakah kau mau menerima cintaku?" Tanya Lesmana dengan penuh harap.
Setelah berpikir beberapa saat Galuh pun memutuskan untuk berkata yang sejujurnya, "Maafkan aku Kang Lesmana, aku hanyalah seorang gadis pengemis, aku hanyalah seorang musafir yang berjalan tanpa arah mengikuti langkah kaki membawa ke manapun ia melangkah untuk melaksanakan tugas dari guruku... Aku tidak pantas untuk bersanding denganmu, seorang putra Demang dari keluarga yang terhormat!"
"Aku tidak peduli dengan status sosialku sebagai anak Demang ataupun kau yang seorang pengemis atau musafir! Aku hanya mencintai dirimu Nona Galuh Parwati, dan aku ingin mendapatkan balasan cinta darimu!" tegas Lesmana.
Galuh menggelengkan kepalanya dengan lemas, "Maaf Kang Lesmana, aku tidak bisa menerima dan membalas perasaanmu padaku karena aku telah mempunyai seseorang yang telah menawan hatiku!" usai berkata begitu Galuh langsung pergi meninggalkan Lesmana.
"Galuh…," desah Lesmana dengan dada yang terasa sangat sesak.
Galuh terus melangkah ke halaman depan kademangan, di halaman depan ia melihat Ki Demang sedang bersama Nyai Demang sedang memberikan perintah kepada para pengawal Kademangan, mereka pun melihat Galuh dan memanggilnya "Kau mau ke mana Galuh?" tanya Nyi Demang.
"Eh tidak saya hanya sedang mencari angin, udara malam ini cukup gerah." jawab Galuh sekenanya.
"Hmm... Kamu benar Galuh, udara malam ini gerah tidak seperti biasanya! Perasaanku juga jadi tidak enak…" sahut Nyi Demang.
"Saya juga merasa tidak enak, rasa-rasanya malam ini sangat gerah sekali, aneh, tidak seperti biasanya!" sahut Galuh.
Ki Demang pun ikut memperhatikan langit malam, saat itu langit malam gelap gulita diliputi awan mendung yang menghalangi Bulan dan Bintang, suara srigala mengaung terdengar jelas saling bersahut-sahutan, kuda-kuda di istal Kademangan saling meringkik.
"Betapa kecil dan rapuhnya kita, di tengah ganasnya ombak kehidupan, kita harus selalu memohon dan meminta petunjuk kepada Illahi, agar kita terhidar dari musuh nyata maupun musuh yang tidak nyata, kita harus mengusir perasaan-perasaan itu dengan dzikir Neng Galuh... Nah hari sudah larut, mari kita beristirahat." ucap Ki Demang, mereka bertiga pun masuk kedalam rumah untuk beristirahat.
***
Disebuah rumah yang terdapat di tengah hutan di luar Desa Cisoka, seorang pria paruh baya tampak sedang bersemedi menghadap patung berhala berbentuk Iblis dengan segala perlengakapan perdukunannya. Menjelang tengah malam, ia membuka matanya, lalu berjalan menuju ke sebuah kamar, dari dalam kamar itu ia mengambil seorang gadis yang masih perawan yang tak sadarkan diri, ia lalu membawanya dan mebaringkannya di altar persembahan yang ada di bawah berhala Iblis itu.
Pria tua itu lalu mengambil sebilah keris pusaka, dia mengeluarkan keris itu dari sarungnya, mulutnya berkomat-kamit membaca mantera, lalu keris itu diacungkan ke atas, dan Crasshhh! Keris itu memotong pangkal urat di leher gadis yang malang itu! Si orang tua lalu menadahi darahnya yang mengucur dengan sebuah baskom dari tembaga.
Setelah selesai, ia melumuri patung berhala dihadapannya dengan sebagain darah itu, sebagainnya lagi ia bawa ke atas pendupaan lalu ia siramkan pada air kembang tujuh rupa, ia lalu mengangkat kedua tangannya dan membaca materanya "Wahai penghuni alam kegelapan! Turut Perintahku! Turut perintah Ki Wikuyana! Kepada Eyang di Alam Arwah, hambamu Ki Wikuyana memohon bantuan kekuatanmu! Bangkit! Bangkitkan mereka yang mati dalam penasaran! Bangkit!" teriaknya. Tiba-tiba mata berhala di hadapannya memancarkan cahaya merah terang bagaikan jilatan lidah api!
Di pemakaman umum tak terurus yang terletak diluar desa Cisoka, tiba-tiba beberapa makam meledak! Dari dalam makam-makam itu keluarlah mayat-mayat hidup, ada yang sudah menjadi tengkorak seutuhnya, ada yang masih mempunyai kulit dan daging yang sudah rusak yang masih menempel di tulang-belulang, beberapa belas mayat hidup itu lalu berjalan meninggalkan pemakaman tersebut, bagaikan pasukan zombie, mereka bergerak serentak ke arah Kademangan Desa Cisoka.
Di perbatasan Desa, empat orang pemuda desa sedang melakukan tugas ronda malam, "Kang malam ini udaranya sangat aneh ya, gerah sekali rasanya, bahakan lebih gerah dari siang hari!" ucap salah satu dari mereka.
"Benar, padahal langit malam ini sangat mendung seperti hendak hujan, tapi kenapa rasanya panas begini ya?" sahut kawannya.
"Dari tadi juga terdengar suara raungan srigala-srigala dan suara burung hantu bikin bulu kuduk merindang saja! Sejak Ki Wikuyana kembali ke desa ini keadaan desa ini memang seolah selalu dilanda kengerian-kengerian yang aneh! Padahal Ki Demang adalah orang yang baik serta taat beragama!" sahut yang satu lagi.
Pemuda yang nampaknya menjadi pemimpin mereka langsung menyela "Sudahlah! Jangan membicarakan yang tidak-tidak! Jangan menambah beban pikiran Ki Demang dan penduduk desa! Kejadian tadi pagi pun masih membuat penduduk ketakutan! Makanya kita harus berjaga-jaga!"
Baru saja ia menutup mulutnya, matanya melihat belasan barisan zombie yang berjalan dari arah pemakaman umum menuju ke desa Cisoka. "Hei kalian lihat apa itu!" tunjuknya ke arah luar desa, ketiga kawannya pun melongok ke arah yang ditunjuk, terkejutlah mereka semua melihat rombongan mayat hidup itu.
"Apaan tuh?!" pekik salah satu dari mereka.
"KABUR!!!!" seru mereka berbarengan, mereka pun memasang langkah seribu, lari sekencang-kencangnya meninggalkan desa Cisoka menuju ke area pesawahan.
Di dalam rumah yang terdapat di tengah hutan, diluar desa Cisoka, Ki Wikuyana terus memantau pergerakan pasukan zombienya dari air kembang tujuh rupa yang dicampur darah perawan, ia melihat kawanan zobie itu sudah berada di alun-alun desa Cisoka didepan gerbang kademangan. "Atas nama Eyang di Alam Arwah, aku perintahkan kepada kalian para mahluk-mahluk penasaran untuk membasmi keluarga si Sukma yang terkutuk! Hahaha…"