[] Badai dari Velinda []
Sore itu, waktu menunjukkan jam lima lebih. Ini sudah memasuki jam besuk umumnya rumah sakit. Aku berdebar-debar. Pasti sebentar lagi pengacara Tuan Benny Hastomo akan datang! Aku menggigit bibirku sambil remas-remas tanganku secara gelisah.
Karena aku yakin kamarku ini takkan kedatangan pembesuk siapapun, aku yakin kamarku hanya akan menjadi kamar sunyi. Memangnya aku mengharapkan siapa lagi untuk membesuk aku? Rekan kerja? Tidak, aku tidak mengharapkan mereka melihat keadaan menyedihkan aku ini.
*****
Tuk! Tuk! Tuk!
Bunyi beberapa sepatu mahal mulai menyusuri lorong rumah sakit tempatku dirawat inap. Ada sekitar empat orang berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai di mana terdapat kamar VIP yang aku tempati.
Tak berapa lama, aku berjalan penuh hati-hati sambil mataku menoleh ke sana dan kemari untuk memastikan keadaan setelah empat orang tadi melewatiku. Setelah itu, aku masuk ke dalam lorong lantai dasar setelah memastikan keadaan aman dan ada banyak para pembesuk.
Yah, aku memang sudah berhasil menyelinap keluar dari kamar sejak tadi, dan berjalan diam-diam seraya membaur dengan para pembesuk secara tersembunyi. Sesudah merasa aman, ketika akan keluar dari lift, aku melihat rombongan pengacara tadi dan aku langsung berbelok ke arah lain untuk menempel ke rombongan pembesuk di dekatku untuk bersembunyi.
Begitu aku yakin rombongan pengacara Tuan Benny Hastomo sudah memasuki lift, barulah aku bisa tenang melangkah ke pintu keluar rumah sakit tanpa terdeteksi. Memangnya aku ini artis yang mudah dikenali? Pft!
Aku memasuki taksi yang berjajar di luar rumah sakit dan segera pergi ke apartemenku.
Ketika membuka pintu apartemen, aku melihat keadaan apartemen sudah berantakan, terutama kamarku. Tak perlu menyewa detektif untuk tau ulah siapa itu. Sudah bisa dipastikan ini kerjaan dari keluarga Wina.
Seketika aku mengingat sosok Velinda.
Menghela napas, aku pun hanya mulai memunguti apa yang tersisa dari barang-barang milikku. Kulihat semua pakaian-pakaianku udah dihancurkan menjadi serpih-serpihan, termasuk baju-baju bayi yang sudah dibeli oleh Wina untukku. Semuanya dicabik-cabik oleh gunting.
Tidak tersisa satupun.
Menghela napas berusaha tabah, aku mulai membuka lemari kayuku dan kembali hela napas sambil menabahkan perasaanku. Barang pribadi dan kertas-kertasku di sana sudah disobek dan dihancurkan juga.
Bahkan kamera kesayanganku yang baru berumur satu tahun. Hancur lebur.
Kertas kerjaku juga tak bisa diselamatkan lagi.
Aku tengadahkan muka sambil pejamkan mata. Terus berbisik pada diri sendiri bahwa ini sebuah cobaan, ini sebuah coba- ah, dan sebuah hukuman pula. Aku takkan menampik bahwa bisa jadi ini termasuk karma untukku karena menyakiti Wina yang selama ini baik padaku.
Ya sudah. Rasanya tak perlu ditangisi, apalagi dipikirkan terlalu mendalam. Dan tak perlu juga mencari-cari mana barang yang masih bisa diselamatkan, karena orang seperti Velinda pasti takkan menyisakan apapun untuk orang sepertiku.
Langkahku terseok keluar dari apartemen, hanya membawa apa yang sudah kubawa sejak dari rumah sakit. Untung saja aku masih membawa tas berisi banyak benda lebih penting ketimbang yang ada di apartemen.
KTP, beberapa kartu penting dan juga beberapa flashdisk penting juga masih ada di tasku. Inilah pentingnya membawa mereka semua dalam tas jika aku bepergian. Untung saja kebiasaanku ini bisa dibilang menyelamatkan sebagian hidupku, meski sebagian lainnya hancur.
Aku terpaksa mendatangi rumah kontrakan Mbak Rinda. Setauku, dia tinggal sendiri. Sewaktu aku tiba di sana, dia terkejut. Apalagi aku tak membawa apapun selain baju yang melekat dan tas yang aku cangklong saja.
Mau tak mau aku memohon ke Mbak Rinda untuk menampung aku sementara waktu ini sebelum nantinya aku bisa mencari tempat sendiri seperti tempat kos sederhana di dekat kantorku. Malam itu aku merasa aman dan tentram setelah semua badai yang sempat berputar di sekelilingku.
Tak ada Wildan, tak ada Wina, tak ada keluarga Hastomo. Hanya aku dan anakku saja di kamar setrika kecil Mbak Rinda yang sudah dia bereskan tadi untuk aku tidur. Aku tidak keberatan tidur di kamar tersebut. Ini sudah merupakan sebuah kebaikan dari Mbak Rinda yang takkan aku lupakan.
Esoknya, Mbak Rinda menyarankan aku untuk di rumahnya saja dulu. Aku tidak menampik sarannya. Lagi pula, aku tak punya baju untuk ganti, apalagi untuk pergi ke kantor. Untunglah tabunganku bisa diandalkan agar aku bisa membeli beberapa baju dan dalaman secara online.
Siangnya, beberapa pesanan online-ku sudah datang. Aku bersyukur aku punya baju ganti. Mbak Rinda sudah kuserahi flashdisk yang memuat berkas-berkas dan draft pekerjaanku. Aku sangat bersyukur itu tidak kutinggal di rumah atau akan berantakan jika tidak terselamatkan.
Sorenya, Mbak Rinda datang sambil membawakanku bubur ayam dan susu khusus ibu hamil. Aku terharu melihat kepedulian dia padaku. Mbak Rinda tidak mau repot-repot menanyakan padaku mengenai siapa ayah si bayi. Dia cukup berpikiran terbuka dan membiarkanku dengan rahasia ini.
Hari berikutnya, aku sudah siap berangkat kerja. Tentu saja bersama Mbak Rinda. Kami tiba di kantor dan disambut hangat oleh semua rekan kantor yang mereka terus menanyakan keadaanku. Sebagian besar dari mereka juga seperti Mbak Rinda, tidak terlalu ingin tau mengenai ayah si bayi di perutku.
Pak Rofiq juga memperlakukan aku seperti biasanya. Sesekali Beliau mendiskusikan sesuatu denganku.
Siang usai jam makan, saat aku kembali ke kubikelku, kantor dikejutkan dengan kedatangan beberapa wanita muda berpakaian trendi.
"Oh, ternyata jalang iblis ini di sini!"
Sebenarnya, tanpa aku perlu menoleh pun aku sudah mengetahui pemilik suara itu. Velinda. Benar saja, dia sudah berdiri angkuh di ambang pintu utama kantor kami yang tidak seberapa luas ini. Kantorku bukan kantor bonafid besar. Tapi kantor ini terus produktif dan sedang menanjak naik.
Beberapa rekan kerjaku berkerumun sambil memandang aneh ke arah Velinda.
"Nona, jangan membuat gara-gara di sini." Bang Zum yang pertama kali maju untuk memperingatkan Velinda dengan nada ramah.
Sayangnya, Velinda tidak mengindahkan upaya baik Bang Zum dan malah melotot padanya. "Apa lo?! Lo antek si jalang iblis Nevia?!" teriaknya lantang. Sedangkan teman-teman Velinda lainnya hanya menyeringai jijik ke kami semua.
"Neng! Mendingan lo keluar, deh!" hardik Bang Fandi yang mulai emosi.
"Lo siapa berani usir-usir gue keluar, heh?! Gembel kok berani-beraninya bentak gue! Mo gue ratain nih kantor, hah?!" Velinda tanpa takut melotot ke Bang Fandi yang juga melotot ke dia.
Mata Velinda seketika menembak ke arahku. Wajahnya menyunggingkan senyum lebar, namun itu bukan senyum ramah sama sekali. Jika senyum bisa membunuh, maka aku sudah bisa dipastikan mati langsung saat ini. "Aha! Itu dia jalangnya! Heh, sundal! Sini lo! Ngapain lu ngumpet segala di situ! Pengecut!"
Aku hirup napas dalam-dalam dan mulai melangkah keluar dari balik kerumunan rekan kerjaku. "Vel, mendingan gak usah bikin ribut di sini. Ini tempat kerja, bukan tempat ribut. Kalo lo mau ribut ama gue, jangan di sini. Jangan kayak anak kecil."
"Lo masih bisa bacot hebat, yah? Sundal gak tau diri gak tau malu!" teriak Velinda sambil mendelik tak kira-kira padaku.
"Ini sebenarnya ada apa, sih?" Mas Topo sebagai senior kami di kantor di bawah Pak Rofiq pun terpaksa berbicara.
"Lo belum tau kehebatan nih sundal?" Velinda sudah akan maju ke arahku kalau tidak teman-teman kerjaku segera menarikku ke belakang punggung mereka. Mereka... melindungiku?
"Nona cantik, gak usah bicara kasar gitu. Pakai bahasa yang manusiawi kan bisa," ujar Mas Topo lagi.
"Lu tau apa?! Apa lu tau kelakuan temen elu itu?" Telunjuk Velinda tajam terarah padaku. "Dia udah ngerebut tunangan sepupu gue! Dia ngerayu tunangan sepupu gue pake cara lacur! Tuh buktinya! Dia bunting! Padahal dia temen baek sepupu gue! Apa dia pantas diajak ngomong pake bahasa manusiawi?!"
Seketika semua mata teman kerjaku menatap langsung ke aku. Andai aku bisa benamkan kepalaku ke tanah. Aku menunduk dan ciut secara otomatis. Suasana hening selama beberapa saat. Seolah-olah keheningan ini menggantikan berjuta pertanyaan di benak masing-masing rekan kerjaku.
Tidak. Aku tidak berani menatap mata mereka sama sekali. Aku mendadak sekecil kutu.
"Apapun yang diperbuat Nevia di luar," tandas Pak Rofiq memecah hening. "itu tidak perlu dibahas di sini. Aku rasa kalian semua sudah dewasa, maka tolong hargai diri kalian sendiri dengan tidak membuat kekacauan di tempat publik seperti kantor."
"Tua bangka! Mendingan tutup bacot elu atau nih kantor gue bikin bangkrut! Apa lo gak tau siapa bokap gue? Lo gak tau siapa keluarga tunangan sepupu gue?!" Velinda berteriak kalap karena tersinggung seakan-akan dia ditohok berjiwa kekanakan oleh Pak Rofiq.
Semua rekan kerja aku meradang emosi mendengar penghinaan dan ancaman Velinda pada Pak Rofiq. Bagaimanapun, Beliau adalah pemilik kantor ini sekaligus bos yang baik bagi kami semua. Kami di sini sudah seperti keluarga. Mana bisa kami menerima ayah kami di sini dihina begitu rupa?
Namun, sebelum kami bertindak maju untuk setidaknya menampar mulut kurang ajar Velinda, tiba-tiba sudah datang empat sekuriti. Ternyata Pak Rofiq sudah menghubungi mereka sebelumnya. Velinda dan teman-temannya menjerit-jerit kesal, terutama Velinda yang paling brutal memberontak.
Setelah badai yang dibawa Velinda pergi bersama sosok arogannya, semua rekan kerjaku pun mulai mengerubungi aku. Tatapan mereka... ternyata tidak menyalakan penghinaan sama sekali. Mereka justru ingin tau kronologis yang sebenarnya dariku mengenai masalah ini.
"Oh, jadi... si Wildan pacar Wina itu sebenarnya suka ama elu dari jaman SMA dan dia terpaksa nerima Wina cuma biar bisa dekat ma elu, Nev?"
"Iya, Mas Topo. Maaf, yah... gara-gara gue, kantor jadi malah kacau hari ini." Aku duduk sembari tundukkan kepala.
"Berarti yang kemarin datang ke Bali nyusul kamu itu... itu Wildan, yah Nev?"
"Bener, Mbak Rinda. Aku beneran minta maaf udah bikin kalian semua kecewa ma gue." Kutatap takut-takut ke Mbak Rinda, siap bila dia nanti akan mengusirku dari rumah kontrakannya. Aku siap. Terpaksa siap.
"Sebenernya sih ini bukan salah elu semuanya, Nev." Teh Intan ikut bersuara. "Ini juga salah si Wildan yang plintat-plintut jadi lelaki. Ya, kan?"
Semua yang lain pun anggukkan kepala menyetujui opini Teh Intan.
"Tapi Nevia juga tetep salah, loh!"
"Iya, Bang Fandi. Gue tau kalo gue emang salah, kok." Aku mengangguk lemah.
"Trus, sekarang gimana?" Bang Zum ingin tau langkahku selanjutnya.
"Gue tetep bakalan pertahanin anak ini, Bang. Walau mo dibeli ampe trilyunan sekalipun, ini anak gue, gak bakalan gue jual."
"Gila juga, yah orang tajir kalo bertindak. Orok aja ampe jadi barang dagang!"
"Yah, itu karena saking kepepetnya, sih!"
Kak Yuan dan Mas Topo saling diskusi mengenai Tuan Benny yang ngotot ingin membeli anakku. Aku memang menceritakan itu juga pada mereka, karena aku menganggap sudah tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Dan juga, mereka sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri semenjak mereka saling kompak melindungiku dari Velinda tadi.
Terlebih lagi, mereka tidak menghakimi aku secara brutal. Mereka sadar aku salah, namun mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Tak perlu menghujat. Yang diperlukan saat ini adalah langkah berikutnya, bukan melulu penghakiman.
"Elu gak takut kalo cewek barbar tadi bakalan ngapa-ngapain kamu entar di luar, Nev?" Kang Suli yang biasanya pendiam sekarang ikut angkat bicara. Semuapun segera menantikan jawabanku.
Aku pandangi mereka semua.