Chereads / Ilusi Hati / Chapter 10 - Ilusi 10

Chapter 10 - Ilusi 10

[] Menemui Raja Hades []

Aku termangu mendadak. Apa tadi yang aku dengar? Apakah kupingku sedang kurang sehat sehingga aku mendengar hal yang mustahil bagiku?

Namun, saat aku sekali lagi melayangkan pandangan pada Tante Eva yang terisak, pada Wildan yang matanya basah dengan tangannya terus erat menggenggam tanganku sambil sesekali menciumi punggung tanganku.

Lalu, kusapu tatapan ke arah Mbak Rinda dan Teh Intan yang terus menunduk di dekat ranjangku. Kenapa atmosfernya sangat tak enak begini?

Sekali lagi aku meraba perutku. Sudah kempis. Sungguh-sungguh rata tanpa jejak. Seolah-olah, aku tidak pernah memiliki perut sebesar karung sebelumnya. Atau, apakah selama ini semua hanya ilusi saja? Sebenarnya aku tidak hamil?

Aku melirik sosok yang agak jauh, duduk tenang di sofa kamar ini. Tuan Benny. Benny Hastomo, konglomerat terkenal negeri ini. Wajahnya sangat datar dan dingin seperti biasanya. Kenapa dia tampak berbeda raut dengan keempat orang yang sedang mengelilingi ranjangku ini?

"Mbak... Tante... Teteh..." Suara serakku terdengar mencicit karena lemah dan keringnya tenggorokanku.

Setelah setengah jam berlalu, aku mulai diberi rangkuman mengenai sebuah kenyataan, dan bukannya ilusi.

Aku dikatakan pingsan usai terjatuh dari tangga dan mengalami pendarahan hebat. Ketika aku tiba di rumah sakit, aku langsung dilarikan ke ruang operasi untuk menyelamatkan dua nyawa di atas meja operasi.

Dan... aku nyaris mati karena banyaknya pendarahan yang aku alami. Sayangnya... oh tidak, aku rasanya tidak kuat mengulang bagian itu.

Anakku... anakku tidak berhasil diselamatkan. Kata mereka, anakku meninggal. Dan ini... ini adalah sekian belas jam aku koma dan akhirnya berhasil bangun lagi.

Mereka berkumpul di dekat ranjangku karena mereka berkata bahwa mereka baru saja menguburkan anakku.

Pantas saja, mereka memakai baju hitam semua. Ternyata mereka baru dari area perkuburan.

"Kenapa... kenapa gak nunggu aku?" Ah, rasanya ini sebuah pertanyaan bodoh. Mana mungkin akan ditunggu jika aku tidak juga bangun dari anastesiku setelah lebih dari tiga jam? Memangnya harus menunggu sampai kapan?

Lagi pula, mana mungkin juga orang yang masih tak bertenaga seperti kondisiku begini akan bepergian sampai ke perkuburan segala?

Maka, kusebut tadi adalah sebuah pertanyaan bodoh dariku.

Oleh karena itu, aku tidak mendengarkan jawaban-jawaban dari mereka yang seakan sedang dirangkai dengan kalimat terbaik penuh bunga-bunga agar aku bisa menerima.

Aku malas mendengarnya. Karena aku sendiri sudah tau logikanya tanpa mereka harus susah payah mencari kalimat terindah.

"Bisakah kalian keluar dulu?" lirihku sambil mataku beredar ke mereka berempat. Aku terlalu malas untuk menatap Tuan Benny yang hebat itu. Entah kenapa, ada benih kebencian tumbuh di jiwaku untuk pria tua arogan itu.

"Nev..." Mata Wildan mengiba padaku. Tapi aku tak menggubris wajah basah dia.

"Gue pengin istirahat." Aku beralasan.

Dalam belasan menit berikutnya, aku sudah sendirian di kamar inap ini. Lagi-lagi kamar VIP. Jangan-jangan ini juga rumah sakit yang sama seperti tempat aku terakhir dirawat?

Aku berusaha miringkan tubuhku ke samping kanan karena rasanya pegal jika terus berbaring telentang. Tapi perutku berdenyut nyeri. Masih ada jahitan melintang di sana. Tak hanya bekas jahitan yang membuat aku meringis, tapi jauh di dalam sana juga terasa sakit.

Namun, itu masih kalah dengan rasa sakit yang ada di hatiku, di jiwaku. Di sana, jauh lebih sakit.

Aku dipisahkan dari anakku. Dipisahkan alam dan dunia.

Anakku... sosok yang belum pernah aku temui namun dia selalu berdetak di dalam tubuhku selama berbulan-bulan. Dia sering memberikan tendangan kecil hanya untuk memberitahu padaku bahwa dia ada dan dia nyata selama ini.

Tapi... di mana tendangan kecil itu sekarang? Di mana detak berirama yang kadang aku dengar jika sedang memeriksakan kandungan itu sekarang? Semuanya sudah tertindas oleh bumi, sudah dilahap oleh bumi ini.

Bumi tidak menyisakan untukku meski itu sekedar melihat wajahnya. Aku yang memilikinya berbulan-bulan! Aku yang membawanya dalam kondisi apapun! Aku yang susah payah menahan semua remuk pada punggung dan pinggangku! Aku yang sibuk berceloteh dengannya setiap malam sebelum tidur!

Tapi bahkan aku tidak diberi secuilpun kesempatan untuk menatap dia meski untuk sekejap...

Apakah dia cantik? Atau dia tampan? Ah, aku yakin dia pasti indah. Anakku pasti menjadi sosok yang indah dan mengagumkan. Namun, mana? Mana dia? Mana?!

Kenapa aku tidak sekalian mati saja? Untuk apa aku diberi napas lagi jika hanya untuk mengetahui bahwa aku kehilangan sesuatu yang sudah aku dambakan berbulan-bulan. Mengapa aku masih diberi napas hanya untuk menyaksikan alam mengejekku mentah-mentah dengan mengambil anakku dan membawa dia jauh di bawah sana?!

Inikah karma? Karma? Jadi... anakku hanya sebuah karma? Dia hanya hasil dari arogansi karma? Hah! PERSETAN DENGAN KARMA!!!

Anakku direnggut paksa dariku! Dia direbut oleh takdir! Dia dibawa paksa oleh bumi! PERSETAN KALIAN SEMUA!!!

Aku sibuk mengutuk semua hal hingga tak menyadari wajahku sudah basah kuyup dan ternyata aku sudah menapakkan kakiku satu demi satu melangkah keluar dari kamar rawat inapku. Aku tak tau bagaimana aku bisa tiba di sebuah bibir jembatan malam ini.

Jangan tanya aku! Mana aku tau bagaimana aku bisa melewati para perawat dan sekuriti rumah sakit?! Aku hanya tau tiba-tiba saja aku sudah sampai di pinggir jembatan ini! Huh! Mungkin Iblis sudah membawaku ke sini. Itu bagus!

Aku menatap linglung ke bawah, ke sungai yang tampak tenang namun menghanyutkan. Apakah ini sungai di sebelah rumah sakit? Terserah, aku juga tidak terlalu peduli mengenai hal tersebut. Yang jelas, aku tak sadar sudah berjalan tanpa alas kaki di bibir jembatan yang sepi ini.

Kedua tanganku kutaruh di besi pembatas sambil daguku menempel di sana, seakan-akan sedang merenung, atau melamun, entah! Aku hanya menatap arus tenang sungai yang berwarna gelap di bawah sana.

Kembali, aku teringat anakku. Anak yang menjadi sumber semangat hidupku... anak yang membuatku menjadi manusia lebih sabar menghadapi segala cerca dan hujatan siapapun.

Apakah anakku bisa melihatku sekarang dari langit? Seketika aku tengadahkan kepala ke arah langit yang sudah menghitam legam tanpa bintang. Sudah jam berapa ini? Kenapa sepi sekali di daerah ini? Ah, biarlah. Meski ada Iblis lewatpun aku tak keberatan. Dia bahkan bisa membawaku jika ingin.

Karena... untuk apa aku musti bertahan di dunia? Aku selama ini kukuh terus tabah karena untuk anakku. Jika dia sudah tak ada, lalu untuk apa aku terus hidup? Enak saja aku harus tersia-sia dan diinjak orang-orang arogan itu lagi!

Ya, benar! Mereka memang orang-orang arogan bajingan! Mereka bajingan pembunuh anakku! Yah! Aku ingat sekarang! Velinda! Jelas itu Velinda meski hanya sekelebat saja usai aku terjatuh dan dia lekas menyingkir dari tangga teratas!

Velinda.

Memangnya apa dosaku pada dia? Kenapa dia sejahat itu padaku? Memangnya aku merebut apa dari dia? Apakah aku membunuh keluarganya sehingga dia sebenci itu padaku dan membalas dengan merenggut anakku yang berharga?

Dia hanya sepupu Wina, astaga! Dia hanya seorang hipokrit yang pasti cemburu karena aku berhasil mendapatkan Wildan segalanya! Ah, belum segalanya. Hanya hatinya dan tubuh tololnya saja.

Apakah hanya karena itu Velinda sangat bersikap sengit padaku? Ataukah ini permintaan Wina?

Wina... ah, sahabatku itu... ah ya, aku belum meminta maaf dengan benar padanya. Terakhir, aku meminta maaf ketika dia belum sadar dari efek biusnya. Sejak itu juga aku susah menemuinya, seakan dia dijaga ketat oleh keluarganya. Seolah, aku ini Iblis mematikan yang akan mencelakai Wina jika kami bertemu.

Ah, Wina... maaf... meski aku memang bersalah padamu, tapi apakah kamu berharap membunuh anakku? Benarkah itu? Atau ini murni skema terkutuk dari Velinda saja?

Velinda, aku akan mencatat nama itu baik-baik di batinku, dan aku akan membalasnya apapun yang terjadi.

Baiklah... karena aku tak yakin apakah aku bisa memanjat ke langit untuk meminta keadilan di sana, maka mungkin aku harus turun ke bawah dan memohon pada Raja Hades di bawah sana, jikalau memang dia benar ada, agar dia bisa memberikan keadilan padaku dan membalaskan semua sakit hatiku!

Cukup susah payah, aku ingin memanjat besi pembatas sungai. Aku harus menemui Hades, harus memohon padanya demi keadilan anakku! Anakku tidak pantas diperlakukan demikian oleh orang-orang keji!

Uffhh! Ketika aku sudah hampir meloncat ke sungai yang pastinya akan menerima tubuhku, tiba-tiba aku merasakan tubuhku limbung dan terangkat.

"Nona! Apa-apaan kau ini?!"

Aku termangu tolol mendengar suara itu. Apakah itu suara anak buah Hades? Akhirnya, aku menoleh ke pemilik suara yang rasanya dekat dari telingaku.

Dan... akupun mendapati dia ternyata sedang merangkulku erat. Dia lelaki tinggi besar. Apakah dia jin? Jin penunggu sungai? Tapi kalau dia jin penunggu sungai, tentu dia akan bersuka cita menerimaku dan membawaku ke tempat Raja Hades, bukan?

Ternyata dia manusia.

"Nona! Jangan ngawur begini!" Dia masih berteriak padaku. Dan aku masih saja linglung ketika dia memaksaku menjauh dari bibir jembatan. Bahkan dia rela membopongku ke mobilnya. Ternyata ada sebuah mobil terparkir di tepi jembatan. Aku tak menyadarinya.

Aku linglung bagai orang idiot yang masih saja diam pasrah bahkan ketika dia memasukkan aku ke dalam mobilnya yang wangi permen. Sungguh membuatku nyaman. Akupun terpejam namun bukan tidur.

Kudengar dia sibuk menanyai aku. Tapi aku sama sekali malas merespon semua pertanyaan dia. Pandanganku tetap saja ke depan meski dia terus berceloteh entah apa di sebelahku dan mobil masih belum juga bergerak.

"Nona, siapa nama kamu?"

"Nona, halo? Nona? Kau dengar aku? Nona, kau kenapa? Apakah kau dari rumah sakit? Kau pasien rumah sakit di sana itu?"

Sepertinya dia sudah menemukan identitasku sebagai pasien rumah sakit dekat sungai ini dikarenakan pakaian rawat inap yang masih aku pakai. Terserah.

"Nona, aku kembalikan kamu ke rumah sakit, oke? Lihat, kau bahkan tidak pakai alas kaki! Ya ampun... kau ini kenapa?"

Karena tak tahan dengan kebawelan dia, akupun menoleh ke arahnya dengan tatapan malas. Tapi sepertinya dia menganggap aku sedang masa syok. Ah, ada betulnya juga. Aku sedang syok. Syok karena anakku direnggut dariku oleh bumi dengan bantuan orang-orang bajingan arogan!

"Jangan ke rumah sakit."

"Eh? Tidak ke rumah sakit? Kenapa? Tapi kau..."

"Turuti aku atau aku akan lari keluar dan meloncat ke sungai tadi..."

Hanya butuh kalimat itu yang aku ucapkan dengan lirih, dan dia langsung terdiam. Kemudian dia pun bersikap tenang, arahkan tatapan ke depan dan mulai lajukan mobil.

Bagus. Aku suka lelaki yang patuh.

Dengan begini aku tak akan dipusingkan dengan macam-macam hal mengenai rumah sakit. Aku tak mau bertemu mereka semua. Siapapun itu.

Aku hanya tatap kosong jalanan di depan sana. Entah sudah berapa lama mobil ini terus melaju bergerak dengan tenang dan stabil. Pria itu juga tidak berceloteh apa-apa lagi usai ucapan tegasku tadi.

Karena kupikir aku akan aman-aman saja dan tidak perlu kembali ke rumah sakit terkutuk itu, aku mulai pejamkan mata dan menikmati keheningan.

Aku... lelah.