[] Akhirnya Terkuak []
Kami berdua sudah berada di sebuah resor di salah satu pantai pariwisata di Bangkok. Iya, di Pattaya. Akhirnya aku berhasil juga sampai di Bangkok. Mmh~ terserah juga, sih mau di mana, asalkan berbau liburan keluar negeri, siapa yang bisa menolak?!
Ren sudah mem-booking salah satu vila hunian di InterContinental Pattaya Resort. Semalamnya bisa mencapai delapan belas juta rupiah! Aku sampai sesak napas ketika mengetahui harganya dari list harga yang tertera. Baru kali ini aku merasakan menginap di tempat yang semalamnya berbiaya setinggi itu.
Dan sepertinya itu hal murah untuk Ren.
Astaga, enak nian jadi orang kaya, yah! Pantas saja keluarga Wina dan keluarga Hastomo ingin terus melanggengkan kekayaan mereka dan tak mau melakukan apapun yang bisa memberikan resiko pada bisnis mereka.
Tak heran Tuan Benny keberatan untuk membatalkan pertunangan cucunya dengan ayahnya Wina. Huh! Ingat Tuan Benny, aku jadi ingat anakku dan kebencianku muncul kembali.
Oke, aku harus menurunkan semua amarahku karena sekarang aku di sini sedang menikmati liburan, lebih tepatnya menikmati hidup, yang entah apakah bisa terulang lagi untuk kedua kalinya dalam hidupku. Jadi... be free and having fun, girl!
Vila yang kami tempati di resor ini sangat menakjubkan. Segala fasilitas tersedia. Ada dua kamar yang bersebelahan dan di depan balkon kamar ada kolam renang kecil sehingga jika kami keluar ke balkon dan ingin langsung berenang, itu tinggal menceburkan diri saja.
Dan pemandangan laut biru yang cantik langsung terpapar dari jendela besar balkon kami masing-masing.
Sebenarnya vila besar ini muat untuk lima orang, namun Ren tetap menyewanya meski hanya dihuni kami berdua. Aku acungi jempol atas keborosan dia.
"Aku ini jarang berlibur dan menikmati waktu senggang, Rev." Begitu alasan dia saat kubilang dia boros membuang-buang uang seperti buang sampah saja.
Dari situ aku bisa memahami bahwa Ren kemungkinan besar jarang meluangkan waktu untuk bersenang-senang karena ditenggelamkan oleh pekerjaannya. Dia punya beberapa perusahaan! Tak heran dia salto-kayang untuk mengurusnya.
Jadi, momen konferensi entah itu dia manfaatkan sekalian untuk berlibur dari pekerjaannya. Dan membawaku... mungkin agar dia tidak bosan. Tapi dia bilang, ini agar aku juga tidak berlumut di rumah. Sialan! Dikira aku ini batu?!
Menjelang sore dengan cuaca yang mulai sejuk nyaman, aku dan Ren sudah duduk nyaman di tepi kolam depan balkon kamar kami masing-masing. Balkon itu menyatu meski kamar kami terpisah. Kami sudah berenang beberapa putaran sebelumnya.
"Kenapa kita gak berenang di kolam umum aja, sih Ren?" tanyaku iseng sambil memainkan air menggunakan kakiku. Tubuhku yang berbalut bikini warna merah masih basah.
Ren condongkan tubuh ke arahku dan majukan wajah mendekatiku. "Apa kamu lupa, kamu ini sudah jadi pacarku. Maka, aku tak mau orang lain dengan mudah menatap tubuh kamu."
Aku hampir tersedak. Ya, memang demikian kenyataannya. Aku sudah menerima Ren menjadi kekasihku kemarin malam di kolam renang di rumah dia. Hatiku mengatakan, Ren pantas mendapatkan cintaku.
Meski sebelumnya aku menderita sakit cinta, namun Ren perlahan-lahan menenangkan jiwaku dan menyusupkan jutaan keping kasih sayang tanpa syarat padaku agar aku mau membuka hatiku kembali.
Aku yang tadinya sudah tidak ingin mengenal cinta lagi, akhirnya luluh dengan kesabaran Ren yang merawatku sebulan dan membuatku sangat nyaman berada di dekatnya. Jadi, kenapa aku harus berlagak jual mahal.
Hatiku mengatakan iya, maka aku pun berkata iya pula. Ini karena, Ren telah berhasil menyentuh hati terluka milikku dan pelan-pelan mengobatinya tanpa putus asa.
Semoga ini bukan sebuah ilusi.
Menanggapi ucapan posesif Ren, aku hanya mendengus. Apalagi dia kini meraih pipiku dan mengelusnya sambil dahi kami saling melekat.
"Terlebih kamu punya tato Guns N' Roses. Aku tak mau mereka melirik tato indah kamu. Aku bisa terbakar cemburu," imbuh Ren lalu mengecup mesra bibirku.
Aku seketika melayang, terbuai tinggi akan kalimat berbunga dia. Aku tau lelaki memang paling pintar memberikan kalimat seindah surga, dan aku tidak keberatan, selama dia hanya milikku, dan milikku saja!
Aku kapok mencintai lelaki milik wanita lain!
Kami makan malam romantis di vila dengan konsep candle-light dinner yang dipesan oleh Ren. Meski begitu, kami tetap memakai pakaian santai saja.
Kami saling bersulang anggur sambil sama-sama tersenyum.
"Ini untuk merayakan hubungan manis kita, Rev."
"Oh ya?"
"Aku sudah mempersiapkan ini sebelum melamar cintamu."
Aku tergelak singkat. "Kalau misalkan waktu itu gue nolak kamu, gimana? Gue gak jadi diajak ke sini, dong!"
Ren menggapai pipiku untuk dia elus sekejap. "Aku tau aku takkan ditolak."
Aku mendecih. Tuan ganteng nan kaya ini sungguh memiliki rasa percaya diri yang besar!
Kami pun makan dengan berbincang akrab. Sesudah itu, kami meneruskan mengobrol dengan duduk santai di teras balkon sambil memandang ke laut yang tampak hitam dan luas. Menjelang larut malam, kami pamit untuk tidur di kamar masing-masing.
Ren mengatakan bahwa besok dia harus menghadiri sebuah konferensi yang berkaitan dengan bisnis dia. Dia ingin aku tetap tinggal di vila dan tidak kemana-mana agar dia tidak kuatir.
"Tinggallah di vila, jangan kemana-mana agar aku tidak cemas. Aku akan membawamu jalan-jalan setelah selesai konferensi," ucap Ren sebelum memasuki kamarnya setelah mengecup singkat bibirku.
Aku tersenyum-senyum bahagia di kamarku mengingat manisnya tingkah Ren padaku. Aku kini memiliki seorang kekasih. Benar-benar kekasih untuk diriku sendiri. Tidak lagi berbagi dengan siapapun. Hanya milikku.
Hatiku terasa hangat. Begitu pula dengan mataku. Tak kusangka setelah badai dalam hidupku, masih ada seseorang yang mau menawarkan sebongkah cinta untuk kupeluk.
Aku memiliki kekasih.
Itu terus kurapalkan sambil menangis haru dan tertidur.
Esok harinya, kami sempat sarapan berdua di vila sebelum Ren berangkat ke tempat konferensi bisnis. Siangnya, aku hanya berdiam di vila dan menikmati pijatan relaksasi dari petugas vila yang aku panggil ke vilaku. Tentu saja dia perempuan!
Kemudian aku berendam nyaman dan memesan makan siang, dan akhirnya tertidur.
Aku terbangun ketika merasakan ada yang mengulum bibirku. "Ren..." Suaraku serak karena habis bangun tidur. "Kau sudah pulang." Aku tegakkan tubuh di ranjang.
Ren tersenyum. "Maaf aku mengganggu tidur nyamanmu, my sleeping beauty... habisnya, aku tak tahan melihat bibirmu terbuka begitu ketika lelap, haha..."
"Sialan kau, Ren." Aku lempar salah satu bantal ke dia yang segera ia tangkap.
"Jadi jalan-jalan?"
"Jadiiiii!" sahutku penuh semangat.
********
Kami berjalan-jalan di pusat pertokoan pariwisata di Pattaya. Tidak membeli hal-hal yang merepotkan tangan kami. Hanya berjalan-jalan sambil memakan es krim dan saling merangkul. Kami benar-benar tampak seperti sepasang kekasih yang sedang mabuk cinta.
Ren mengajakku makan malam di sebuah restoran pinggir pantai yang cozy. Kami makan hidangan laut. Itu kegemaranku.
Lalu, dia mengajakku menonton pertunjukan lokal di tepi pantai. Kami tertawa riang dan saling menikmati suasana. Sesekali Ren melabuhkan kecupan ringan ke bibirku atau ke keningku. Ah, aku bahagia.
Memiliki kekasih secara eksklusif untuk diriku sendiri itu memang membahagiakan. Mengingat bagaimana dulu aku dan Wildan, terbuai dengan sikapnya, aku mendadak mengutuk ketololanku. Bermain api dengan kekasih orang lain. Mengharap cinta seratus persen dari kekasih orang lain. Itu sungguh tindakan paling tolol dariku.
Kami baru saja selesai menonton sebuah pertunjukan api dari penduduk lokal bersama turis lainnya dan akan berjalan ke arah resor kami, ketika tiba-tiba saja ada sebuah suara di dekat kami.
"Wah, gak nyangka Narendra Hastomo, putra haram Benny Hastomo ada di sini! Tumben sekali!"
Aku seketika menegang. Pandanganku linglung. Bahkan aku tidak menyadari Ren sudah bergulat di pasir dengan lelaki itu, saling memukul dengan sengit.
Ren... Hastomo? Narendra Hastomo? Putra haram... Benny Hastomo?!
Sepertinya lututku gemetar, tapi entah bagaimana, lutut itu kupaksa untuk kupacu berlari menjauh sejauh-jauhnya dari Ren.
Dia anak Benny Hastomo! Anak dari salah satu pembunuh anakku! Dia... dia masih memiliki darah Hastomo!
Aku tak tau aku di mana. Kakiku refleks saja berlari kencang melarikan diri dari Ren. Seketika, ketakutanku pada Tuan Benny Hastomo muncul. Pria tua itu kejam. Dia dengan seenaknya ingin membeli anakku, bahkan jika itu dengan cara memaksa.
Aku takut. Aku takut pada orang-orang yang terkait dengan lelaki tua itu. Aku... traumaku muncul. Aku harus menjauh sejauh-jauhnya dari Ren! Brengsek! Pria itu sepertinya sengaja tidak membuka identitasnya!
Apakah itu berarti dia mengetahui identitasku? Oh, sialan! Bedebah kau Ren! Apakah ini sebuah jebakan? Apakah Ren diperintah ayahnya untuk memikatku? Tak heran Ren kaya raya tidak normal! Lelaki seusia Ren tidak mungkin sekaya itu!
Oh, tololnya aku!
Dan kini... aku tak tau aku ada di mana? Tapi, yang penting aku bisa menjauh dari apapun yang berhubungan dengan keluarga Hastomo. Nama Hastomo hanya memberikan efek benci dan sekaligus takut padaku.
Hah! Aku sepertinya tersesat. Apalagi aku tak pernah ke Bangkok. Aku bakal menjadi gembel di sini! Sialan! Sialan! Sialan! Semua ini gara-gara Ren! Tidak, dia tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Aku juga salah. Ini juga dikarenakan ketololanku yang tidak pernah berkesudahan.
Aku terbuai oleh kebaikan Ren. Aku memasuki ilusi hatiku sendiri yang seakan-akan mengatakan aku akan aman dan nyaman bersama Ren.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Aku lelah berlari, dan akhirnya tiba di sebuah sudut pantai yang sepi. Aku meringkuk di bawah pohon, membenamkan kepalaku di lutut yang aku tekuk, terisak. Lagi-lagi aku menangis karena kebodohanku sendiri.
"Rev."
Aku seketika mendongak. Ren sudah berdiri di hadapanku. Wajahnya berdarah, tangannya juga. Rambutnya acak-acakan dan kaosnya robek tak teratur. Apakah dia bertarung atau terkena angin puting beliung?
Oh tidak! Aku harus menjauh dari dia! Maka, aku lekas bangun, bersiap lari. Jika harus menjadi gembel di negeri orang, sepertinya itu lebih baik ketimbang tertangkap oleh keluarga Hastomo.
Sayangnya, tanganku keburu ditangkap Ren. Aku berontak, namun Ren malah mendekapku erat.
"Rev, Rev, sayangku, kita bicara di vila dulu, oke?"
"Gak mau! Lo bohongi gue!" Akupun menanggalkan panggilan hormat padanya dan menggunakan 'lo' ke dia.
"Please, Rev, kasi aku kesempatan kasi penjelasan. Aku janji akan jujur semuanya dan kamu bisa bebas tanya apapun. Tapi jangan di sini. Please..."
Aku diam mematung dan menangis lirih. Dia memelukku dan membenamkan wajahku ke dadanya yang nyaman.
"Maaf, aku minta maaf kalau kamu harus tau dengan cara begini..." bisiknya sambil terus kecupi puncak kepalaku karena perbedaan tinggi kami cukup jauh.
"Lo bohong! Hiks! Lo pasti manfaatin gue! Hiks!"
Aku melanjutkan kebodohanku dengan membiarkan dia membopongku ke sebuah taksi yang akhirnya membawa kami ke vila kami.