[] Ciuman Pertama []
Dua minggu di rumah besar Ren, aku sudah mulai mau bicara menyahut setiap Ren mencoba mengajak ngobrol dengan topik-topik umum dan ringan. Bahkan kadang aku tak sadar tersenyum jika Ren melontarkan kalimat lucu.
Siang ini, Ren tumben sekali ada di rumah. Kulihat dia dari pagi sampai sesiang ini di dalam ruang perpustakaannya. Apakah dia maniak membaca buku?
Penasaran, aku mengintip di depan ruang perpustakaan dia yang tidak tertutup rapat. Ternyata dia sedang mengetik di ruang itu. Apakah dia sedang bekerja di situ? Menyaksikan Ren yang fokus pada layar laptop dia, itu terasa... seksi bagiku.
Aku menyukai pria yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bagiku, mereka terlihat seksi dan menawan dengan aspek khusus. Nilai plus Ren, dia tampan. Dan ketika dia sedang fokus bekerja begitu, itu sangat menarik di mataku.
Eh, kenapa aku jadi sejauh ini memikirkan dia?
"Revi..."
Deg!
Dia tau aku di sini! Memalukan! Lebih baik aku menyingkir saja!
Saat kakiku memutar akan melangkah meninggalkan depan pintu perpustakaan, terdengar suara Ren lagi memnggilku. "Revi, sini Rev!"
Aku terpaksa putar balik badan dan ragu-ragu mendatangi dia setelah melebarkan pintu ruang perpustakaan. Apakah ini hal yang tepat? Dia sedang sibuk bekerja pastinya. Aku pasti akan mengganggu dia.
"Um... Pak Ren sibuk kerja, lebih baik aku... aku keluar saja, yah!" Aku tertunduk, tak enak hati karena sudah mengusik aktifitas dia di ruang ini.
Tapi, Ren malah bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. Tiba-tiba, dia meraih pergelangan tanganku dan tersenyum sambil menarikku agar menuruti langkah dia.
Aku ingin mengibaskan tanganku, tapi kenapa tubuhku menolak otakku dan tetap saja aku patuh berjalan mengikuti dia dan bahkan aku tak membantah ketika dia mendudukkan aku di kursi yang semula dia pakai.
"Hangat." Astaga, kenapa aku malah bicara begitu! Tidak sopan, ya kan?
Tapi, Ren malah terbahak lepas. "Haha! Iya, kursinya hangat yah! Aku duduki dari pagi, sih!"
Aku tersenyum canggung.
"Rev, bantu aku dengan denah rumah ini. Kamu bisa gambar desain? Aku susah sekali menerapkan skala dan sudut-sudut ruangannya. Pusing daritadi!" keluh Ren.
Aku menatap layar laptop dan memang terpampang sebuah desain rumah. Karena aku memiliki basic ilmu desain dan komputer, tentu saja ini hal yang tidak terlalu sulit untukku. Apalagi pekerjaan begini, soal gambar pada komputer, adalah yang biasa aku kerjakan di kantorku dahulu.
Hanya butuh tak lebih dari satu jam ketika aku merampungkan segala yang membuat Ren pusing tadi.
Ren berdecak kagum menyaksikan pekerjaanku. "Wah, Rev! Kamu ternyata hebat banget! Untung aja ada kamu. Hm, kamu benar-benar penyelamatku, nih! Ayo, malam ini kutraktir makan di luar! Mau?"
Aku menatap mata Ren yang berkilauan memandangiku. Tergagu, aku mengiyakan usulnya.
Makan malam di luar. Itu hal yang belum terjadi semenjak aku ada di rumah ini selama setengah bulan ini.
Maka, malam ini aku sudah dibantu Mbok Yah berdandan. Ren membelikan gaun warna merah sederhana untuk makan malam kami. Gaun ini terbuat dari bahan tipis dan melekat ketat di dadaku dan melebar pada bawahnya, sangat feminin. Bahkan Ren juga membelikan sepatu yang senada dengan gaunnya.
Dari gaun yang kupakai, aku bertanya-tanya, mungkin Ren akan mengajakku makan malam di restoran mahal karena Ren sendiri juga memakai setelan jas meski dalamannya kaos oblong biasa. Dia tampak menawan.
Aku gugup duduk di sebelahnya di mobil. Kurasakan tanganku dingin semua karena kegugupanku. Kuremas-remas dengan gelisah tanganku sendiri.
Ren sepertinya mengamati gerakan kecilku itu. Langsung saja dia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. "Kau kedinginan?" Tanpa menunggu aku menjawab, Ren sudah meraih tombol pendingin udara di dasbor depanku dan memutar ke arah untuk mengecilkan tingkat dingin di sana. Tak lama, aku merasakan udara di mobil tidak sedingin sebelumnya.
"Masih dingin?" Dia kembali meremas sebentar tanganku untuk memastikan. Aku menggeleng dan tersenyum kecil. Lalu dia kembali fokus menyetir hingga tiba di restoran.
Ternyata tempat yang dia pilih benar-benar restoran kelas atas dan letaknya pun di puncak sebuah gedung. Ini restoran mahal! Aku bisa menghabiskan dua bulan gajiku untuk sekali makan di sini. Aku pernah membaca review tentang restoran ini di suatu majalah. Dan sekarang aku berada di restoran yang tadinya hanya ada di angan-anganku saja.
Membuka buku menu hanya membuatku pusing karena memakai bahasa yang tak kupahami. Entah itu bahasa Perancis atau Itali, aku tak paham. Ren menjelaskan dengan sabar semua menu yang aku tunjuk sebelum benar-benar ingin kupesan.
Akupun memesan sup daging yang entah bernama apa. Lidahku bisa terbelit jika memaksakan mengucapkannya. Bahasa asing yang aku ketahui hanya bahasa Inggris.
Mataku melirik ke arah luar jendela. Restoran ini berada di puncak sebuah gedung pencakar langit, dan tiap meja ada di sebelah jendela yang bisa memandang ke luar, sehingga akan tampak pemandangan kota. Apalagi jika malam begini, pemandangan dari restoran ini sangat menarik jika melihat kerlip lampu kota di bawah sana.
"Rev, apa kau mau bekerja untukku?"
Aku langsung tersadar dari lamunanku dan tolehkan wajah ke arah Ren yang memandangku lekat. "Bekerja untukmu?"
"Aku janji pasti akan membayarmu dengan layak, tak usah kuatir."
"Pak Ren, bahkan jika kau tidak membayarku pun, aku masih berhutang karena sudah menumpang hidup di rumahmu." Aku tersenyum malu. Sudah berapa lama aku tinggal di rumah dia dengan segala fasilitas yang kudapat secara gratis sejak awal?
Ren terbahak kecil. "Kenapa kau malah memikirkan itu? Haha! Hei, dan jangan memanggilku pak. Aku belum setua itu untuk kau panggil pak, Rev!"
"Tapi... kan Bapak..."
"Ssstt... cukup panggil Ren saja. Aku tak mau merasa diriku tua. Oke?"
Aku sudah akan menyahut ketika pelayan datang membawakan pesanan kami. Kami pun mulai sibuk dengan makanan kami masing-masing. Sup daging yang kupesan memang pantas dihargai tinggi. Tak heran banyak yang mereview bagus akan sup ini. Aku mengangguk-angguk puas akan rasanya.
Tiba-tiba, tangan Ren di depanku terjulur ke arahku. Aku mematung tak sempat bereaksi menghindar ketika jari Ren memulas ujung bibirku. Rupanya di situ ada secuil kuah sup kental yang menempel. Dan usai itu, Ren menyesap jari yang mengusapku tadi dengan mulutnya seakan-akan itu tindakan biasa saja.
Aku melongo sesaat. Apa yang dia lakukan tadi? Apa dia tidak jijik? Tapi Ren bersikap bagai itu sesuatu hal yang wajar dan tidak menggubrisku karena dia langsung asik dengan makanannya sendiri.
Akupun kembali pada makananku juga. Meski begitu, pikiranku kacau hanya karena ulah singkat Ren tadi. Tidak ada orang yang melalukan hal seperti yang dilakukan Ren tadi padaku sebelumnya. Tidak Wildan, ataupun lelaki lainnya yang pernah bersamaku.
Dengan pikiran berkecamuk tak karuan, aku berhasil menuntaskan sup dagingku dan meminum champagne yang dipesan Ren dengan alasan, ini adalah sebagai perayaan karena aku berhasil menyelesaikan pekerjaan sulit dia.
Dan entah apakah karena aku sedang ingin gila atau untuk menutupi kegugupanku, aku malah memesan Vodka. Ren terkejut namun detik berikutnya, dia tersenyum mengangguk ke pelayan untuk membawakan Vodka.
Aku melampiaskan perasaanku pada gelas-gelas kecil di depanku. Rasanya sudah ada tiga gelas Shot yang kukosongkan dengan Vodka, Rasanya, kemarahanku meluap saat cairan panas Vodka menguasai tenggorokanku dan mengalir ke perutku dan akhirnya kepalaku menjadi berat. Aku jadi teringat amarahku pada orang-orang jahat yang menyakiti anakku.
Ren menahan tanganku ketika aku hendak menuang Vodka di gelas keempat. "Ayo pulang."
Aku patuh dan berdiri. Namun, aku agak terhuyung dan Ren pun lekas menangkapku dan membimbing aku keluar dari restoran.
Di dalam lift, aku terdiam hanya berdua dengannya saja. Lalu, tiba-tiba, aku menangis tanpa sebab. Ah, tidak, aku menangis karena teringat anakku. Oh, anakku malang...
Ren segera meraih aku dan membenamkan wajahku di dadanya. Aku makin terisak dan memukuli dadanya seakan dengan begitu aku bisa melampiaskan amarahku.
Ren meraih daguku, aku tak peduli akan wajahku yang sudah kacau balau akan air mata dan mungkin juga ingus. Ia menatapku yang masih terisak tak berdaya.
Kemudian, tanpa aku duga, Ren merunduk dan sentuhkan bibirnya ke bibirku. Dia melakukannya dengan penuh kelembutan. Lalu dia pun melepaskan ciuman lembutnya.
Aku merasa limbung dan kehilangan. Aku... ingin lagi. Maka, aku meraih tengkuk Ren dan satukan kembali bibir kami sembari lift terus melaju turun ke lantai dasar.
Bibir kami saling memagut, saling menghisap seakan tak ada yang mau kalah. Ini lebih agresif dari yang sebelumnya. Tak ada kelembutan, hanya memacu cumbuan ke level yang lebih posesif.
Aku memeluk erat leher Ren dan dia juga memeluk pinggangku seraya sesekali mengelus punggungku.
Ting!
Cumbuan panas kami langsung berakhir setelah kami mendengar denting lift menandakan kami sudah tiba di lantai tujuan. Ren mengambil saputangan dan menyeka wajah basahku. Bahkan dia memberikan saputangannya agar aku bisa lebih leluasa membersihkan hidungku yang seperti meleleh mengerikan. Semoga ingusku tadi tidak masuk ke mulut Ren saat kami berciuman.
Ketika kami mulai keluar dari kotak lift untuk berjalan ke mobil Ren di parkiran basement gedung tersebut, aku menangkap sosok yang amat kukenal. Velinda dan seorang pria. Aku cepat-cepat menundukkan kepala dan menggunakan saputangan Ren untuk menutupi sebagian wajahku.
Ren melirikku dan mungkin dia curiga pada sikapku yang seakan sedang menghindari seseorang. Terserah. Pokoknya aku tak ingin Velinda bajingan itu melihatku! Dia pembunuh! Pembunuh anakku! Sampai kapanpun takkan pernah aku maafkan dia meski dia berlutut memohon ampunku!
Maaf, aku bukan orang suci yang akan mudah memaafkan seseorang yang sangat menyakitiku. Aku masih manusia fana yang penuh dosa dan benci. Jangan mengharapkan aku untuk bertindak mulia.
Di mobil, aku diam berjuta bahasa. Ren tampaknya paham kalau aku sedang ingin tenang tanpa diganggu. Dia menyetir ke rumah dengan tenang pula tanpa mengusikku. Terima kasih jika dia mau mengerti situasiku.
Sesampai di rumah Ren, dia mengantar aku ke kamarku. "Met malam dan met tidur, Revi. Terima kasih atas hari ini. Sampai ketemu besok pagi, yah!" Ia meraih kepalaku dan mengecup ringan keningku sebelum pergi dari kamarku.
Aku termangu sejenak meski dia sudah keluar dari kamarku. Aku linglung sambil menyentuh kening yang sudah ada jejak kecupan Ren. Aku tersenyum kecut. Hatiku seketika hangat. Air mataku tumpah lagi.