Chereads / Ilusi Hati / Chapter 8 - Ilusi 8

Chapter 8 - Ilusi 8

[] Bujukan Tante Eva []

Akhirnya diputuskan bahwa nanti aku pulang akan diantar oleh Pak Rofiq bersama dengan Mbak Rinda. Beliau punya tempat kos-kosan dan masih ada dua kamar kosong yang bisa kupilih karena memang tempat di rumah kontrakan Mbak Rinda kurang pantas untuk kutinggali karena kamarnya terlalu kecil dan aku juga yang memaksa untuk mandiri di tempat lain tanpa merepotkan siapapun.

"Lo yakin kagak kuatir ama si barbar itu, Nev?" Mbak Rinda agak keberatan dengan rencanaku untuk menyewa salah satu kamar kos Pak Rofiq.

"Gak apa, Rin," sela Pak Rofiq yang menyetir, menyahut ke Mbak Rinda yang duduk di sebelahnya. "Tempat kosku aman, jangan kuatir. Nanti aku bakalan bilang ke semua penjaga untuk ikutan jagain Nevia dan gak biarin siapapun gampang nemui dia."

"Tapi, gimana kalo..."

"Udah, tenang aja, Rin." Pak Rofiq kembali bersuara saat mobil berhenti di lampu merah. "Nevia ini aku yakin perempuan kuat, ya kan Nev?"

"Ya, Pak." Aku hanya bisa menyahut demikian. Memangnya aku harus mengumbar kecemasan dan ketakutanku di depan mereka? Cukup aku saja yang tau bahwa aku sebenarnya takut. Tapi, setakut-takutnya aku, tetap saja ini harus kujalani, sepahit apapun.

Ini sudah menjadi pilihanku semenjak pertama. Maka, aku tak mungkin akan berbalik hanya untuk melarikan diri dari ini. Maka, aku tegarkan hatiku dan berharap aku akan kuat menghadapi apapun nantinya.

Kami tiba di areal kompleks kos milik Pak Rofiq. Cukup besar juga. Bangunannya bertingkat dua dan bangunan kos berdiri kokoh mengelilingi sebuah lapangan biasa. Pak Rofiq menyarankan aku untuk mengambil kamar kos yang ada di lantai bawah saja karena kehamilan besarku takkan nyaman jika harus naik-turun tangga.

Untung saja ada kamar kosong di lantai dasar. Rupanya, sebelum kami datang, kamar itu sudah dibersihkan terlebih dahulu oleh pekerja Pak Rofiq. Di sana ada lima pekerja yang bertugas menjaga dan merawat lingkungan. Dan jumlah total kamar kos ada empat puluh, dua puluh kamar di atas dan dua puluh kamar lainnya di bawah.

Selain itu, di dekat pintu gerbang masuk kompleks kos juga ada bangunan rumah tempat para pekerja tinggal.

Nomor kamar kos milikku adalah 17. Nomor yang aku sukai. Aku mengucap banyak terima kasih pada pak bosku ini. Tak dinyana orang yang sering tampil galak dan tegas di kantor, dia sangat membantuku saat ini.

Barang-barangku di tempat rumah kontrakan Mbak Rinda sudah dipindahkan ke kosku. Sekarang, aku akan memulai menjalani hidup baruku sebagai Nevia, calon ibu muda.

Malam ini adalah malam pertama aku tidur sendirian di tengah hiruk-pikuk penghuni kos lainnya. Tak ada satupun dari mereka yang mengusikku. Mungkin Pak Rofiq sudah memberikan perintah pada seluruh penjaga dan warga kos untuk tidak menggangguku dulu saat ini.

Kuanggap itu sebagai tindakan kebaikan dari Beliau yang mampu menghangatkan hatiku.

Rebah di kasur kecilku, aku memandangi langit-langit kos yang sederhana berwarna krem, aku tersenyum sambil mengelus perut besarku. "Nak, Mama udah gak sabar pengin liat kamu. Kamu harus kayak Mama aja, yah! Jangan kayak Papa brengsek kamu!"

Meski aku menghujat Wildan di depan anakku, toh aku masih juga ulaskan satu senyuman. Mungkin secuil sudut hatiku mulai tergelitik akan sosok Wildan. Atau... sebenarnya itu sudah lama? Entah, aku tak ingin banyak mencari tau mengenai itu. Aku hanya ingin rebah dan tidur dulu malam ini.

*****

"Nev, coba deh lo bikin draft yang ini agak miring angle-nya. Lalu ntar lo bisa kasi tambahan interior di sini dan sini." Bang Fandi sedang memberikan koreksi kecil pada draft yang aku buat sebelumnya sambil dia merunduk di dekatku dan kami sama-sama menatap komputer di atas meja kubikelku.

"Oke, oke, Bang. Berarti yang ini geser ke sini... lalu yang ini... hapus aja, yah!"

"Sip! Itu juga sip!" Bang Fandi tegakkan punggungnya sambil menepuk ringan bahuku tanda puas akan eksekusiku. "Ini harus kelar minggu depan, loh! Klien udah ngejar-ngejar terus!"

"Iya, iya, Bang! Jangan kuatir!" Aku berikan senyum simpul seraya naikkan ibu jariku. Dia pun pergi dari kubikelku untuk ke tempat lainnya, memeriksa pekerjaan rekan lainnya.

"Maaf, Pak! Anda tidak bisa langsung saja-"

"Nev! Nevia!" Sebuah suara sudah menerjang memasuki ruangan kantor kami beserta sosok tampannya.

Aku menjulurkan kepala keluar dari kubikelku ingin tau. Lebih tepatnya, ingin memastikan apakah orang yang berteriak tak sabar itu sesuai dengan dugaanku. Ternyata benar, dia di sana, berdiri sambil dipegangi dua sekuriti gedung.

"Nevia! Astaga, Nevia!" Wildan terlihat senang melihatku.

Rasanya aku ingin menampar kepala si tolol itu. Untuk apa juga dia datang kemari? Apakah semua keluarga Hastomo dan keluarga Wina akan bergiliran datang mencariku dan membuat onar di kantor ini? Memalukan!

Segera Wildan diseret ke ruangan Pak Rofiq. Aku pun memilih untuk melanjutkan pekerjaanku tanpa mau terganggu dengan urusan Wildan. Lagi pula, bukan kehendakku agar dia muncul di sini. Dan juga, draft ini sudah ditunggu Bang Fandi!

Setengah jam berikutnya, ruangan Pak Rofiq sudah dimasuki juga oleh Bang Fandi, Mas Topo, dan Bang Zum. Semua senior kantor ada di sana, dan sepertinya sedang mengadili Wildan. Baguslah. Aku tak perlu repot-repot mengoceh padanya.

Tak lama, datang seorang wanita anggun. Ibunya Wildan. Mungkin Beliau menunggu lama di mobil di parkiran dan akhirnya tak tahan dan mendatangi kantor. Untuk yang kali ini, aku terpaksa menemui Beliau. Bagaimanapun, Beliau ini sudah baik padaku selama di rumah sakit sebelumnya.

Aku membawa Tante Eva ke ruangan Mbak Eri, bersama Mbak Rinda juga.

"Kamu kenapa lari dari rumah sakit, Nevia?" Tante Eva mengelus pipiku. Apakah ini tandanya Beliau menganggap aku ini menantu dia? Tenangkan hatimu, Nevia, dan tak perlu berkhayal tinggi.

Aku dan Tante Eva duduk di sofa ruangan Mbak Eri. Sedangkan pemilik ruangan ini duduk di kursinya bersama Mbak Rinda di seberangnya. Mereka termasuk senior wanita di kantorku.

"Nev takut, Tante..." jawabku jujur.

Sikap Beliau lebih lembut lagi padaku. "Takut kenapa?"

"Takut dengan Tuan Benny dan pengacaranya."

"Apa Eyang Ben sungguhan bicara gitu ke kamu?"

Berdasarkan kalimat dari Tante Eva, aku bisa meraba bahwa keputusan Tuan Benny dilakukan sepihak tanpa berunding dengan anak dan cucunya.

Aku mengangguk. Aku yakin Tante Eva sudah mengetahui semuanya.

Tante Eva mengelus perutku yang besar seakan-akan itu akan meledak saking besarnya. Ah, atau akunya saja yang berlebihan. Padahal ini baru memasuki bulan kedelapan. Masih ada sebulan lagi sebelum akhirnya aku akan bertemu muka dengan anakku tercinta.

"Nevia, jangan lari lagi. Tante akan coba bicara lagi ma Eyang Ben. Tante tidak ingin ada apa-apa dengan anak ini..." Beliau mengelus terus perutku penuh sayang. "Gimana juga ini cucu Tante. Ini cucu Tante yang berharga. Tante inginnya sih kamu ikut Tante biar kamu gak kenapa-kenapa."

Kali ini aku menggeleng. Ketakutanku pada keluarga Wina sama takutnya dengan keluarga Hastomo. Selama Tuan Benny masih berkeras membeli anakku dan melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan, aku takkan bisa menyerahkan kehidupanku ke keluarga itu.

Aku hanya ingin diterima apa adanya tanpa menjadi komoditi dagang mereka. Kalaupun mereka tidak menerimaku, maka mereka harus menjauh dariku dan dari anakku. Semudah itu saja keinginanku.

"Tante... aku nggak mau lagi dikejar-kejar siapapun. Aku maunya hidup damai aja ama anakku, Tante. Bisa?" Mukaku tampil memelas. Bahkan aku menahan air mataku agar tidak jatuh.

Tante Eva mendesah sebentar sebelum menjawabku, "Sebenarnya Tante juga nggak setuju dengan keputusan Eyang Ben. Tante maunya semua damai-damai saja, nggak perlu ada konflik apapun. Tante hanya akan memilih apa yang dipilih Wildan. Itu saja sikap Tante."

Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa Tante Eva lebih memilihku dibandingkan Wina. Itu karena Beliau sudah menyaksikan sendiri betapa anaknya terus saja membujukku menjadi istrinya.

"Tante, Nev cuma nggak mau dipisahkan dari anak ini. Itu aja kok kemauan Nev. Terserah kalau Wildan mo nikah ma Wina, asalkan anakku masih jadi anakku." Aku menegaskan ini.

Kulihat raut sedih Tante Eva yang manggut-manggut menatapku. "Tante akan coba untuk bicara sekali lagi ke Eyang Ben."

Oh, jadi Tante Eva sudah melakukan pembicaraan tentang ini sebelumnya. Dan aku yakin Tuan Benny tidak tergerak dan tetap pada rencana semula, pernikahan Wina dengan cucunya agar perjanjian bisnis dia tidak gagal.

Aku masih teringat akan penawaran untuk menjadi istri kedua Wildan, tapi rasanya aku tidak berminat. Aku menginginkan lelaki yang hanya milikku sendiri! Aku tak sudi berbagi. Sudah cukup ketololanku berbagi Wildan dengan Wina sebelumnya.

Namun, ini bukan berarti aku bersikeras agar aku menjadi satu-satunya istri Wildan. Tidak menjadi istri dia juga tak masalah. Yang penting kehidupanku dengan anakku tidak diusik mereka. Itu saja!

"Nev," lirih Tante Eva sambil menggenggam satu tanganku dengan kedua tangannya yang belum berkeriput. Tampaknya Beliau sudah menjalani perawatan kelas tinggi begitu kembali ke keluarga Hastomo. "Gimana kalau kamu tinggal di salah satu rumah Tante sambil menunggu Eyang mau nerima kamu?"

"Enggak, ah Tante." Aku menggeleng pelan. "Aku udah punya hunian sendiri, kok."

"Di mana?"

"Maaf, Tante... Nev nggak bisa kasi tau. Soalnya, Nev kepingin hidup tanpa gangguan dulu untuk saat ini."

"Tapi kamu udah segini besar perutnya, Nev... Kamu dah hampir lairan, kan?"

"Nev pasti akan baik-baik aja selama tidak diganggu, kok Tante." Kusunggingkan senyuman agar Beliau yakin dengan tekadku.

"Nanti Tante minta Wildan kirim vitamin dan obat penguat lainnya untuk kamu, yah! Kirim ke sini nggak apa-apa, kan?" Tante Eva menoleh ke Mbak Eri dan Mbak Rinda yang duduk tenang mendengarkan pembicaraan aku dan Tante Eva sedari tadi.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Nanti pasti akan sampai ke tangan Nevia." Mbak Eri lekas menjawab.

"Kami semua di sini sayang ma Nevia, Bu," imbuh Mbak Rinda. "Pasti kami akan jaga dia sebaik-baiknya."

Tante Eva tersenyum ke mereka berdua. "Kalau gitu, titip Nevia, yah. Tolong bantu Tante jagain dia."

"Jangan kuatir, Bu."

"Siap, Nyonya."

Tak lama, pintu ruangan Mbak Eri dibuka oleh Bang Fandi. Wildan ada di belakang dia dan masuk. "Vi..."

Aku senyum sambil melepas genggaman tangan Wildan. "Anter Mama kamu pulang, gih."

"Beneran kemarin Velinda ke sini bikin ribut di sini?" Wilda menanya sambil terus menatapku sambil berlutut di depanku.

Mata Tante Eva membelalak lebar. "Apa? Velinda bikin ribut di sini?"