[] Yang Tak Diharapkan pun Terjadi []
Aku memang bodoh. Sekaligus tolol, sebagai bonusnya,
Huft!
Janin sialan ini akhirnya aku pertahankan. Ini semua gara-gara hasutan muka memelas dua orang terdekatku. Iya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Wina dan Wildan? Walau mereka mengibanya di tempat dan waktu yang berbeda.
Keduanya tau aku ingin membuang janin ini, dan mereka kompak memohon padaku untuk mempertahankan. Wina malah sampai berlutut di depanku. Ah, dia memang lebay. Tapi aku tau, dia ini orangnya tak bisa melihat sesuatu hal yang berbau kekejian, apalagi aborsi.
Kalau Wildan bajingan itu, dia akhirnya paham kalau aku hamil anak dia, bukan anak bule. Gila saja! Walaupun aku ngefans gila pada Axl Rose, tapi aku tidak pernah tertarik sedikitpun kalau ada bule sungguhan di dekatku. Maka, dia juga sama mengibanya seperti pacar dia ke aku.
Ironis, tidak sih?
"Gue ngapain pertahanin ini, cobak?" Ini di suatu sore sepulang kerja saat Wildan dan aku bertemu secara rahasia di kafe kecil dekat kantorku.
Wildan menggenggam tanganku yang ada di atas meja. "Please, Vi, very very please, jangan gugurin. Ini adalah bukti cinta gue ke elu," mohon Wildan.
"Dasar tembelek busuk lu! Bukti cinta apaan? Bukti napsu mah iya!" semburku dengan nada tinggi. Beberapa orang menoleh. Ah, bodo amat! Aku tarik dua tanganku dari genggaman Wildan, lalu lipat di depan dada. Pandangan kuarahkan ke spot lain yang sekiranya lebih layak ketimbang muka brengsek Wildan.
Sumpah, aku merasa benci tingkat akut ke pria di depanku ini. Ingin kucakar-cakar muka gantengnya supaya jelek, buduk, dan takkan laku lagi di mata siapapun! Hengh! "Lu mah enak, tinggal bilang gitu, lalu liatin gue yang kian hari ntar kian melendung, bengkak, bahkan ntar juga gue sendiri yang susah payah ngejan. Kalo lu mau gantian ngerasain itu semua, gue rela-rela aja pertahanin ini!" Semburanku makin panjang.
Wildan menunduk. Hah! Bingung, kan? Coba dia di posisiku. Sanggup?
"Lu cuma bagian enak doang, ngentotin gue sana-sini, giliran dah kayak gini, apa lu ngerasain susah sakitnya? Belom lagi kalo ntar gue matek waktu ngejan, misal kelelahan, atau komplikasi, atau kehabisan darah." Nyanyianku tambah pedas.
"Maaf. Maaf, Vi. Iya, gue tau gue yang salah, walo gue jujur aja seneng banget lu hamil anak gue." Akhirnya dia berani memandang padaku. Hengh! Mana pisau? Kucakar muka dia pakai pisau saja!
Aku pun bangun dari bangku kafe, dan melangkah pulang dengan langkah tegas, tak perduli Wildan sibuk memanggilku.
Dan di sinilah aku, lima bulan kemudian, dengan perut sudah mulai terlihat membengkak. Semua orang kantor sudah tau aku hamil, dan mereka mengira itu anak Wildan (yang memang hal tersebut benar adanya). Karena mereka taunya Wildan adalah pacarku, bukan selingkuhan. Untung saja tak ada satupun rekan kantorku kenal dengan Wina, atau aku bisa dimutilasi beramai-ramai.
Wina dan Wildan menjagaku dan janinku dengan cara mereka masing-masing. Aku rasanya seperti punya dua suami. Semuanya berebut memberikan perhatian, meski dari Wildan selalu diam-diam tanpa sepengetahuan Wina.
Suatu sore di kehamilan bulan keenamku, Wina berbincang denganku di balkon apartemen sembari dia mengupaskan apel untukku.
"Ada berita aduhai banget nih, shay!" Mukanya berseri-seri. Ada apa, yah? Dia dapat promosi di kantornya?
"Apaan tuh?" tanyaku sambil mengambil potongan apel yang sudah dikupaskan Wina.
"Pernikahanku bakalan dipercepat!" ucapnya riang sambil menatapku diiringi senyum terang-benderang menyilaukan.
Apel yang kugigit seketika berhenti saja di atas lidah. Mendadak aku lupa mengunyah, dan bahkan hampir lupa bernapas. "A-apa? Gimana, beb?" Untung saja itu hanya sekian detik, dan aku pun melanjutkan kunyahan yang sempat terhenti, meski rasanya aku seperti sedang mengunyah batu bata. Alot.
Wina mengangguk cepat. "Tau gak, ternyata Wildan itu cucu orang kaya, loh! Cucunya Benny Hastomo! Yang punya Astama Grup! Salah satu orang terkaya di Indonesia, shay!" jelasnya berapi-api.
Aku harus mencerna baik-baik ucapan Wina, sebaik aku mencerna apel yang masuk ke lambungku. Wildan... cucu salah satu orang terkaya di Indonesia? "Kok-"
"Kaget, kan? Pasti surprise, ya kan?!" Wina memainkan matanya, naik-turunkan alis. Aku mau tak mau harus mengangguk. Ayolah cepat beri tau aku! "Ternyata, mamanya Wildan itu anaknya Benny Hastomo yang kawin lari dengan papanya Wildan, karena gak direstui. Nah, setelah papanya meninggal beberapa tahun lalu, kakek dia nyariin anaknya, dan akhirnya ketemu! Kemarin mamanya Wildan dan kakeknya dateng ke rumah ortu gue, ngebahas soal pernikahan. Bahkan Opa Ben ngasih duit sebagai ganti kemarin gue biayain operasi Mama Eva. Opa Ben juga udah ngasih duit untuk bea nikahan gue ma cucunya! Ya ampun, shay... gue beneran gak nyangka! Bayangin, cucu salah satu orang terkaya di negeri ini, loh! Opa Ben juga langsung akrab ama papa karena mereka sama-sama pebisnis. Hihi!"
Telingaku berhenti bekerja di kalimat mengenai membahas soal pernikahan. Selanjutnya, gue tidak tau lagi Wina bicara apa. Otakku bagai mandek, dan justru melemparkan aku ke lamunan.
Padahal beberapa hari lalu Wildan sempat berjanji bahwa dia akan minta putus dari Wina dan bertekad menikahi aku. Dia rela dicaci-maki seperti apapun nantinya oleh keluarga Wina. Kalau perlu, biaya operasi ibunya bakalan dia tebus meski harus berbulan-bulan mengumpulkan duit. Itu semua demi aku. Demi aku dan anak di perutku yang sekarang rajin bikin tendangan ke perutku sampai membuatku kaget-kaget terharu.
Oke, waktu Wildan berkoar janji seperti itu, aku mendadak terharu dan penuh akan sebuah harapan sewaktu mendengar. Makanya aku biarkan sewaktu dia menciumi perut besarku sambil mengelus-elus.
Harapanku sempat muncul. Kami berdua sepakat akan jujur ke Wina meski apapun ucapan pahit dari Wina dan keluarganya nanti. Bahkan, kami sudah mulai merancang bagaimana masa depan kami selepas jujur dari Wina.
Tapi... semuanya dihempas kenyataan kakeknya Wildan milyuner terkenal, dan dua keluarga sudah membahas mengenai pernikahan segala.
Wildan cucu milyuner. Dia dan Wina makin serasi. Dan aku? Cuma ampas tahu di antara mereka. Apalah aku yang hanya anak yatim piatu. Ayah meninggal sewaktu aku masih kecil, dan ibu meninggal setelah aku lulus kuliah. Tadinya aku merasa Wildan satu nasib denganku sebagai anak yatim. Tapi sekarang... rasanya dia ada jauh di langit sana, siap meninggalkan aku yang masih menapak di bumi. Aku merasa sungguh super jelata, dan Wildan adalah dewa yang bertahta di langit.
Sedangkan Wina? Tentu saja dia seorang dewi tanpa cacat yang mendampingi Wildan, si dewa di kahyangan sana. Aku cuma jelata rendahan.
"Shay? Shaayy?"
Aku tersentak, lamunan seketika buyar, tergantikan wajah Wina yang ada di depanku dalam jarak tak lebih dari sepuluh sentimeter. "Eh? Ya, beb?" Tuh, kan... aku jadi gelagapan.
"Lu lagi ngelamunin apa, sih, shay? Dengerin omongan gue kan?" Wina belum mundurkan wajahnya, membuatku tambah salah tingkah.
"Eh, ah, anu, iya, denger. Dengerin, kok!" kilahku. Barulah wajah manis Wina menjauh meski senyumnya terus saja menempel di sana. Dia bahagia. Terlihat sangat jelas. Apakah aku mampu merusak wajah bahagia itu?
Wina sepertinya percaya. Buktinya, dia tidak mendesak menyuruhku menceritakan ulang semua ucapan dia. Hey, untuk kau tau, Wina ini bisa dikategorikan sangat bossy. Itu yang sering dikeluhkan Wildan kepadaku.
Wina kerap menyuruh Wildan dalam hal apapun tanpa suka dibantah. Kadang memang keterlaluan, sih, karena aku sering melihat sendiri. Mungkin karena Wina anak tunggal, terbiasa semua kemauannya dituruti. Apalagi Wina sering membantu finansial Wildan.
Ah, dia dan Wildan sama-sama anak tunggal. Mereka kian serasi saja. Aku? Aku punya kakak kandung, tapi kakak brengsek itu entah di mana sekarang. Dia mati pun aku tak perduli. Aku bersyukur kakakku minggat dari rumah sejak lulus SMA dengan alasan tak betah dengan ibu yang tak punya duit banyak. Mati saja kau, Kak!
Ibu sempat stres beberapa bulan atas perginya kakakku dari rumah. Aku yang terus saja membesarkan hati Ibu, memberinya semangat untuk terus bertahan hidup dan meneruskan usaha katering kecil-kecilan Beliau. Toh, ibu mampu menguliahkan aku walau dengan uang terbatas. Maka dari itu, aku terpukul ketika ibu tiada sebelum aku sempat membalas budi Beliau.
Ah, hidupku memang pahit, meski aku tak pernah mengeluhkan itu. Aku bukan orang cengeng kayak kakakku. Aku ini kuat, karena aku masih punya kaki dan tangan sehat beserta otak waras, makanya aku selalu yakin tetaplah ada cahaya di ujung lorong gelap, asalkan aku mau terus maju berjalan hingga ke ujung lorong.
Bulan keenam akhir kehamilan ini, aku jalani dengan lesu. Aku sudah bisa menebak sikap macam apa yang bakal diambil Wildan. Dia pengecut. Ini aku tau dari diamnya Wildan meski tadinya dia menggebu-gebu akan mengaku pada Wina. Taik kucing! DIA MEMANG TAIK KUCING, LELAKI KARDUS!
Lihat, sekarang pun dia menunduk layaknya ayam sayur di depanku saat membicarakan mengenai kehamilanku. Kami bertiga, plus satu teman pria Wildan sedang jalan-jalan ke mal. Wina mengajak kami keluar, sekalian ingin belikan aku daster baru dan baju-baju bayi. Padahal di kamarku sudah menumpuk berbagai baju bayi dari Wina. Astaga. Aku harus sujud minta ampun ke Wina.
"Kasi gue waktu, Vi. Gue juga kaget waktu Opa tiba-tiba muncul. Gue... gue..." tutur Wildan sewaktu kami bisa berduaan di salah satu food court, karena Wina sedang ingin memasuki suatu butik, dan teman Wildan sedang memesankan makanan untuk kami.
"Waktu apaan lagi? Lu udah keliatan, Dan! Gue tau lu gak bakalan punya nyali. Udah lah! Mendingan gue nyari cowok laen aja yang bisa gue jadiin lakik gue."
"Gak boleh!" tegas Wildan sambil melotot ke aku.
"Eh, apa hak elu ngelarang gue nyari lakik? Emang lu siapa gue, heh?" Aku membalas melotot ke Wildan. Memangnya hanya dia saja yang bisa begitu?
"Pokoknya gak boleh! Elu milik gue! Cuma milik gue, Vi!" Dia berkeras.
Aku terkekeh mengejek ke dia. "Milik elu? Sejak kapan? Gue adalah milik gue sendiri! Termasuk anak gue ini!"
"Gak! Lu milik gue! Anak lu juga milik gue! Itu anak gue!" seru Wildan ngotot.
"Hebat banget lu ngaku-ngaku nih anak?" sinisku.
"Yah jelas, dong! Itu dari benih gue! Maka itu adalah anak gue!"
Aku kibaskan tangan. "Udah, gue dah males ngomongin gini ma elu. Gue berharap, lu bahagiain sohib gue, perlakukan dia dengan bener, ato gue bakalan bunuh elu!"
"Vi, please-" Wildan meraih tanganku di meja, tapi segera dia tarik tangannya begitu temannya muncul membawa baki berisi pesanan untuk kami.
Seketika aku dan Wildan bersikap canggung.
"Wah, wah, lagi tegang bener, yah? Ganggu, gak?" tanya si teman. Dia mulai duduk.
"Wina mana?" tanyaku.
"Tadi gue liat udah balik ke sini, walo kayaknya sih dia cuma berdiri di deket pilar itu," tunjuk si teman ke sebuah pilar tak jauh dari meja kami. "Tapi, abis itu dia kok lari sambil nangis, yah?"
Aku dan Wildan langsung panik. Kami paham kenapa Wina menangis.
"Buruan kejar, Dan!" teriakku, dan Wildan segera bangkit dan lari memburu Wina. Mungkin ke arah depan mal, karena kami ke sini menggunakan mobil Wildan. Pasti Wina lari pulang setelah mencegat taksi.
Aku seketika cemas. Mataku gelisah melirik ke sana-sini. Tangan tanpa sadar kuremas-remas dengan sikap gamang.
"Ada apa, sih?" tanya teman Wildan.
Pandanganku beralih ke dia. "E-enggak. Emhh... semoga Wina gak kenapa-kenapa. Bentar, gue telepon Wildan dulu." Aku buru-buru ambil ponsel di tas, dan men-dial nomor Wildan. Tak lama kami tersambung. "Gimana, Dan? Ketemu, gak? Oh, oh, um, oke, iya gue tau, oke." Telepon pun diakhiri. Aku bangun dari kursi. "Wildan nunggu kita di parkiran. Yuk!"
Bangkit berdiri secara susah payah karena perut besar, aku dan teman Wildan berjalan ke area parkiran mal.
Wildan gagal menemukan Wina. Telepon pun nihil, tidak diangkat, dan akhirnya dimatikan oleh Wina. Ya Tuhan, aku yakin Wina mendengar keributanku dan Wildan tadi. Astaga, aku tak henti-hentinya mengutuk diriku sendiri. Aku juga terus berdoa dalam hati agar Wina tidak kenapa-kenapa.
Kami bertiga ke apartemenku untuk memulangkan aku, karena Wildan akan melanjutkan mencari Wina setelah tau tunangannya tidak ada di apartemen. Aku tak bisa apa-apa selain minta dengan sangat kepada Wildan untuk lekas menemukan Wina, memastikan Wina baik-baik saja kondisinya. Sumpah, aku super cemas sekarang! Dengan tidak aktifnya ponsel Wina, itu makin membuat aku panik.
Tuhan, aku janji, aku akan mengakui semua dan pasti bersujud mohon ampun ke Wina dan keluarganya. Kalau perlu, akan aku gugurkan bayi ini bagaimanapun caranya asalkan Wina baik-baik saja. Aku rela kehilangan bayiku jika itu bisa membuat Wina memaafkan aku. Ah, aku ini sungguh tak tau diri. Sudah begini, masih saja mengharapkan maaf.
Aku gelisah di apartemen. Mondar-mandir tak karuan tanpa perduli pinggul sudah pegal semua karena hamil besar. Bolak-balik cek ponsel, berharap ada kabar dari Wildan. Bolak-balik menelepon nomor Wina, meski hasilnya nihil terus.
Hampir tengah malam, ponsel-ku berbunyi. Nama Wildan terpampang di layar sebagai pemanggilnya.
"Gimana Win-"
"Wina masuk rumah sakit, Vi!"
Ponsel di tanganku nyaris jatuh demi mendengar kalimat dari Wildan. "H-hah?" Suaraku bergetar lemah.
"Wina ngiris pergelangan tangan dia di kamar dia, di rumah ortu dia tadi. Ini gue lagi ke rumah sakit!" Wildan terdengar panik, namun tak lupa menyebutkan nama rumah sakit tempat Wina dirawat.
Tanpa perduli lelah, aku ambil kunci mobil bututku, dan melaju segera ke rumah sakit yang disebut Wildan. Padahal ini berbahaya bagiku, hamil besar malah menyetir. Ah, bodo amat! Kalaupun aku mati kecelakaan karena kondisi ini, ya sudah. Mau bagaimana lagi? Yang terpenting, aku harus lekas ke Wina!