[] Tuan Benny Hastomo []
Sekarang, aku sudah di ruangan bersih, sejuk, dan berbau antiseptik ini bersama Tuan Benny Hastomo.
Beliau sosok yang tinggi dan gagah, seakan usia hanyalah rumor belaka jika menilik penampilan Beliau yang tidak ada tanda-tanda sudah hidup lebih dari enam puluh tahun. Hanya rambutnya yang sudah berwarna perak saja yang membuat orang percaya Beliau sudah tua.
Wajah tampan Beliau tidak disangsikan lagi menurun ke cucunya, Wildan. Aku tak percaya jika masa muda Beliau, dia tidak sempat menjadi seorang playboy dengan wajah dan kekayaan di atas rata-rata. Garis rahang Beliau juga tegas. Beliau tidak memelihara kumis ataupun cambang. Entah memang tidak ada bakat, atau Beliau rajin bercukur sehari-hari.
Sorot mata Beliau tajam menatapku yang masih terbaring lemah di ranjang inap. Aku agak gentar ditatap seperti itu, sampai-sampai aku mengelus perut besarku, seolah-olah aku mencari kekuatan dari sana.
"Nevia..." Aku menegang ketika Tuan Benny menyebut namaku. "... Anggita."
"Ya, Tuan Benny?" Aku tak punya rasa percaya diri berlebih untuk memanggil dia kakek apalagi eyang seperti Wildan padanya. Memangnya aku ini siapa Beliau, berani-berani sok akrab?
"Kau sedang mengandung anak dari cucuku, Wildan. Benar?" Suara Tuan Benny Hastomo terdengar kokoh dan mantap. Dia masih berdiri di dekat ranjangku. Kenapa tak mau duduk? Tidak lelahkah? Atau memang stamina Beliau hebat?
"Iya, Tuan. Saya saat ini memang sedang mengandung anak dari Wildan." Semoga suaraku yang bergetar ini terdengar semantap yang aku inginkan. Hei, tidak setahun sekali aku berbicara dengan seorang konglomerat negeri ini! Wajar jika aku gugup.
"Aku punya penawaran bagus untukmu, Nevia." Tuan Benny mulai melipat dua lengannya di depan dada, bersikap sangat kokoh dan percaya diri. Tapi entah kenapa, firasatku... "Anakmu aku beli. Kubeli dengan harga yang sangat tinggi, jangan kuatir."
Hatiku jatuh seketika. Firasatku ternyata tidak mengkhianatiku. Lelaki tua ini bilang apa barusan? Membeli anakku? Membeli?!
"Saya..."
"Atau kau bisa sebut saja berapa harga yang kau inginkan, tak masalah. Asalkan setelah kau melahirkan, anak itu menjadi milik keluargaku, dan kau bisa pergi dengan uang itu." Hebat nian! Sungguh hebat ucapan dari mulut tuan konglomerat ini?
Jadi, aku ini dianggap hanya pabrik anak bagi mereka? Aku hanya sebuah wadah yang memproduksi sesuatu untuk mereka? Begitu?! Kenapa nurani dan harga diriku sangat tercabik mendengar itu?
"Tidak, Tuan." Kumantapkan hati dan juga suaraku. Segila dan bejatnya diriku, aku tak mau menjual anakku. Meski seharga melebihi langit sekalipun! Anak ini adalah bagian dari diriku, mempunyai setengah nyawaku, dan tumbuh bersamaku hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit dan detik demi detik selama hampir tujuh bulan ini!
Dan mereka akan dengan entengnya mengatakan padaku hendak membeli anakku?!
"Nevia, saya harap kau tidak keras kepala." Oh, tuan konglomerat menunjukkan adidayanya dengan menyebut dirinya 'saya' dan tetap menyebutku 'kau', bukan 'Anda'. Segera aku tau posisiku di mata Beliau.
"Saya mensyukuri keras kepala saya ini, Tuan." Tatapan mataku mulai tegas agar Beliau mengerti bahwa aku memiliki sikap dan integritas sebagai seorang ibu, terlepas dari sebajingan apapun aku ini!
"Nona Nevia..." Beliau masih belum menyerah membujukku. Atau sebenarnya ini adalah sebuah pemaksaan?
"Tuan Benny Hastomo. Saya sudah menetapkan pada diri saya sendiri, bahwa saya akan tetap memiliki anak di perut saya ini sampai kapanpun juga. Tuan tidak bisa membelinya dan lalu membuang saya begitu saja. Saya bukan kepompong yang hanya sebagai wadah dan isinya bisa bebas Tuan ambil meski Tuan menyodorkan harta seluruh dunia sekalipun."
Rasanya aku puas mengeluarkan kalimat yang menggelegak di batinku sedari tadi.
"Lalu... kau memaksudkan... kau ingin menjadi istri Wildan?" Mata Tuan Benny memicing padaku, meski itu singkat.
"Saya tidak terlalu mengejar kedudukan sebagai istri dari Wildan. Saya hanya menegaskan bahwa anakku tetaplah milikku, tidak bisa dibeli siapapun." Ini benar, kan? Aku tidak perlu memohon untuk dijadikan sebagai istri Wildan, kan? Atau sebenarnya aku berharap?
"Tidak mungkin, Nona Nevia." Tuan Benny menarik napas dan dagunya terangkat sambil tetap lekat memandangiku. "Wildan sudah bertunangan dengan Wina dan itu tidak bisa dibatalkan. Kecuali kau menjadi istri kedua Wildan, tentunya. Tapi, saya tak yakin Wina akan setuju mengenai ini."
Ha! Istri kedua?!
"Saya tidak mungkin membatalkan pertunangan Wildan dan Wina, maka salah satu solusi adalah saya akan membeli anak kamu, dan menyerahkan anak itu untuk menjadi anak Wildan dan Wina." Tuan Benny melanjutkan.
Aku jadi curiga, bukankah Wildan pernah mengatakan bahwa kakek dan ibunya sudah menerimaku? Bahwa mereka sudah mendatangi keluarga Wina untuk membatalkan pertunangan? Lalu kenapa ini... Oh! Rasanya aku paham sekarang yang terjadi.
Bila asumsiku tidak meleset, bisa jadi ada sebuah perjanjian bisnis di antara Tuan Benny dengan ayah Wina yang mengakibatkan kerugian di pihak Tuan Benny jika dia memaksa membatalkan pertunangan. Ah... sepertinya memang begitu.
"Nanti pengacaraku akan datang untuk menyerahkan berkas yang akan kau tandatangani, Nona Nevia Anggita." Beliau masih bersikukuh rupanya.
"Maaf, Tuan Benny, sepertinya saya sudah mengatakan sebelumnya bahwa saya tidak akan menjual anak saya pada siapapun dengan harga berapapun. Maaf juga jika saya dan anak saya ini membuat Tuan nyaris kehilangan kesepakatan bisnis dengan ayahnya Wina."
Tuan Benny mendengus sekali. "Ternyata kau cukup pintar juga untuk bisa menebak itu. Ya, kau benar, Nona Nevia. Saya tak mau kehilangan kesempatan bagus bersama ayah Wina. Dan kuharap kau bisa bersikap kooperatif dalam hal ini."
Sekarang ganti aku yang memicing. "Tuan, kalau memang Tuan tidak ingin membatalkan pertunangan itu, kenapa harus gigih ingin membeli anakku? Bukankah lebih mudah untuk semua pihak jika kalian membiarkan aku pergi dengan anak ini dan Wildan serta Wina bisa hidup tenang dalam rumah tangga mereka? Kalau Tuan ingin seorang cicit, tentunya Tuan bisa mendapatkan dari Wina..."
"Jangan melampaui batasmu, Nona Nevia!" Suara Beliau mendadak naik. Beliau sudah kehilangan ketenangannya yang sedari tadi dia jaga ketat. Kenapa? Hanya karena aku mengatakan kalau mereka bisa mendapatkan cucu atau cicit dari Wina?
Memangnya omonganku salah? Itu kan sangat wajar! Mereka tentunya akan lebih baik jika membiarkan aku dan anakku pergi dan rumah tangga Wildan dan Wina akan baik-baik saja sepeninggal aku, dan keduanya bisa membuat anak mere-OH TUHAN! Oh astaga... apakah... Wina mandul?!
Aku menghembuskan napas pelan-pelan setelah memikirkan kemungkinan itu. Ya, pasti dikarenakan Wina mandul, makanya Tuan Benny ngotot ingin membeli anakku! Kudengar, Beliau hanya memiliki 2 anak saja. Anak sulung Beliau meninggal dalam sebuah kecelakaan di waktu muda dan belum menikah, sedangkan yang bungsu adalah ibunya Wildan!
Ternyata mereka membutuhkan adanya penerus bagi kerajaan mereka. Memikirkan ini, aku suram seketika. Mendadak, aku muak dengan mereka. Tiba-tiba saja, aku malas berurusan dengan mereka. Orang-orang kaya ini memang mirip dengan monster pelahap rakyat jelata. Menyedihkan!
"Kenapa Tuan tidak mencarikan istri lain untuk cucu Tuan kalau memang Tuan menginignkan seorang cicit sebagai penerus keluarga Tuan?"
Wajah Tuan Benny menegang. Rasanya aku berhasil menohok spot yang sangat akurat dalam benak Beliau. Ha! Tebakanku benar, kan?! Wina mandul dan Beliau kelimpungan sehingga mati-matian ingin membeli anakku!
Tuan Benny tidak menjawab ucapanku, dan justru membalikkan badan bersiap untuk pergi. "Nanti akan ada pengacaraku datang. Saya harap kau bersikap kooperatif dan memudahkan semua pihak, termasuk pihakmu sendiri agar kau bisa hidup aman dan nyaman."
"Tuan mengancamku?"
Namun, Beliau sudah mencapai pintu ruang inapku dan tidak lagi sudi menoleh ke arahku, mantap berjalan keluar. Cih! Tipikal orang kaya dengan arogansi mereka!
Tak lama kemudian, Wildan dan ibunya datang, masuk ke kamarku dan wajah Wildan penuh dengan kekuatiran. Ia lekas menggenggam tanganku sambil terus menatapku penuh cinta. Tante Eva berdiri di belakang Wildan sebelum akhirnya Beliau dipanggil oleh Tuan Benny dan pergi dari kamarku.
"Sayang, Eyang ngomong apa? Dia gak galakin elu, kan? Kalian ngobrol asik, kan?" berondongnya sambil mengelus dan menciumi perut besarku.
Aku dorong kening Wildan saat dia masih terus menciumi perutku. Dia bukan suamiku! Apalagi kakeknya sudah mengintimidasi aku serta memberikan ancaman pula padaku! Aku benci keluarga mereka! "Lu apaan, sih? Main cium perut gue aja. Jauh-jauh, gih!"
Wildan malah tersenyum lebar menanggapi ketusku. "Iya, ntar ibunya bakalan dapat giliran dicium, kok!"
"Najis!" Aku makin mendoronng wajah Wildan agar menyingkir dari tubuhku. "Sana lu pergi aja! Gue mo istirahat!" Susah payah, aku bergulir ke samping memunggungi Wildan. "Arrghh! Wildan!" Aku menoleh ketika dia seenaknya saja memeras dan menyusupkan tangannya ke selangkanganku.
Dia menyeringai macam bajingan. Oh, dia kan memang bajingan! Bajingan yang sudah membuat hidupku kacau! "Kita kayaknya belom pernah main kuda-kudaan sewaktu lu hamil gede gitu, yah Vi? Yuk, sesekali cobain..."
"Monyet haram lu!" teriakku kesal. Masih sempat-sempatnya dia bicara omong kosong macam itu di saat kondisi pelik begini! Eh, tapi sepertinya dia belum tau mengenai keputusan kakeknya. "Sana pergi! Gue mo tidur!" Kulempar bantal dengan sengit ke arahnya.
Wildan segera menangkap bantal yang kulemparkan dengan sambil tertawa-tawa. Aku bertanya-tanya, apa dia masih bisa tertawa-tawa seperti itu setelah tau apa yang diucapkan kakeknya padaku? "Iya deh, iya. Tidur, gih! Abis itu ntar gue tiduri kayak biasa, yah!" Dia susupkan bantal ke bawah kepalaku.
Aku sudah akan melempar kembali bantal itu jika bukan karena Wildan sudah lari cepat ke pintu dan keluar sambil memperdengarkan tawanya. Aku mendengus dan kembalikan bantal ke posisi semula di bawah kepalaku.
Pikiranku penuh akan perbincangan antara aku dan Tuan Benny. Semua aku ulang-ulang dalam benakku. Aku berharap, keputusanku sudah tepat.
Aku mengelus anakku melalui perutku. Ada beberapa kali gerakan dari dalam sana, menendang lembut hingga aku kaget dan memunculkan senyum haruku.
Anakku... dia layak aku perjuangkan. Dia milikku, dan akan selalu menjadi milikku sampai kapanpun. Akan aku lindungi dengan segenap diriku meski aku harus bertaruh nyawa sekalipun, semua demi anakku!