Hari-hari seperti biasa, kali ini Bryan akan membawa Helen ke rumah orang tuanya. Helen sudah menolak beberapa kali, tetap saja dipaksa oleh Bryan. Di jam pagi sudah membangunkan Helen dengan cara menelepon sepuluh kali. Helen benar-benar bakal tidak akan hidup tenang jika memiliki suami seperti Bryan.
"Ayo, sayang. Mereka sudah menunggu kita." Bryan mulai mengomel.
Helen sengaja memperlambatkan rutinitas rumahnya. Karena apa, itu hanya alasan saja agar Bryan terus lengket dengannya. Helen tahu Bryan cinta banget sama Helen. Tapi, tidak harus begini juga kali.
"Sabar dong, ini juga sayurnya belum matang!" bentak Helen,
Tante Lita meminta Helen memasak untuk mereka, mereka juga ingin menyantap masakan calon menantunya. Dengan pagi sekali Helen bangun demi belanja ke pasar. Yang paling lucu saat Bryan ikut ke pasar, momen paling lucu adalah saat dirinya merasa geli sama berbagai sayuran hijau di sekitar pasar. Sayur hijau pun takut, justru yang orang takut itu hal yang ekstrem, benar aneh bahkan aneh banget.
"Ya, kan, bisa masak di rumah orang tuaku," merajuk Bryan.
Bryan kalau ada maunya itu benar-benar bikin Helen kesal banget. Dihari merah nasional, kehidupan Helen akan diusikan oleh pria yang amat menyebalkan. Pada kuliah dulu ia tidak pernah mendapat gangguan seperti ini. Helen benar salah memilih perusahaan.
****
Keluarga Gunadhya, Helen sangat gugup, cemas, dan sebagainya. Seperti akan kembali disidang, sidang apa lagi untuknya. Seumur-umur ke rumah orang tidak segugup begini. Bryan memegang tangan Helen untuk menghangatkan agar dirinya sedikit tenang dan nyaman.
Di ruang tamu suasananya sangat tegang dan hening. Helen kembali lagi bertemu dengan Ibunya Bryan. Wajahnya tetap tidak pernah berubah tetap tajam dan datar. 'Apa memang ekspresinya seperti ini ya?' - Pikir Helen dalam hati.
"Jadi kamu sudah terima perasaan putra saya?" Langsung tanpa ada basa-basi. Ini seperti sidang pertama saat menghadapi meja hijau untuk kelulusan kuliah.
"Iya, Tante," jawab Helen tenang,
'Tenang Helen anggap saja ini meja hijau pertamamu.' - batinnya dalam hati
"Apa karena putra saya yang memaksa kamu menerima perasaannya?"
"Eh ... tidak kok, tante. Saya memang sudah ada rasa sama Pak Bryan saat .... Pak Bryan bahwa saya ke rumah sakit,"
"Kamu memiliki penyakit?"
"Tidak kok, tante. Waktu kemarin saya terlalu banyak makan durian, karena sudah lama tidak makan durian jadinya .... begitulah."
Helen tidak bisa menjelaskan secara detail atas darahnya tinggi. Bryan hanya bisa berdiam, tidak berani memotong pembicaraan.
"Tante, sudah menduga bahwa kamu ini memang ada hati dengan putra saya. Tidak apa-apa, tante mengerti. Kalian saling suka. Tapi, kamu terlalu gengsi dan menjaga hati seseorang agar tidak mudah tergoyangkan. Kamu harus tahu, putra saya sejak bertunangan dengan Friska sikapnya lebih diam. Dulu dia lelaki yang sangat cerewet. Tante sendiri pusing dengarnya." Ibunya menceritakan sifat asli Bryan pada Helen.
'Kenyataan. Cerewet banget!' - batin Helen.
"Ma, sudah dong! Malu, kok, jadi di bahas sifat asli Bryan sih, Ma?" Bryan mulai bersuara tidak dikubris oleh Lita.
"Iya tante, benar sekali. Pak Bryan sangat cerewet, saya sendiri mengalami berulang-ulang," ucap Helen tidak mau mengalah juga.
Bryan langsung menatap Helen sengit, Helen tentu membalasnya tidak akan pernah takut, ya, meskipun selalu diperintah yang aneh-aneh.
"Kalau begitu, tante tinggal dulu, ya. Sepertinya beliau ingin mencicipi masakan kamu." Ibunya Bryan pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.
Bryan melirih ibunya sudah pergi lebih jauh, sekarang waktunya balas dendam pada Helen.
"Apa yang kamu katakan tadi sama Mamaku?" Bryan bertanya kembali.
"Cerewet, selalu membuatku pusing setiap perintah dari kamu!" jawab Helen apa adanya.
Bryan mencondongkan tubuhnya lebih dekat, Helen mundur. Helen terdiam, Bryan pasti buat aneh lagi.
"Mulut kamu benar-benar mau dicium dulu biar tidak sembarang mengada-ada, aku cerewet juga karena sayang sama kamu. Kalau tidak, bukan Bryan namanya," ucap Bryan kemudian.
"Ehem!" suara deheman membuat Helen dan Bryan kembali posisi semula.
Johannes senyum-senyum lihat tingkah anak zaman sekarang memang sudah berbeda dengan zaman dulu pacaran dengan Lita.
"Jadi, kalian kapan menikah? Jangan lama-lama, usia Om tidak mudah lagi. Usia kamu berapa? Bryan sudah 33 tahun. Mau sampai kapan lagi menikah diusia seperti ini. Untuk lelaki memang mudah kapan saja menikah, tapi usia kamu tidak tergolong muda lagi," ucap Johannes bersuara.
"Secepatnya, Pa, setelah ini mungkin lusa Bryan sama dia akan berkunjung ke rumah orang tuanya meminta bersetujuan," sambung Bryan tidak melihat sikon Helen.
Helen langsung menoleh cepat menatap Bryan, 'Apa? lusa! Jangan bercanda??' - protes Helen dalam hati.
"Tapi, tapi ...."
"Bagus itu, lebih cepat lebih baik. Setelah setuju mungkin secepatnya kami akan mengundang orang tuamu makan bersama mengikat ke akraban keluarga," potong Johannes, membuat Helen terdiam.
'Kenapa setiap aku ingin berbicara selalu saja dipotong oleh mereka sih! Bryan brengseekkk!' - umpat Helen dalam hati kesal sama keluarga Bryan dan juga calon suaminya.
****
Di dalam mobil Helen kembali diam tidak ingin berbicara sepatah kata pun. Bryan dari tadi mengoceh tanpa hentinya seperti kereta api yang masih bertugas mengantar penumpang ke tempat tujuan masing-masing.
"Kira-kira ibu kamu suka apa? Biar kita beli sesuatu dulu agar dalam perjalanan menuju ke rumah kamu tidak lelah." Bryan terus berbicara, sadar tidak ada tanggapan dari calon istrinya.
Helen lebih senang memandangi arah luar pantulan jendela, anggap saja ia mendengar radio rusak sedang membahas hal yang tidak penting. Tepat lampu merah, Bryan berhenti kemudian menoleh arah Helen.
"Hei! kamu marah?" tebak Bryan memperlihatkan wajah Helen dengan sentuhan jarinya.
"Menurut kamu?" Helen bertanya kembali.
"Salah ya, kalau aku katakan lusa kita ke rumah kamu?" jawab Bryan menatap wajah Helen makin hari makin cantik saja.
"Apa itu tidak terlalu cepat? Saya rasa ini terlalu terburu-buru. Apalagi saya dan Bapak baru jalani hubungan seminggu." Dua bola mata Helen mengalihkan pandangan tempat lain.
Tiiinn ... Tiiinn ...
Baru juga mau cium calonnya suara klakson mobil dibelakang sudah mengganggu kemesraan. Lampu hijau sudah menyala. Bryan kembali menjalankan mobilnya.
"Lebih cepat lebih baik, kalau kita lama berpacaran itu sedikit membosankan. Apalagi tidak bisa terus bersama. Setelah menikah kamu sudah menjadi istriku dan selalu ada untukku mau ngapain saja tidak ada yang bisa melarang kita. Jadi jangan terlalu dipikirkan, nanti juga terbiasa," lanjut Bryan panjang lebar lirih sejenak ternyata Helen tertidur. Membuat Bryan tersenyum sikap sekretarisnya disentuh rambut kepalanya.