Kalau Mo Liancheng mengetahui gadis yang di hadapannya adalah Qu Tan'er yang palsu, dia tidak mungkin akan melepasnya pergi. Istri Pangeran Kedelapan ternyata palsu? Kabar itu akan membuat keluarga kerajaan malu besar. Qu Tan'er bisa saja dibunuh, lalu Pangeran akan mengumumkan kabar bahwa dia meninggal karena sakit parah. Dengan begitu, tidak akan ada gosip aneh yang muncul. Di masa lalu ini, nyawa manusia tidak begitu berharga terutama bagi wanita yang hidupnya setipis kertas.
Huft! Qu Tan'er menghela napas berat, dia akhirnya tidak tahan lagi dengan posisi duduk seperti itu. Tubuhnya sempat tumbang, namun dalam beberapa detik, dia langsung membenarkan kembali posisi duduknya dan mencoba bertahan. Apa yang harus ditunjukkan akan dia lakukan dengan sempurna, karena seharusnya sebentar lagi kereta mereka akan tiba di kediaman Pangeran Kedelapan.
Wajah Mo Liancheng yang tampan tidak banyak mengeluarkan ekspresi, hal itu membuat orang-orang tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Detik berikutnya, dia melihat Qu Tan'er yang sempat tumbang dan kembali membenarkan posisi duduk. Alis mata Mo Liancheng sempat bergerak tak terkendali, tatapan mata pria itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menarik minatnya.
"Kabarnya, kamu dulu memiliki hubungan dekat dengan Pangeran Pertama." kata Mo Liancheng yang tiba-tiba buka suara.
"Eh? Oh... Iya…" jawab Qu Tan'er. Dia ingat kalau Jingxin sempat bercerita, dua tahun lalu dirinya dan Pangeran Pertama, Mo Yihuai punya hubungan yang dekat. Namun, dia sudah bukan Qu Tan'er dua tahun lalu, dia tidak memiliki ingatan tentang Mo Yihuai sama sekali. Selain itu, dalam dua tahun ini, dia tidak pernah sekalipun melihat Pangeran Pertama sehingga menjadi lupa akan hal itu.
"Hubungan kalian lumayan dekat ya."
"Oh, ya." Mungkin saja begitu, sambung Qu Tan'er dalam benaknya. Mo Liancheng bertanya tanpa basa-basi lagi dan dia pun menjawab tanpa ragu.
Qu Tan'er tidak berani menunjukkan keraguan karena Mo Liancheng sempat mencurigai identitasnya. Kalau dia menjawab dengan raut gelisah dan penuh keraguan, sikapnya itu akan membuat orang-orang curiga. Namun bila dia menjawab 'iya', Mo Liancheng mungkin tidak akan senang karena dia adalah Istri Pangeran Kedelapan sekarang. Pria mana pun tidak akan senang mendengar kabar bahwa istrinya pernah memiliki hubungan dekat dengan pria lain.
Namun, setelah memikirkan bagaimana dirinya akan menjawab pertanyaan Mo Liancheng, Qu Tan'er memilih kemarahan daripada kecurigaan. Dia akhirnya menjawab 'iya' dengan terus menundukkan kepalanya ke bawah. Dia tidak mau menatap mata Mo Liancheng.
Satu bertanya dan satu lagi menjawab, mereka terlihat seperti sedang mengobrol santai. Namun suasana saat itu sangat serius, saking seriusnya, Qu Tan'er sampai sulit bernapas.
"Demi Pangeran Pertama, kamu rela menikah dengan ku?" tanya Mo Liancheng dengan tatapan yang tampak dingin dan sedikit emosi. Namun dia segera menyembunyikan kemarahannya dan kembali memasang ekspresi tidak peduli.
Qu Tan'er tersontak kaget mendengar pertanyaan itu dan berkata, "Tan'er tidak mengerti maksud Pangeran." Dia belum pernah terpikirkan kalau dirinya dipaksa menikah dengan Mo Liancheng karena Pangeran Pertama! Pantas saja, dia pernah mendengar kabar ada tokoh besar yang mengusulkan pernikahan itu. Hubungan rumit macam apa yang sedang dijalaninya saat ini? Mo Liancheng memilih untuk menikahinya, sepertinya ada alasan yang tidak sederhana dibalik itu. Sebuah perintah menikah yang tidak boleh dibantah, diterima begitu saja oleh Mo Liancheng dengan lapang dada. Sepertinya ada rahasia yang disembunyikan.
"Tujuannya?" tanya Mo Liancheng secara tiba-tiba.
"Eh?" Qu Tan'er tersontak untuk kedua kalinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa maksud pertanyaan-pertanyaan singkat yang dilontarkan Mo Liancheng. Gadis itu bahkan tak pernah melihat Pangeran Pertama, bagaimana dia bisa tahu apa tujuannya?
"Aku tidak suka berbelit-belit. Aku hanya ingin tahu kenapa Pangeran Pertama membuatmu menikah denganku. Selain hal itu, aku tidak akan bertanya lebih lanjut. Karena statusmu sekarang adalah istri dari Pangeran Kedelapan." tutur Mo Liancheng sambil menyandarkan diri ke kereta dan memandang Qu Tan'er lekat-lekat.
"Tan'er tidak mengerti maksud Pangeran."
"Kamu tahu… kesabaranku ada batasnya. Kediamanku sudah sudah dekat, membuang-buang waktu bukanlah keputusan yang tepat." kata Mo Liancheng.