"Kalau Pangeran tidak mau tinggal lebih lama, biarkan saya suruh pelayan memasak…" ujar Qu Jianglin yang mencoba menahan Mo Liancheng dengan cara lain.
"Kenapa ayah mertua ingin sekali menahan saya untuk tinggal di sini?" tanya Mo Liancheng.
"Pangeran, jangan salah paham. Saya tidak memiliki maksud apa-apa."
Mo Liancheng tersenyum lalu berkata dengan lembut, "Saya yang salah paham atau ayah mertua yang terlalu tegang?"
"Itu, itu…" ujar Qu Jianglin dengan gagap, sebenarnya dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Matanya mengarah ke Qu Tan'er dan sebuah ide langsung terlintas, lalu dengan segera berkata, "Sejak dulu Tan'er tidak pernah keluar dari rumah ini. Mumpung Tan'er sedang pulang ke rumah, apa Pangeran bisa membiarkannya tinggal di sini beberapa hari? Saya takut dia tidak terbiasa tinggal di luar, jadi…"
"Oh, benarkah?"
"Semoga Pangeran bisa mengabulkan permintaan saya. Saya selalu menyayangi dan memanjakan Tan'er. Banyak hal yang ingin saya bicarakan dengannya."
"Bagaimana menurutmu?" kata Mo Liancheng pada Qu Tan'er untuk menanyakan pendapatnya.
"Aku?" Qu Tan'er merengut, dia merasa sebal karena dua pria di depannya saling berdebat dan dirinya harus terlibat. Kalau mau berdebat ya silakan, kenapa aku juga harus terkena imbasnya, pikirnya dalam hati.
"Ya, kamu." Mo Liancheng lanjut bertanya.
"Aku mengikuti apa kata Aya… Bukan… Nyony… Bukan, aku mengikuti apa kata Pangeran." jawab Qu Tan'er setelah berpikir keras. Saat kalimatnya belum selesai, dia sempat menatap Qu Jianglin, lalu menatap Nyonya Besar dan akhirnya melayangkan pandangannya kepada sang suami. Setelah dia menjawab, ekspresi semua orang datar-datar saja. Dalam hati dia berpikir, Sepertinya aku telah menjawab dengan benar.
"Apa Tan'er tidak mau menemani ayah lebih lama lagi? Lagi pula…."
"Tidak mau."
"Tan…" Mendengar jawaban itu, ekspresi Qu Jianglin mengeras. Dia merasa malu dan tak berkutik di depan Pangeran Kedelapan. Dia ingin marah, namun terpaksa harus menahannya karena Pangeran masih berada di sana.
"Nyonya Besar tadi mengatakan, anak perempuan yang telah menikah seperti air yang sudah disiram. Tidak boleh kembali lagi." ucap Qu Tan'er. Dia sebenarnya tidak ingin berkata sadis seperti ini, tapi...
"Dasar! Tadi Ibu hanya berkata asal-asalan, kenapa kamu menganggapnya serius?"
"Tapi, tadi Ibu menutup pintu…"
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau tinggal di sini, silakan kembali bersama Pangeran. Kalau ada waktu luang, pulanglah." tutur Qu Jianglin yang takut Qu Tan'er membocorkan peristiwa tadi akhirnya memotong kalimat anaknya. Dia mengurungkan niat untuk menahannya pulang ke kediaman Pangeran Kedelapan.
Qu Tan'er tidak banyak bicara, dia hanya mengangguk patuh. Sementara itu, Mo Liancheng mengangkat alisnya dan tidak berbicara. Dia melihat Qu Tan'er kemudian melangkahkan kakinya keluar ruangan. Qu Tan'er pun dengan cepat mengikuti langkah Pangeran Kedelapan. Saking cepatnya, orang-orang mungkin mengira kalau dia sedang dikejar sesuatu.
Keluar dari kediaman Qu, Qu Tan'er melihat kereta kuda mewah milik Pangeran Kedelapan, lalu Mo Liancheng pun naik ke kereta kuda. Sebenarnya, dia ingin duduk di tandu miliknya sendiri. Namun di belakangnya masih ada Qu Jianglin, Nyonya Besar beserta para selir dan gundik. Selain itu, Nyonya Kesembilan juga masih berada di sana.
Qu Tan'er melirik ke arah ibu kandungnya yang terlihat sedih dan merana. Dia tidak berani menatapnya terlalu lama, lalu dia menundukkan kepala dan diam-diam menghela napas. Demi membuat Nyonya Kesembilan bisa diperlakukan lebih baik di Kediaman Qu, dia pun masuk ke kereta kuda Pangeran Kedelapan.