Chereads / Cinta Abadi (The Eternal Love) / Chapter 28 - Dia Ingin Muntah, Sungguh Menjijikkan (2)

Chapter 28 - Dia Ingin Muntah, Sungguh Menjijikkan (2)

Panggilan 'sayangku' yang diucapkan Mo Liancheng membuat Qu Tan'er bergidik, membuat bulu kuduknya sampai berdiri. Dia ingin muntah mendengarnya, sungguh menjijikkan. Namun, sepertinya saat ini merupakan kesempatan emas baginya. 

Sambil ketakutan, Qu Tan'er mengangkat kepalanya dan melihat Nyonya Besar sekilas, lalu tatapannya berpindah ke arah Mo Liancheng. Dengan suara lirih dia berkata, "Tan'er tidak berani." Dia juga memasang ekspresi merana ketakutan dan sengaja gemetaran.

Qu Tan'er mulai berakting, dia memperlihatkan sosok wanita cantik yang lemah dengan matanya sembab dan tampak kasihan. Sungguh cantik luar biasa, bahkan Mo Liancheng hampir terlena oleh kecantikannya. Walaupun dia tahu jelas kalau Qu Tan'er sedang berpura-pura.

"Pangeran Kedelapan ingin kamu duduk. Kamu bisa duduk sekarang." ujar Qu Jianglin sambil menatap tajam Qu Tan'er. Alisnya yang berkerut menunjukkan emosinya yang hampir meledak.

"Tan'er masih tidak berani." Kenapa harus buru-buru?, pikir Qu Tan'er. Sejak dia sampai di kediaman Qu tidak ada yang mempersilakannya duduk, namun sekarang semuanya berpura-pura baik hati? Saat ini dia berbicara sambil berdiri dan punggungnya sudah tidak terasa begitu sakit lagi. Siapa yang suruh tadi mereka menyiksanya.

"Cepat duduk." perintah Nyonya Besar sambil melotot kepada Qu Tan'er. 

"Tapi... Tan'er masih tak berani." ucap Qu Tan'er. Dia melihat kursi di belakang dengan tatapan merana. Kemudian melihat ke arah Nyonya Besar dengan ketakutan sambil gemetaran. Melihat tingkahnya, bahkan orang buta pun tahu siapa yang sedang membuatnya ketakutan.

"Tidak berani kenapa? Apa yang kamu takutkan?" tanya Mo Liancheng pun mengikuti permainan Qu Tan'er. Mungkin yang harus ditanyakannya bukan apa yang ditakutkan Qu Tan'er, melainkan berapa pukulan yang sudah diterimanya.

"Ibu, apa Tan'er boleh duduk?" tanya Qu Tan'er yang langsung menatap Nyonya Besar. Pertanyaan tersebut langsung menjelaskan bahwa yang membuatnya takut sejak tadi adalah Nyonya Besar.

"Kamu, saya…" ucap Nyonya Besar tersentak kaget. Dia sama sekali tidak menyangka Qu Tan'er akan menunjuknya langsung seperti itu.

"Ibu, apa Tan'er boleh duduk?" Qu Tan'er mengulang kembali pertanyaan yang sama, hanya nadanya saja yang berbeda. Kali ini nada pertanyaannya terasa lebih penuh dengan rasa takut.

"Kalau Pangeran Kedelapan meminta kamu untuk duduk, ya duduklah."

"Tapi, kursi ini adalah kursi Ibu. Kalau Tan'er duduk, Tan'er takut Ibu tidak menyukainya. Kalau Ibu tidak suka, nanti Tan'er akan di…"

"Apa yang kamu bicarakan? Sekarang kamu adalah istri Pangeran Kedelapan. Kenapa saya harus tidak senang? Kamu sudah berdiri cukup lama, duduk dan beristirahatlah." tutur Nyonya Besar lagi-lagi memotong kalimat Qu Tan'er dan melangkah maju untuk memapahnya duduk di kursi. Wajahnya dihiasi dengan senyuman, gerakannya pun amat lembut. Namun, sekali lagi dia langsung mencubit pinggang Qu Tan'er dengan keras saat menyentuhnya.

"Terima kasih I….bu." kata Qu Tan'er sembari menggertakkan gigi sambil menahan rasa sakit.

"Semuanya, ayo duduk." ucap Mo Liancheng untuk mempersilakan semua orang untuk duduk.

"Baik." Qu Jianglin menarik tangan Nyonya Besar dan duduk. Sementara itu, para selir dan gundik tak berstatus hanya bisa berdiri, karena tidak berhak duduk saat berhadapan dengan Pangeran Kedelapan. Tidak ada satupun orang di ruangan itu yang berani buka suara. Seisi ruangan sunyi senyap. 

Tak lama setelah itu…

"Mata Ibu kenapa?" tanya Qu Tan'er yang menatap Nyonya Besar dengan heran. Dia tidak mau menebak apa maksud tatapan wanita tua itu. Dia juga sengaja tidak memedulikan wanita yang terus memberi kode kepadanya untuk menuang teh di cangkir Pangeran.