Chereads / Cinta Abadi (The Eternal Love) / Chapter 29 - Suara yang Lembut Juga Mengesalkan Orang (1)

Chapter 29 - Suara yang Lembut Juga Mengesalkan Orang (1)

"Tan'er, kamu seharusnya menuang teh." ujar Nyonya Besar berusaha menahan amarah yang sudah meluap di hatinya dan berkata dengan lembut.

"Oh, begitu." kata Qu Tan'er sambil mengangguk sebagai tanda dirinya mengerti atas perintas Nyonya Besar. Dia memang kehausan sejak tadi dan sudah seharusnya menuang teh untuk dirinya sendiri. Dia kemudian mengangkat poci teh dan menuangkannya ke dalam cangkirnya sendiri. Dia pun menyeruput teh itu dengan santai.

Qu Tan'er memang sengaja menyalahartikan ucapan Nyonya Besar, dia juga merasa tidak mendapatkan keadilan. Dirinya dan Mo Liancheng sama-sama manusia, bahkan dia sudah sampai lebih dulu. Namun, tak setetes air pun membasahi kerongkongannya. Kenapa saat Mo Liancheng datang, aku harus melayaninya?, pikirnya.

"Bukan begitu, maksudnya Tan'er, kamu harus menuang teh untuk Pangeran Kedelapan." jelas Nyonya Besar lagi-lagi berusaha menahan amarahnya.

"Oh baiklah… Pangeran, silakan minum tehnya." kata Qu Tan'er. Dengan santai dia mengambil poci teh dan menuangkan isinya ke cangkir yang berada di depan Mo Liancheng. Bibir kecilnya yang ranum tersenyum tipis, sungguh manis.

Mo Liancheng melirik Qu Tan'er sebentar. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengangkat cangkir teh dan berniat meminumnya. Namun keningnya mengerut dan gerakannya berhenti begitu teh itu menyentuh bibirnya. Mo Liancheng diam tak bergerak, semua orang pun tak berani bertindak. Semua orang kini menatapnya.

"Teh ini…" Begitu dua patah kata itu meluncur dari mulut Pangeran Kedelapan, semua orang terpaku dan menahan napas. Qu Tan'er melihat Mo Liancheng, lalu kembali memusatkan perhatian pada cangkir teh di tangannya. Dia menikmati teh itu dengan pelan… Walaupun agak dingin, tapi teh ini cukup pekat.

"Sudah dingin." ujar Mo Liancheng

"Sudah dingin? Dingin bagaimana…" ucap Nyonya Besar yang terperanjat tak mengerti. Namun saat melihat cangkir teh, dia langsung tersadar dan berkata. "Tan'er, teh apa yang kamu tuang tadi? Tehnya sudah dingin, lalu mengapa kamu masih menuangkannya untuk Pangeran Kedelapan. Kamu tidak bisa…"

"Tan'er juga tidak mau, tapi tadi Nyonya Besar yang menyuruh Tan'er menuangnya." jawab Qu Tan'er.

"Bukankah kamu sudah meminumnya? Kenapa tidak bilang saja kalau sudah dingin? Jangan sampai memberi Pangeran teh dingin."

"Tan'er ingin bilang, tapi Nyonya Besar selalu memotong kalimat Tan'er. Saya tidak punya kesempatan untuk berbicara" kata Qu Tan'er yang kembali berakting seakan-akan ketakutan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain berakting. Dia yakin jurusnya ini pasti membuat emosi mereka berkobar-kobar. Penderitaan selama dua tahun yang dialaminya tidak sia-sia.

"Mati saja kamu sana…"

"Pengurus, segera ganti teh itu." perintah Qu Jianglin. Dia cepat-cepat memotong kata kasar yang keluar dari mulut Nyonya Besar sambil mengelap keringat dingin di keningnya.

"Baik, Tuan. Saya akan segera mengganti teh itu." jawab Pengurus rumah Qu yang langsung mengangkat poci teh itu dan membawanya pergi.

"Tidak perlu, saya sudah cukup lama berada di kediaman Qu. Ini saatnya saya pulang." ucap Mo Liancheng sambil melambaikan tangannya. Dia kemudian berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.

Qu Jianglin berusaha menahan kepergian Mo Liancheng dan berkata, "Pangeran, Anda baru saja tiba, kenapa cepat sekali? Kalau Pangeran tidak keberatan, tinggalah di sini beberapa hari agar saya punya lebih banyak waktu mengajari Tan'er sopan santun. Saya takut dia akan membuat onar di luar sana."

"Tidak perlu, gadis lemah seperti Qu Tan'er tidak mungkin bisa membuat onar." kata Mo Liancheng. Dia menatap Tan'er dengan lembut lalu kembali melihat ke arah Qu Jianglin. Nadanya yang tegas membuat siapa pun tidak berani membantah.