"Tan'er, cepatlah ke sana. Pangeran Kedelapan telah menunggumu." perintah Nyonya Besar yang tersenyum sambil membelalakkan matanya dengan garang. Dia datang menghampiri Qu Tan'er dan sengaja membelakangi Mo Liancheng agar tidak kelihatan. Tangannya berpura-pura mendorong Qu Tan'er dengan lembut. Tapi kenyataannya saat menyentuh pinggang gadis itu, dia mencubitnya dengan keras dan mencengkeram tanpa ampun.
"Aduh! A… a, Tan'er mengerti." teriak Qu Tan'er berusaha tersenyum sambil menghindar dari tangan Nyonya Besar. Dia tidak menyangka Nyonya Besar akan menggunakan cara ini. Pukulan di punggungnya sudah membuat dirinya menderita setengah mati, ditambah lagi dengan cubitan ini. Semua rasa sakit itu sampai membuat keringat dingin keluar dari tubuhnya bahkan air mata pun sudah merembes di sudut matanya. Tapi dia tetap menahan diri agar tidak terlihat kesakitan, dia tidak akan menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang.
Mo Liancheng melangkah pelan. Dia mengibaskan jubah mewah yang dikenakannya dan duduk di kursi utama. Qu Jianglin kemudian segera memberi perintah pada pelayan untuk menyuguhkan teh. Mo Liancheng meniup pelan teh panas dan menyeruputnya perlahan. Dilihatnya Qu Tan'er yang sedang tersenyum datar. Dia tahu dengan jelas apa yang dilakukan Nyonya Besar pada istrinya, namun dia tidak berencana untuk mengadilinya secara langsung. Mo Liancheng malah menanyainya dengan wajah heran, "Apa apa denganmu? Apa kamu tidak enak badan?"
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Terima kasih atas perhatian Pangeran." jawab Qu Tan'er dengan pelan bahkan terdengar berbisik. Dia menundukkan kepala dan diam-diam merengut. Dalam pikirannya, dia merasa pertanyaan itu benar-benar menyebalkan. Jangan pernah berpikir kalau Mo Liancheng baik hati. Jika pria itu berbuat jahat, Qu Tan'er yakin dia pasti lebih jahat dari nenek tua Qu itu.
Qu Tan'er pun bertanya dengan lembut, "Pangeran kenapa tiba-tiba datang? Bukankah kamu kemarin mengatakan tidak bisa menemani Tan'er pulang?"
"Kapan aku berkata seperti itu?"
"Kemarin… Oh, mungkin Tan'er salah mengerti maksud Pangeran." kata Qu Tan'er, padahal dia ingin sekali menyemprot Mo Liancheng dengan kata-kata kasar, namun situasi dan lokasi saat itu sangat tidak memungkinkan. Kemudian dengan cepat dia mengubah kalimatnya.
"Kenapa? Apa ayah mertua menyalahkan kamu karena aku tidak menemanimu pulang?" Mo Liancheng bertanya santai sambil melirik wajah cantik Qu Tan'er. Dia sepertinya sedang mempelajari ekspresi wajah istrinya itu.
"Ya..."
"Pangeran Kedelapan sungguh pandai bergurau ya. Kami tidak mungkin menyalahkan Tan'er, dan tidak mungkin pula menyalahkan Pangeran." ucap Nyonya besar yang segera memotong kalimat Qu Tan'er, tak lupa dia memasang senyum penuh kepalsuan. Dia mendengar kata 'ya' dari mulut Qu Tan'er dan mulai gemetaran.
Mo Liancheng tak mempedulikan Nyonya Besar dan meneruskan pertanyaannya ke Qu Tan'er, "Apa ayah mertua telah menghukummu?"
"Ini…"
"Pangeran Kedelapan memang benar-benar pandai bercanda ya. Tan'er kini adalah istri Pangeran, kami tidak mungkin berani memukulinya. Ditambah lagi…" Nyonya Besar lagi-lagi memotong kalimat Qu Tan'er. Namun belum selesai berbicara, Mo Liancheng langsung menyelang kalimat wanita tua itu.
"Saya tidak meminta kamu berbicara." ucap Mo Liancheng denan tegas sembari melihat sekilas ke arah Nyonya besar. Nada suaranya datar dan tidak terdengar amarah sedikitpun, tapi tetap saja menunjukkan kharisma yang membuat nyali Nyonya Besar menciut.
"Ya, ya, ya, Pangeran Kedelapan memang benar." balas Nyonya Besar yang merasa malu dan hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Qu Tan'er kini telah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Pantas saja Su Yuela selalu mengingatkan dirinya kalau status dan kekuasaan adalah segalanya di dunia ini. Jika memiliki status yang tinggi, dia tidak perlu takut siapapun. Hanya saja, dia masih tetap tidak peduli.
"Sayang, apa kamu tidak capek berdiri terus, kenapa tidak duduk?" tanya Mo Liancheng sambil tersenyum dan memberi tanda untuk Qu Tan'er, agar duduk di kursi yang berada di sebelahnya. Gadis ini memang ahli dalam berpura-pura ya, bahkan sampai sekarang pun ekspresinya masih seperti mayat hidup, pikirnya dalam hati.