Qu Tan'er berhasil menahan emosinya dan berkata, "Tan'er sudah berada di kediaman Pangeran selama dua hari, besok adalah…"
"Oh ya? Sungguh tidak terasa. Kalau kamu tidak bilang, aku bahkan lupa kamu berada di kediamanku." kata Mo Liancheng sambil mengangkat alisnya. Dia sangat penasaran kapan gadis itu akan melepaskan topengnya dan memperlihatkan 'wajah' aslinya. Gadis itu sangat pandai berpura-pura, membuat Mo Liancheng tidak tahan melihatnya.
"..." Qu Tan'er yakin, kalau Mo Liancheng sengaja memotong kalimatnya berkali-kali. Dia sudah merasa nasibnya sangat tragis, saking tragisnya dia sangat ingin menonjok seseorang. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk diam, membiarkan Mo Liancheng saja yang bertanya.
Kemudian Mo Liancheng duduk kembali ke kursinya, sudut bibir pria itu sedikit terangkat, sementara tangannya bergerak mengambil secangkir teh. Mo Liancheng menyeruput pelan teh yang aromanya manis itu. Pria itu sebenarnya mengetahui Qu Tan'er mau berbicara, tapi dia malah sengaja tidak bertanya.
Suasana di ruangan itu menjadi sunyi senyap, karena pasangan suami istri itu tidak berbicara sepatah kata pun.
Qu Tan'er akhirnya memecahkan keheningan dan bertanya, "Besok Tan'er harus pulang berkunjung ke kediaman Qu, apakah Pangeran memiliki waktu untuk ikut menemaniku?"
Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya gadis itu berhasil mengutarakan keinginannya. Namun, Mo Liancheng berpura-pura meminum tehnya dan terdiam, dia tak menyangka bahwa wanita itu akan tiba-tiba bertanya.
Qu Tan'er tersenyum tipis sambil menunggu jawaban Mo Liancheng, karena tujuan kedatangan Qu Tan'er sudah dikatakannya. Dia tidak peduli dengan jawaban pria itu, tapi setelah menunggu beberapa lama, Mo Liancheng tak kunjung bersuara. "Bila Pangeran keberatan, Tan'er bisa…"
"Memang aku merasa agak keberatan." kata Mo Liancheng mengintip sebentar ke arah Qu Tan'er. Kalau saja mereka tidak bertemu di tembok itu, mungkin dia akan tertipu dengan perangai gadis yang terlihat lemah lembut ini.
"Baiklah, Tan'er mengerti." kata Qu Tan'er. Mo Liancheng bilang dia keberatan? Berarti dia tidak mau pergi menemaniku. Kalau memang pria itu tidak mau pergi, aku juga tidak bisa memaksa! batinnya.
"Tapi…" kata Mo Liancheng terlihat ingin melanjutkan perkataannya.
Qu Tan'er tidak bisa menahan kesabarannya lagi, dia langsung berdiri dan memberi hormat pada Pangeran sambil berkata, "Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, maka Tan'er mohon undur diri." Gadis itu tersenyum hangat, lalu berjalan keluar dari ruang tengah dengan langkah pelan.
Tapi? Tidak perlu tapi-tapian lagi! Batin Qu Tan'er, karena dia tidak akan membiarkan pria itu mengerjainya lagi. Lihat saja, suatu hari nanti saat pria itu memohon pertolongan dariku, aku tidak akan membantu! Batinnya lagi sambil mengangkat kepalanya. Dia merasa bangga akan aksi yang di lakukannya tadi, lalu gadis itu melangkah pergi dan tidak menoleh sedikitpun ke belakang. Dia melesat dengan cepat tanpa tahu bahwa Mo Liancheng melihatnya berlalu sambil tertawa.
"Nona, kita pergi begitu saja?" Jingxin bertanya karena penasaran.
"Memangnya harus bagaimana lagi?"
"Besok Pangeran benar-benar tidak akan menemani anda?"
"Tidak perlu." Setelah mengucapkan dua kata itu, wajah Qu Tan'er tampak suram.
"Tapi…"
"Tidak usah tapi-tapian lagi." sanggah Qu Tan'er, tapi sebenarnya dia merasa gelisah. Apakah tidak masalah jika aku pulang tanpa Pangeran Kedelapan? Batinnya. Setelah teringat pada orang-orang di kediaman Qu yang selalu meremehkannya, gadis itu langsung termenung.
Banyak orang yang bilang, hidup di masa lalu itu lebih menyenangkan, kemudian hal itu membuat Qu Tan'er berpikir, Apanya yang menyenangkan! Nyawa bisa melayang hanya karena salah bertindak sedikit saja! batinnya.
Ditambah lagi Qu Jianglin meminta dirinya untuk berhubungan baik dengan Mo Liancheng. Qu Tan'er khawatir kabar gagalnya malam pertama mereka sudah didengar oleh sang ayah, Qu Jianglin, karena dia pasti akan dipersulit. Jika akhirnya dia mati karena hal ini, dia berharap bisa langsung kembali ke abad 21, dan Qu Tan'er akan sangat bersyukur kalau hal itu benar terjadi.