Qu Tan'er menyeringai, kemudian mengedipkan mata dengan genit ke arah Jingxin, karena dia berharap mendapat pujian dari pelayannya.
"..." Namun, pelayannya itu malah terdiam cukup lama.
***
Dua hari pun telah berlalu.
Kediaman Pangeran Kedelapan, di rumah Xue, tempat Qu Tan'er tinggal.
"Nona, besok adalah hari ketiga sejak Nona masuk ke kediaman Pangeran Kedelapan." kata Jingxin masuk ke dalam, dia meletakkan sepiring kue di atas meja. Dengan ekspresi tak berdaya khas Jingxin, dia menatap Qu Tan'er yang bermalas-malasan di kursi goyang.
"Ya, aku tahu." Qu Tan'er menjawab dengan cuek.
Sejak hari pertama berada di kediaman Pangeran Kedelapan, Qu Tan'er sudah memeriksa rumah Xue dari ujung ke ujung. Tembok yang mengitari rumah itu pun sudah dia periksa dengan teliti. Jika ingin keluar dari kediaman itu, dia hanya perlu memanjat tembok tersebut. Tetapi… tembok itu lebih tinggi satu meter dari tembok di kediaman Qu, jika melarikan diri di tengah malam tidak akan mudah baginya.
"Nona, sudah saatnya anda menghampiri Pangeran!" kata Jingxin mengingatkan.
"Untuk apa? Memangnya aku kurang kerjaan?" Walau benar Qu Tan'er kurang kerjaan, tapi dia tak akan menghampiri Pangeran dan mencari masalah dengannya, karena dia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Tapi, besok anda harus pulang ke kediaman Qu untuk memberi hormat. Anda seharusnya pergi bersama dengan Pangeran ke sana. Anda tidak mungkin pulang sendirian, kan?"
"..." Qu Tan'er mulai mengernyitkan kening. Karena di hari ketiga, dia harus pulang ke kediaman Qu. Kalau saja Qu Tan'er diperbolehkan untuk tidak kembali, dia pasti akan melakukannya.
"Nona, bangunlah." kata Jingxin, seolah merasa kesabarannya sungguh tak terbatas, hingga bisa melatih Qu Tan'er yang susah diatur ini.
"Baiklah, Pangeran tinggal di rumah yang mana?" kata Qu Tan'er sambil menghela napas tak berdaya.
"Di rumah Shuang." kata Jingxin menjawab.
Qu Tan'er terdiam sejenak, melihat langit-langit dengan wajah melongo. "Jingxin, seperti apa tampang Pangeran?" tanyanya.
"Anda belum pernah melihat Pangeran?" tanya Jingxin, matanya terbelalak karena tak percaya.
"Iya, memang belum pernah."
"Tapi saat malam pertama…"
"Kain itu menutupi mataku, itu artinya aku tidak bisa melihatnya!"
"Dua hari ini, bukannya Nona sudah berkeliling ke sana kemari di kediaman Pangeran?"
"Aku kan hanya mondar-mandir di rumah Xue, itu masih berarti kalau aku belum melihatnya!"
"..." Lagi-lagi Jingxin terdiam.
Akhirnya, Qu Tan'er dan Jingxin dengan langkah pelan berjalan keluar dari rumah Xue, lalu menuju rumah Shuang. Ketika tiba di rumah Shuang, pelayan wanita mengatakan kalau Mo Liancheng berada di perpustakaan. Keduanya lalu menuju perpustakaan, namun penjaga perpustakaan mengatakan kalau Mo Liancheng berada di ruang senjata.
Keduanya pun menuju ruang senjata. Kemudian, kondisi seperti sebelumnya terulang kembali, hanya saja, posisi Mo Liancheng kini berubah. Dari ruang utama, ke perpustakaan hingga ke ruang senjata. Walaupun semua tempat itu masih berada di dalam rumah Shuang, tetap saja masing-masing lokasi berada pada jarak yang tidak dekat. Kini katanya, Mo Liancheng berada di arena kuda, tapi tempat satu itu cukup jauh dari sana.
Rumah Shuang berada di bagian utara, sedangkan arena kuda berada di bagian barat. Entah berapa kilometer yang harus ditempuh Qu Tan'er dan Jingxin dengan berjalan kaki.
"Nona, bertahanlah! Sebentar lagi kita akan tiba. Pangeran pasti berada di sana." Dengan suara terengah-engah Jingxin berusaha menghibur. Kakinya melangkah dengan hati-hati di belakang Qu Tan'er, dia tak berani berjalan terlalu dekat, takut kemarahan nonanya tiba-tiba meledak.
"Memangnya aku terlihat akan marah?" tanya Qu Tan'er sambil mempercepat langkahnya. Di bukan lagi ingin marah, tetapi dia sedang marah saat ini, karena dia merasa seperti sedang dipermainkan.
"Tapi ekspresi wajah Anda…" kata Jingxin menjawab dengan rasa cemas.