Qu Taner melambaikan tangannya dengan santai dan berkata, "Matahari siang ini sangat terik, makanya wajahku jadi memerah begini."
Qu Tan'er berjalan terseok-seok di tengah teriknya matahari siang itu, akhirnya dia dan pelayannya tiba di arena kuda dengan basah kuyup karena keringat. Bibirnya sampai kering karena kehausan, lalu hal yang tidak diinginkan gadis itu terjadi lagi. Benar saja, ternyata batang hidung Mo Liancheng tidak terlihat di arena kuda.
Qu Tan'er sudah tidak dapat menahan amarahnya lagi, emosinya naik hingga ke ubun-ubun, lalu dia berdiri di tengah arena kuda dan berteriak nyaring. Pagar-pagar di arena kuda bahkan hampir roboh karena suaranya. Dia berkacak pinggang dan dengan semangat 45 melampiaskan kekesalannya, "Mo Liancheng, dasar brengsek, jahanam. Benar-benar menyebalkan! Kemana perginya dia?" katanya.
Tiba-tiba…
"Nyonya, anda mencari Pangeran?" tanya seseorang.
Duh, duh, duh baru saja aku mengeluarkan kata-kata kasar, seseorang langsung datang menghampiriku! Batin Qu Tan'er
"Memangnya selain dia, siapa lagi yang bica saya cari?" Mendengar kata 'pangeran', emosi Qu Tan'er langsung naik lagi. Dia melotot tajam ke arah sumber suara. ternyata suara itu berasal dari seorang pelayan yang bertugas menjaga arena kuda. Pelayan itu berdiri dengan tubuh yang gemetaran, dia ketakutan melihat Qu Tan'er yang tengah marah-marah.
"Pa, Pange…" Saking takutnya pada Qu Tan'er, pelayan itu sampai kesulitan untuk berbicara.
Qu Tan'er menenangkan dirinya dari amarah, dia langsung memasang ekspresi pucat dan tampak merana. Gadis itu merapatkan kedua kakinya, tangannya yang tadi berkacak pinggang pun segera diturunkan.
"Anu… Saya mencari Pangeran! Apa beliau ada di arena kuda? Saya tak melihat satu orang pun di sini." Akting Qu Tan'er yang meyakinkan itu dapat membuat semua orang bertanya-tanya apakah benar dia gadis yang sama dengan yang tadi berteriak dengan galak.
Pelayan bahkan sampai itu mengucek-ucek matanya tak percaya, lalu dia menatap Qu Tan'er dengan heran. Pelayan itu bahkan menduga bahwa mungkin saja dia tadi telah salah melihat.
Jingxin tetap tenang, karena dia sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini. "Lancang sekali kamu! Pelayan seperti kamu, apa pantas menatap langsung istri Pangeran?" katanya.
"Ampuni hamba, Nyonya! Hamba telah melakukan kesalahan!" kata Pelayan tersebut langsung berlutut dan menundukkan kepalanya. "Pangeran telah pergi ke aula karena mendengar ada tamu yang datang."
"Oh, begitu? Kalau begitu saya ke aula sekarang." kata Qu Tan'er sambil tersenyum pelan. Tak terlihat sedikitpun kemarahan di wajahnya, bahkan dia tidak lupa membangunkan pelayan tadi dan menyuruhnya pergi. Tetapi, saat berbalik badan, sikap aslinya langsung keluar lagi.
Pria sialan, awas saja dia! Batin Qu Tan'er, lalu dia pun melangkah cepat menuju aula.
***
Rumah Shuang, di ruang tengah dengan dekorasi yang elegan.
Mo Liancheng saat ini sedang duduk santai di kursi goyang sambil minum teh, di atas meja bundar yang tampak mewah, tergeletak sepoci teh dan peralatannya. Teh yang diminum Mo Liancheng adalah teh seduhannya sendiri, selain bermain kecapi dan melukis, pria itu memiliki hobi minum teh. Sebutan suka minum teh sepertinya kurang tepat untuk Mo Liancheng, karena pangeran satu itu lebih menyukai kegiatan menyeduh teh.
"Qu Tan'er sudah sampai mana?" tanya Mo Liancheng melihat ke arah Yuhao sambil cengar-cengir, dan memegang cangkir teh yang sangat indah. Terukir bunga sakura yang hanya tumbuh di musim salju pada cangkir itu, warnanya sangat indah dan menarik. Tentu saja, barang-barang yang digunakan Mo Liancheng tidak mungkin memiliki kualitas yang buruk.
"Nyonya sedang menuju aula." Yu Hao menjawab tanpa ekspresi.
"Oh."
"Beliau kelihatannya sangat marah."
"Tentu saja dia harus marah. Tidak akan menyenangkan jika aku menikahi wanita yang terlalu sabar."